Ingin Kabur

1085 Words
Mobil berhenti di hamparan pantai indah, Nayya segera turun dari mobil dan berlari menuju air laut. “Wah, sudah lama sekali aku tidak menginjakkan kakiku di pantai….! Rasanya seperti mimpi….” Serunya sambil berlari-lari kecil. Asyaq hanya tersenyum, melihat tingkah Nayya yang mirip dengan bocah. Tiba-tiba ia teringat Nilam. Asyaq jadi membayangkan bagaimana kabar Nilam sekarang. Sejak bertemu dengan bocah itu untuk pertama kalinya, ia terus memikirkannya. Tapi seketika bayangan sosok hitam yang sering menemuinya terlintas dalam pikirannya menghapus bayangan Nilam. Ucapan vampir wanita yang ia hajar tadi kembali terngiang. Apakah ia memang ditakdirkan untuk tidak memiliki pasangan jiwa, apakah ia akan lenyap dalam 100 tahun yang akan datang. Di saat umur vampir abadi, ia malah akan lenyap. Itu pasti akan terjadi jika ia tidak bisa menemukan pasangan jiwa dalam jangka waktu 15 tahun dari sekarang. Apa yang ia lakukan? Sedang Nayya masih sibuk bermain pasir dan berlarian di pantai. Ia seperti tidak mempunyai beban dalam pikirannya. Ia begitu bebas. Padahal Asyaq sangat tahu kalau Nayya sengaja tidak ingin pulang ke kastil karena ada seseorang yang membuatnya tidak nyaman di sana, di tambah respon Riftan yang terlihat sangat tidak tegas dengan putri sombong itu. Asyaq berjalan menghampiri Nayya. “Nona, setelah ini kita langsung pulang, ya?” ucap Asyaq. Nayya menoleh ke arah Asyaq dan menggeleng. “Tuan Asyaq, bisakah kau bawa aku ke rumah ibuku saja? aku ingin menginap beberapa hari di sana,” ucap Nayya sambil tersenyum. “Tapi kan, jadwal tuan Riftan mengambil darah Nona adalah malam ini,” ucap Asyaq. “Tidak apa-apa, jika Riftan membutuhkan darahku, dia bisa datang kapan saja ke rumah ibu, kan?” ucap Nayya, wajahnya terlihat murung saat mengatakan hal itu. Asyaq terdiam dan menatap Nayya untuk beberapa saat, sebelum mengangguk mengiyakan. “Baiklah, kalau itu mau Nona,” ucapnya. “Oh ya, Nona. Nilam sepertinya sudah tidak lagi tinggal di panti bersama saudara-saudaranya,” ucap Asyaq. “Iya, mama juga sudah memberitahukan tentang itu. Tidak apa, semoga keluarga barunya baik dan bisa membahagiakan Nilam,” ucap Nayya. Mereka lalu terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Nayya terlihat menulis sesuatu di atas pasir. Asyaq membaca tulisan itu dan tersenyum. “Kenapa Nona membenci tuan Riftan?” tanya Asyaq pura-pura tidak mengerti. Nayya baru sadar apa yang ia tulis, buru-buru ia menghapusnya. Ia baru sadar kalau ia sudah mengeluarkan isi pikirannya di atas pasir. “Tidak apa-apa, tapi tolong rahasiakan hal ini pada Riftan, ya. aku tidak ingin Riftan menganggap kalau aku tidak mendukungnya,” ucap Nayya berusaha menutupi kesedihannya. Asyaq menatap Nayya dengan tatapan kasihan. Ia melihat kesedihan mendalam di mata Nayya, tapi gadis ini tidak ingin memperlihatkan kepada siapapun. “Nona Nayya, apakah kau masih menganggapku sebagai pengawal? Padahal kita sudah lama bersama. Aku bahkan merasa sudah lebih dekat denganmu dan menganggapmu sebagai seseorang yang bisa di ajak saling berbagi cerita. Aku berencana menceritakan keluh kesahku tentang seseorang tapi ternyata kau tidak menganggapku demikian,” ucap Asyaq panjang lebar. “Ah?! Ti.. tidak seperti itu tuan Asyaq. Aku justru berpikir kalau kau orangnya sangat tertutup dan sangat menyayangi Riftan, jadi aku tidak ingin kau menceritakan apapun menyangkut ketidaknyamanan ku di kastil itu. Aku hanya tidak ingin Riftan berpikir kalau aku merasa sedih. Akku tahu kalau ia melakukan semua ini karena tidak ada pilihan lain,” jelas Nayya. “Nona tahu, aku juga sebenarnya sedikit kecewa dengan tuan Riftan. Ia tidak bisa memberikan ketegasan kepada putri mahkota. Ia terlalu menghormati raja Addan sehingga ia tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Sejak kedatangan wanita itu, aku merasa semuanya menjadi kacau. Mereka berdua, tuan Riftan dan Asoka menjadi tidak fokus,” ucap Asyaq. “Apakah kau juga merasa seperti itu?” tanya Nayya tidak percaya. “Iya, jadi jika ada sesuatu yang ingin di ceritakan, aku tidak keberatan menjadi teman curhatmu,” ucap Asyaq sambil tersenyum. Nayya terdiam, ia kembali mencoret-coret pasir. “Aku tidak suka putri mahkota itu, aku pikir dia orang ramah dan mau berteman dengan siapa saja, tapi dia tidak seperti itu. Ia bahkan sudah mengancam akan menghisap darahku sampai habis di hadapan Riftan. Aku benar-benar tidak bisa lagi betah di kastil. Kau tahu tuan Asyaq, aku bahkan sudah pasrah saat vampir tadi ingin menghisap darahku, memang aku yang sengaja yang ingin memberikan darahku secara suka rela. Aku berpikir aku memang hanya akan menjadi sumber makanan dari Riftan dan para vampir lain yang menangkapku. Riftan dan semua vampir itu sama saja. Jadi daripada aku di siksa dulu sebelum darahku di hisap, lebih baik aku menyerahkan diri secara baik-baik,” ucap Nayya mulai mengeluarkan uneg-unegnya. “Tidak Nona, jangan pernah berpikir kau hanya sebagai sumber makanan, dan jangan pernah memberikan darahmu kepada vampir selain Riftan. Darahmu akan membawa bencana jika ia terhisap oleh vampir yang tidak memiliki kontrol kuat dalam dirinya seperti Riftan. Bahkan jika kau dengan suka rela memberikan darahmu kepadaku, aku tidak akan berani menerimanya, karena aku takut menjadi lupa diri,” ucap Asyaq. Ia sedikit terkejut karena Nayya terdengar sudah tidak mampu bertahan di kastil lagi. Riftan benar-benar bodoh. “Tapi untungnya kau datang, jadi aku bisa menyadari kesalahanku.” Ucap Nayya. “Iya apapun itu, jangan pernah memberikan darah Nona kepada vampire lain.” Asyaq kembali memeberikan peringatan. “Iya, aku akan mengingatnya. Tapi ada sedikit yang mengganjal pikiranku,” ucap Nayya. “Apa itu, Nona?” “Vampir wanita itu tadi bilang kalau aku akan di gantikan oleh putri mahkota dan katanya segala aktifitasku dia bisa tahu dengan mudah. Ia pun tiba-tiba muncul saat aku tidak bersama dirimu. Apakah selama ini dia memata-mataiku, ya?” ucap Nayya. “Apa? tunggu, Nona bilang ia memata-matai, berarti ia memang sudah nengincar Nona selama ini. Tapi kenapa aku tidak mencium keberadaannya sama sekali. Ini berarti ia memata-matai Nona secara tidak langsung,” ucap Asyaq. Ia kemudian terdiam seperti memikirkan sesuatu lalu tiba-tiba menatap Nayya dengan tatapan serius. “Nona, coba periksa tas Nona,” ucap Asyaq. “Pe..periksa apa tuan Asyaq?” Nayya menjadi tegang. “Aku yakin, wanita itu menyimpan sesuatu pada barang-barang Nona sehingga ia bisa dengan mudah mendeteksi keberadaan Nona bahkan tahu kalau aku tidak bersama Nona hari ini,” jelas Asyaq. Mereka berdua kembali ke dalam mobil, Nayya meraih tasnya dan mengeluarkan semua isinya. Awalnya tidak ada satu barang yang mencurigakan, mereka mencari-cari tapi tidak menemukannya. Akan tetapi tiba-tiba Nayya merasa ada sesuatu yang mengganjal di bagian dalam tasnya. Ia lalu kembali memeriksa tasnya dan ternyata benar, sebuah benda kecil berwarna hitam dengan sinar merah ada di dalam sana. “Ini alat perekam dan kamera kualitas tinggi,”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD