Ingatan yang Samar

1201 Words
Mereka terdiam beberapa saat, hanya suara jam dinding terdengar. “Tolong maafkan saya Pak Dosen, saya benar-benar menyesali perbuatan saya. Kali ini saya tidak akan berbuat sesuatu yang akan membuatmu susah, saya janji,” ucap Nayya sambil terus memeluk tubuh Riftan dengan erat. Jantung keduanya berdetak kencang, Riftan yang sejak tadi menahan diri hanya bisa kembali menguatkan hatinya untuk tidak tenggelam dengan pesona gadis yang memeluknya ini. Beruntung ia memiliki tameng khusus yang membantunya agar tidak terpengaruh dengan aroma darah dan tubuh Nayya yang menyiksa jiwanya. “Baiklah, kali ini aku maafkan. Dan juga kau tidak perlu melakukan pendekatan sia-sia denganku seperti ini,” ucapnya dengan nada dingin. Nayya tersentak, ia baru menyadari apa yang sedang ia lakukan. “Oh, maafkan saya, saya tidak sengaja,” ucapnya merasa malu. Ia dengan cepat melepas pelukannya dan mundur beberapa langkah. Riftan menoleh. “Ingat baik-baik janjimu, jangan buat kesabaranku habis,” ucap Riftan lalu keluar dari kamar. Nayya menghela nafas lega, ia menghempaskan tubuhnya di kasur. Ia menyentuh dadanya, jantungnya masih berdebar kencang. Debaran aneh yang sangat menyenangkan, Nayya tersenyum lalu memejamkan mata. Riftan terlihat fokus menatap foto yang ada di tangannya. Ia memandangi foto itu dengan seksama, gambar seorang pria tinggi yang berhodi hitam dan memakai masker. Di lebaran berikutnya, pria dengan pakaian yang sama terlihat sedang mendekatnya wajahnya ke leher seseorang, dan orang itu tampak sangat kesakitan. Lama ia menatap foto itu lalu mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. “Datanglah ke ruanganku sekarang,” ucapnya lalu mematikan sambungan telepon. Selang beberapa lama, pintu di ketuk dan seorang pria berambut emas muncul. “Selamat sore, Yang Mulia Riftan Vladimir Adam. Lama tidak berjumpa,” sapa pria itu sambil tersenyum lebar. Ia bahkan merentangkan tangannya hendak memeluk Riftan tapi Riftan hanya meliriknya tajam. “Apa kau sukses dengan perburuanmu? Kau sudah menghilang selama 2 pekan,” ucap Riftan. “Oh, apakah begini sambutanmu untuk seseorang yang sudah rela mengorbankan nyawa demi mencari sebuah petunjuk? aku bahkan tidak dipersilakan duduk,” ucap pria itu memasang wajah sedih. “Hentikan itu Asoka, aku sedang tidak ingin bercanda? Ada hal serius yang telah terjadi. Seseorang telah melanggar aturan dan menyebabkan vampir baru muncul,” ucap Riftan sambil menyerahkan foto yang ada di tangannya. Asoka menatap kedua foto itu dengan teliti. “Apa kau yakin ini orang yang sama?” tanya Asoka. “Jawaban dari pertanyaan itu, hanya kau yang bisa menjawabnya.” Riftan menatap Asoka dengan penuh arti, membuat pria berambut emas itu hanya bisa menghembuskan nafas panjang. “Oh, yang benar saja, aku baru pulang dan kau dengan tanpa belas kasihan memberikan aku tugas ini lagi? setidaknya beri aku waktu liburan dulu.” Asoka merengek penuh harap. Riftan hanya menggeleng. “Kau pasti akan mendapatkan libur panjangmu setelah semua ini terungkap. Selesaikan dengan baik,” ucap Riftan lalu beranjak dari duduknya dan melangkah keluar ruangan meninggalkan Asoka yang sudah memasang wajah ingin dikasihani. “Hei.. setidaknya kasi aku waktu bersantai sebentar saja…” Asoka masih berusaha berteriak meminta belas kasihan Riftan tapi pria itu sudah menghilang. Asoka hanya bisa menghela nafas, ia lalu kembali menatap kedua foto itu bergantian. Tiba-tiba keningnya berkerut, ia seolah mengingat sesuatu. Ia kembali melihat foto itu, wajahnya seketika berubah tegang. “Gonzales…?” gumannya. Sementara itu, Asyaq terlihat mengamati situasi sekitarnya. Sudah beberapa hari ini ia di tugaskan oleh Riftan untuk menjaga kediaman keluarga Nayya. Kejadian yang menimpa Reno yang menyebabkan ia berubah menjadi Vampir adalah kejadian yang tidak bisa dianggap sepele. Asyaq juga sedang mengintai Reno kalau-kalau ia berusaha mengganggu sahabat Nayya dan keluarganya lagi. Sejak kejadian yang menimpanya waktu itu, Sonia tidak pernah keluar rumah lagi, ia menderita trauma dan butuh waktu untuk menenangkan diri. Asyaq sudah menempatkan beberapa pengawal untuk berjaga-jaga di sekitar rumah Sonia, dan Reno sampai saat ini belum di ketahui keberadaannya. Ia melarikan diri saat itu. Asyaq berjalan menyusuri sungai kecil di sekitar panti asuhan milik keluarga Nayya. Asyaq menatap air yang mengalir indah, di sentuhnya air jernih yang mengalir bagai untaian permata yang berkilau diterpa sinar matahari. “Siapa kamu…?!” Asyaq tersentak, ia menoleh dan melihat seorang hadis kecil menatapnya dengan penuh selidik. Asyaq langsung bangkit dan berdiri menatap anak kecil itu. “Oh, hai anak kecil?” sapanya mencoba bersikap ramah. “Hei Paman, jangan panggil aku anak kecil! Namaku Nilam. Aku baru pertama kali melihat Paman di sini, apakah Paman orang jahat? Kata mama, tidak boleh bersikap ramah kepada orang yang baru kita temui.” Nilam dengan berani berbicara kepada Asyaq, membuat pria itu tertegun. “Oh, Maaf Nilam, Saya bukan orang jahat, kok. Nama saya Asyaq, saya ada di sini karena kebetulan bertugas di sekitar kawasan ini,” ucap Asyaq sambil kembali memperhatikan sekelilingnya. Nilam tidak menjawab, gadis kecil itu hanya menatap Asyaq dengan tatapan polosnya. Asyaq kembali menatap Nilam. “Oh ya, Nilam, kamu sendiri kenapa ada di sini? Ini kan cukup jauh dari rumah. Di mana mama?” tanya Asyaq. “Oh, Nilam sayang… ternyata kau ada di sini. Mama cari-cari dari tadi, lain kali jangan menghilang lagi sayang, ya. Mama janji, Mama akan menelepon kak Nayya dan menenangkan kabarnya lagi. kita kembali ke rumah, ya?” Tiba-tiba seorang wanita berumur 40-an memeluk Nilam dengan penuh kekhawatiran. Saat ia menyadari jika ternyata ada seorang pria yang bersama mereka, wanita itu sedikit terkejut. “Selamat sore Nyonya, Saya Asyaq, pengawal tuan Riftan Vladimir. Jangan khawatir, saya di sini untuk bertugas menjaga kawasan sekitar,” ucap Asyaq sambil tersenyum ramah. “Oh, iya. Kalau begitu selamat bertugas tuan Asyaq. Kami permisi dulu,” ucap Nura membalas senyum Asyaq lalu menggandeng tangan Nilam dan melangkah pergi. Saat berjalan mengikuti langkah ibunya, Nilam sempat menoleh kea rah Asyaq sambil berkata. “Kita akan bertemu lagi, Paman Asyaq…” ucapnya sebelum melanjutkan langkah. Mendengar itu, Jantung Asyaq berdetak kencang, dadanya seketika sesak. Ia sampai meraba dadanya memastikan jika apa yang dirasakannya itu nyata. Ucapan Nilam menggiring ingatannya pada ucapan seseorang , tapi ia sendiri tidak mengerti siapa orang itu. Hanya ucapannya saja yang bisa ia ingat. Orang itu juga berkata seperti yang Nilam ucapkan. Tapi, kenapa ia merasa ada sesuatu yang membuatnya ingin terus berada di sekitar anak kecil itu? ada apa ini? Asoka berjalan terburu-buru menuju kamar Riftan, ia ingin menyampaikan hal yang penting menyangkut foto yang Riftan berikan padanya tadi. Asoka merasa sudah menemukan jawabannya dan ia sangat yakin akan hal itu. Jika ini benar, berarti sudah saatnya mereka bersiap. Sebenarnya ia sangat ingin menggunakan teleportasi saja agar bisa dengan cepat sampai di kamar Riftan, tapi ia takut kejadian saat itu terulang lagi. Waktu itu saking terburu-burunya, ia bahkan sampai tidak fokus lagi tubuhnya akan sampai ke tempat mana. Ia yang tujuan awalnya hanya ingin sampai di depan pintu kamar Riftan, berakhir terkurung selama seminggu di dalam kamar hukuman karena teleportasi tubuhnya ternyata sampai di kamar mandi di mana Riftan saat itu sedang membersihkan tubuhnya yang telanjang. Jika mengingat saat itu, ia akan tersenyum-senyum sendiri, tapi berjanji tidak akan mengulangi kecerobohannya lagi. ‘Asoka pun terus melanjutkan langkanya yang panjang menuju kamar Riftan yang letaknya lumayan jauh. Saking terburu-burunya, ia bahkan tidak sempat melihat-lihat sekitarnya. “Akkhh…!” Asoka terkejut saat melihat seorang wanita tengah terduduk di lantai sambil meringis kesakitan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD