Menikah?

1106 Words
“Apa?” “Iya, kita bisa melakukan apa yang kita inginkan selama ini. Kita akan bersama dan hidup bahagia selamanya.” Riftan memeluk Nayya dengan erat. “Tapi bagaimana dengan putri Adora? Bukankah kalian besok malam akan meresmikan jiwa kalian untuk bersama? Bagiamana bisa kau mengecewakan putri Adora dan berkata kalau kita bisa bersama dan hidup selamanya? Kau sudah memutuskan untuk menjadi pasangan putri Adora, kau tidak bisa mengingkari janjimu atau raja akan murka.” “Aku akan memutuskan hubungan dengan putri mahkota, aku hanya perlu memberikanmu tanda dan semuanya akan baik-baik saja,” ucap Riftan dengan senyumnya. Nayya tersenyum, bahagia rasanya mendengar ucapan Riftan. Jadi kemurnian dan keikhlasan yang ia miliki untuk Riftan bisa memberikan kekuatan Riftan menjadi sempurna . Tapi saat mengingat kemurkaan raja vampir jika Riftan memutuskan hubungannya dengan putri mahkota, Nayya menjadi takut, ia tidak ingin Riftan mendapatkan masalah. Ia harus mencari cara agar tidak akan terjadi sesuatu pada Riftan. Ia rela mengorbankan cintanya dari pada Riftan mendapat masalah karena menolak putri mahkota. “Nayya….” Aku ingin melakukannya sekarang…” Mata Riftan sudah kembali berubah menjadi merah. Tampaknya kali ini Riftan tidak akan menahan lagi. “Ah, tu..tunggu! apakah kita kan melakukan itu sebelum menikah? kita tidak boleh melakukannya sebelum menikah, Pak Dosen.” Tolak Nayya sambil menggeser tubuhnya menjauh. Mendengar itu, Riftan hanya bisa melotot. Sekarang apa lagi masalah gadis nakal ini? menikah katanya? Di kalangannya, menikah hanya ungkapan formalitas saja, yang menjadi hal utama yaitu ketika mereka melakukan hubungan dengan memberikan tanda kepemilikan masing-masing sehingga tidak akan ada vampir lain yang bisa mengklaim pasangan yang sudah memiliki pasangan seperti yang dilakukan oleh putri Adora. “Apa yang kau katakan itu, Nayya? Menikah?” tanya Riftan. Nayya mengangguk antusias. “Iya, kita harus menikah dulu sebelum melakukan hubungan fisik itu. setelah kau menjadi suamiku, aku akan memberikan segalanya padamu. Segalanya” ucap Nayya sambil tersenyum. “Tapi bisakah kita melakukannya saja tanpa harus ada embel-embel menikah? aku harus melakukan sesegera mungkin karena ini menyangkut keselamatanmu. Aku tidak ingin jika kita menundanya, musuhku akan lebih mudah menangkapmu jika aku lengah sedikit saja,” ucap Riftan mulai cemas. “Tidak! Aku tidak mau melakukannya denganmu jika kau belum menikahiku. Lagipula, aku mau kau menyelesaikan urusanmu dengan putri Adora terlebih dahulu. Putuskan dia secara baik-baik dan jangan buat keributan dengan orang-orang kerajaan. Aku ingin hidup kita aman dari gangguan siapapun, kau mengerti Pak dosen?! ” ucap Nayya. Riftan hanya bisa menghela nafas gusar, kenapa di saat ia sudah mendapatkan jalan keluar terbaik untuk menghindar dari putri mahkota itu, Nayya malah menolaknya. “Baiklah kalau itu maumu, aku akan menyelesaikan semuanya setelah itu kita menikah,” ucap Riftan sambil beranjak dari ranjang. “Terima kasih karena aku mau mendengarkanku, Riftan…” ucap Nayya dengan senyumnya. “Aku akan membalas perbuatanmu ini gadis nakal!” rutuk Riftan kesal. “Aku akan menunggumu, vampirku yang tampan,” balas Nayya dengan kedipan matanya yang nakal. Riftan melangkah keluar dari kamar, tapi Nayya menahannya. “Kau mau kemana? Jangan marah, ya?” Nayya merengek manja. Ia bergelayut di lengan Riftan sambil menatap kekasihnya itu dengan tatapan polos. Riftan menatap Nayya dan kembali mendorongnya ke atas ranjang. Mata Riftan kembali memerah, tanpa aba-aba ia langsung melabuhkan ciumannya di bibir Nayya. “HHmmppp…” Nayya meronta di bawah kungkungan tubuh Riftan. baru setelah Riftan merasa puas memberi hukuman untuk kekasihnya itu, ia bangkit dari ranjang dan meninggalkan Nayya yang masih sedang menormalkan detak jantungnya tanpa berucap kata sedikitpun. *** Asyaq sedang memantau daerah penjagaannya di sekitar hutan tempat tinggal ibu Nayya. Entah kenapa, setiap kali ia datang ke tempat itu, hatinya berdebar-debar. Ia bingung kenapa dirinya bisa bersikap aneh begitu. Dan puncak keanehan yang ia rasakan adalah ketika ia melihat anak kecil yang bernama Nilam. Padahal ia hanya seorang akan kecil, tapi bagiamana bisa anak kecil itu mampu membuat hatinya resah. Asyaq menyusuri lereng bukit kemudian melompat ke atas pohon dan memandang sekeliling. Tiba-tiba matanya tertuju pada seorang anak kecil berambut panjang. “Nilam…?” gumannya senang. Hatinya kembali berdebar. Ia baru akan melompat turun dari pohon untuk menghampirinya tapi gerakannya terhenti karena ia melihat Nilam bersama seseorang. Matanya Asyaq yang hitam menyorot tajam anak kecil yang juga sebaya dengan Nilam. “Siapa anak kecil itu? dia bukan saudara sepanti Nilam. Tapi kenapa mereka tampak akrab begitu?” gumannya sedikit tidak suka. Asyaq lalu mempertajam pendengarannya. “Baiklah Nilam, aku pulang dulu, ya. Besok aku akan datang lagi menemuimu. Kau tunggu aku di sini saja. Aku akan datang. Sampai ketemu besok,” ucap anak laki-laki itu sambil memegang tangan Nilam. “Baiklah, tapi kau berjanji akan datang kan? kita main lagi,” ucap Nilam. “Iya, aku janji,” Bocah laki-laki itu kemudian pergi meninggalkan Nilam sendiri. Sedangkan di atas pohon. Asyaq tampak menahan geram. Hatinya panas melihat bocah laki-laki itu memegang tangan Nilam. “Apa yang terjadi padaku sebenarnya? Kenapa aku bisa begini? Aku marah dengan bocah ingusan yang sedang bermain itu?” gumannya sambil melompat ke bawah dan menghampiri Nilam yang sedang mengumpulkan mainannya. “Bisa aku membantumu?” ucap Asyaq dengan senyumnya. Nilam menatapnya lama. “Paman yang waktu itu, kan?” tanya Nilam. “Iya,” jawab Asyaq. “Aku senang paman muncul lagi di hadapanku, paman tau tidak, aku setiap malam selalu bermimpi tentang paman. Aku selalu melihat paman di mimpiku,” ucap Nilam sambil tersenyum. Asyaq suka sekali melihat senyum polos bocah itu. “Oya? Paman dimimpimu seperti apa?” tanya Asyaq penuh minat. Tidak disangka Nilam juga selau memimpikannya. Hatinya senang, Asyaq, apa yang susah terjadi padamu? ia mengingatkan dirinya. “Paman selalu menemaniku bermain,” jawab Nilam. “Paman juga tidak keberatan jika Nilam meminta untuk diajak bermain. Jadi Nilam tidak perlu memanggil teman Nilam yang tadi itu, bagiamana?” ucap Asyaq. Ia merasa tidak suka jika Nilam dekat dengan bocah laki-laki tadi. “Oh, dia Yuda. Ia sering datang dengan ayah dan ibunya ke tempat ini. Yuda baik, dia sering mengajakku bermain. Kata Ayah Yuda, jika Nilam besar nanti, Nilam dan yuda akan selalu bermain bersama,” ucapnya dengan polos. “Apa?” wajah Asyaq berubah tegang. “Iya, aku dan Yuda akan bermain bersama selamnya , mama juga bilang begitu,” ucap Nilam. “Jadi Nilam jawab apa?” “Hmm, aku jawab iya,” Ucapan Nilam membuat Asyaq semakin tidak tenang. “Nilam, bagaimana kalau paman saja yang menemanimu bermain. Paman bisa menemanimu bermain sepuasnya,” ucap Asyaq tanpa pikir panjang. Apa yang kau lakukan Asyaq, kau mau bermain dengan seorang anak kecil? Kau sudah gila. Kembali Asyaq bermonolog. Ia tahu kalau sekarang ia memang sudah kehilangan akal. Tapi sungguh, ia tidak bisa mengendalikan dirinya di hadapan Nilam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD