Bingung

1143 Words
Riftan terkejut tidak percaya, bagaimana mungkin ada manusia yang tidak terpengaruh kekuatan hipnotis tingkat tinggi yang ia gunakan untuk melumpuhkan kesadaran. Ia sangat yakin, tidak ada satu makhluk di dunia ini yang bisa menahan kekuatan itu.Tapia apa ini? gadis ini bahkan tidak pingsan setelah ia hisap darahnya. Riftan menatap tangannya, ia sangat yakin menggunakan ilmunya itu tapi kenapa kali gagal? Jika gadis itu menyadari apa yang telah ia lakukan, itu berarti ia dalam masalah besar. “Hei…! Apa benar kau Vampir?” Riftan yang masih mencari jawaban atas kebingungannya tersentak. “Hah? apa yang kau kau katakan itu, mana mungkin ada makhluk seperti itu di dunia modern ini. Kau jangan asal bicara.” Riftan berusaha mengelak. Ia tidak boleh terus-terusan berada di tempat ini. gadis itu mulai curiga. Jika ia terus berada di sekitarnya, maka gadis itu akan semakin yakin kalau dia memang adalah Vampir. “Kau jangan menyangkal, jelas-jelas aku merasakan kau menghisap darahku. Aku mengingatnya, saat taringmu memanjang dan keluar dari…dari mulutmu.” Nayya mulai mengoceh dan ketakutan sendiri. Riftan panik, ia tidak ingin Nayya mengetahuinya, tidak sebelum gadis itu menyadari jika dirinya adalah Adelia. “Omong kosong macam apa yang kau bicarakan itu, lagi pula mana ada Vampir bisa bertahan di bawah sinar matahari yanga menyengat itu? bukankah Vampir akan hangus terbakar jika terkena sinar matahari. Jadi jangan bicara yang tidak-tidak. Kau pasti sedang bermimpi,” sanggah Riftan dengan cepat lalu melangkah pergi. “Hei, kau jangan pergi begitu saja setelah membuat sahabatku seperti mayat hidup. Aku sidah curiga kau adaah orang aneh, kembalikan Sonia seperti semula…!” Nayya menghalangi langkah Riftan dengan memegang tangannya. Sentuhan hangat tangan Riftan membuat dahaganya kembali terusik. Ia ingin merasakan darah manis itu lagi. darah yang telah membangkitkan kembali kekuatannya yang telah hilang dan menciptakan cahaya biru pada bintang di dadanya bersinar kembali. Ia menatap tangan Nayya yang berkulit putih itu. Riftan bisa merasakan darah manis itu mengalir di setiap urat nadi Nayya. Ia meneguk ludahnya, menekan keinginan kuatnya untuk menerkam gadis ini lagi. “Lepaskan aku,” ucapnya. “Tidak! Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kau mengembalikan kesadaran sahabatku.” Tegas Nayya. Ia bahkan menggunakan kedua tangannya untuk memegang tangan Riftan. Sebenarnya Riftan bisa saja menepisnya dengan sangat mudah, tapi ia ingin membuat hal yang bisa menarik perhatian Nayya. “Sahabatmu itu akan sadar sendiri kalau aku sudah menghilang dari sini,” ucap Riftan. “Apa kau bilang? Dia akan sadar kalau kau sudah menghilang? Apa aku terlihat seperti orang bodoh yang bisa dengan mudah kau tipu, hah? aku tidak percaya! Kembalikan kesadaran Sonia sekarang juga…!” Riftan menghela nafas gusar, ia tidak ada cara lain untuk mengembalikan kesadaran Sonia selain menghilang dari tempat itu. “Sudah ku katakan, sahabatmu itu akan sadar sendiri kalau aku sudah tidak ada lagi di sekitarnya. Percayalah…” ucapnya putus asa. Ia tidak bisa tinggal lebih lama bersama Nayya, ia khawatir akan menghisap darah gadis itu lagi. darah yang tidak pernah membuatnya puas. Sehingga, jika bukan ia sendiri yang mengontrol kebutuhannya, ia akan berakhir dengan membunuh Nayya. Nayya menata mata hitam Riftan dengan penuh selidik, ia melihat kejujuran di dalamnya. Apakah pria ini bisa ia percaya? Bagaimana kalau Sonia tidak akan pernah sadar lagi setelah pria ini menghilang. Tidak, ia tidak boleh membiarkannya pergi begitu saja, “Kalau begitu serahkan kartu namamu, aku tidak ingin kau menghilang setelah mencelakai sahabatku," ucap Nayya. “Baiklah,” Riftan mengambil dompet dan membukanya. Ia menyerahkan sebuah kartu kepada nayya. “Apa ini kartu namamu?” tanya Nayya belum percaya. “Tentu saja, kau pikir aku memberikanmu kartu mana orang lain?” Riftan mulai kesal dengan tingkah Nayya. “Bisa saja, hal itu tidak mustahil di lakukan oleh pria mencurigakan sepertimu. Aku sudah menduga saat pertama kali melihatmu di rumah kami. Kau terlihat mencurigakan.” Ucap Nayya sambil meneliti kartu nama itu. Pegangan tangannya di lengan Riftan terlepas. Riftan menggunakan kesempatan itu untuk kabur. “Sampai jumpa, terima kasih banyak, ya…!” Seru Riftan sambil tersenyum lalu berlari menjauh. “Hei… jangan pergi…!” teriak Nayya berusaha mengejar Riftan, tapi pria itu sudah menghilang. “Dasar pria aneh, awas saja kalau dia berani menipuku.” Gerutunya sambil berjalan ke arah Sonia. “Nayya, apa yang sudah terjadi? Loh, kenapa kita ada di sini. Mana Reno?” Sonia terlihat kebingungan. Melihat sahabatnya itu kembali normal, ia memeluknya. “Syukurlah kau tidak apa-apa, yuk kita pulang,” ucap Nayya sambil memegang tangan Sonia melangkah meninggalkan tempat itu. “Nay, aku serius nanya ini, kenapa kita tiba-tiba ada di tempat tadi?” Sonia masih belum berhenti berceloteh. Sehingga Nayya sangat yakin kalau sahabatnya ini sudah kembali normal. “Bukannya kau sendiri yang mengajakku datang ke sana karena pak Riftan yang meminta, kan?” tanya Nayya, ia senagaja memancing ingatan Sonia tentang peristiwa yang baru saja mereka alami. “Pak Riftan memintaku untuk membawamu ke tempat itu? kapan? Kapan dosen super tampan itu meminta hal itu?” tanya Sonia. “Kau betul-betul tidak ingat kalau pak Riftan memintamu berbicara berdua denganmu sebelum kita memasuki mobil Reno?” “Tidak? Kapan, aku gak ingat. Ah, kau jangan mengada-ngada, deh. Wah, kalau memang itu terjadi, aku bisa menjadi wanita yang paling beruntung di dunia ini, hi..hi..” ucapnya sambil tersenyum-senyum. “Ya, mulai lagi deh mimpinya. Sudah ah, lupakan saja. ayo cepat jalannya. Reno sudah lama nunggu kita.” Ucap Nayya sambil mempercepat langkahnya. “Tunggu aku,. Nayya! Aku gak bisa jalan cepat,” teriak Sonia sambil berusaha mengimbangi langkah panjang Nayya. Sesampainya di tempat parkir, ternyata Reno masih menunggu mereka dengan sabar. Nayya tersenyum. “Maaf, ya. kau menunggu lama.” ucap Nayya. ‘tidak apa-apa. ayo masuk.” Sahut Reno sambil membuka pintu mobil untuk mereka. Keduanya pun masuk ke dalam mobil, setelah beberapa saat, mobil melaju dan berbaur dengan kemacetan jalan. Riftan hanya bisa menatap mereka dari atas bangunan, ia berdiri di dekat jendela di ruangannya. Riftan menghela nafas lalu kembali duduk di kursi peraknya. Asyaq masuk ke dalam, ia menghampiri Riftan lalu membungkuk penuh penghormatan. “Tuan, sudah waktunya,” ucap Asyaq. Riftan menatap Asyaq lalu bangkit dan berjalan perlahan kea rah jendela. ia menatap lurus ke depan dan menatapnya beberapa saat. Asyaq masih dalam posisinya. “Siapkan semuanya, upacara akan di langsungkan nanti malam,”perintah Riftan. “Siap, Tuan.” Asyaq lalu menegakkan tubuhnya, menundukkan kepala sejenak lalu melangkah keluar dari ruangan. Begitu Asyaq keluar, pintu ruangan terkunci dengan sendirinya. Gorden jendela yang tadinya terbuka, tiba-tiba tertutup dengan sendirinya. Ruangan menjadi gelap gulita. Tiba-tiba terdengar suara eraman. Dalam kegelapan Riftan perlahan membuka pakaiannya, suaran desahannya semakin terdengar. Tubuhnya sampai gemetar, ia tiba-tiba merasakan sakit di bagian dadanya. Begitu pakaiannya terbuka, ruangan yang tadinya gelap gulita tiba-tiba menjadi terang. Sebuah cahaya biru keluar dari d**a Riftan. Semakin lama, cahaya itu semakin terang bersinar hingga menyelimuti seluruh tubuh Abizar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD