Kecewa Lagi

1137 Words
“Apa?!” Mereka saling pandang dengan raut wajah tegang. “Dasar wanita jalang, dia selalu saja membuatku kesusahan, andai aku menghabisinya saja tadi,” guman Asyaq penuh emosi. Nayya menatap Asyaq. Ia jadi teringat kalau wanita itu terlihat cukup berani menghampiri Asyaq, sedangkan Asyaq juga terlihat ragu untuk menyerangnya lagi. “Tuan Asyaq, apa saya boleh bertanya?” ucap Nayya. “Iya, Nona. Katakan saja,” ucap Asyaq. “Wanita tadi terlihat cukup berani kepadamu, kau juga terlihat sedikit ragu menyerangnya. Dan juga ucapannya begitu intim denganmu, apakah kau mengenal wanita itu?” tanya Nayya. “Dia adalah orang cukup dekat denganku dulu, kami bahkan berencana melakukan ikatan jiwa dan berkomitmen menjadi pasangan sebelum ia berpaling dariku” ucap Asyaq menjelaskan. “Oh begitu, maaf kalau aku membuatmu mengingat hal yang ingin kau lupakan,” ucap Nayya. “Tidak apa, Nona. Aku lega akhirnya apa yang aku pendam sajak lama, bisa aku keluarkan. Aku juga sudah bilang kalau Nona adalah seseorang yang bisa aku percayai,” ucap Asyaq. “Aku senang kau menganggapku seperti itu,” ucap Nayya dengan senyumnya. Mereka berdua berjalan menyusuri hamparan pasir putih. Nayya terlihat begitu menikmati sejuknya angin laut di sore hari. Berbincang dan saling bertukar pendapat. Asyaq semakin lama menjadi semakin nyaman mengungkapkan semua uneg-unegnya, begitu juga dengan Nayya. Sampai akhirnya Asyaq tidak sengaja mengungkapkan ketertarikannya kepada Nilam. “Apa?” “Tidak, maksudku semua orang kan memang suka Nilam jadi aku pun merasa menyukai anak kecil itu,” ucap Asyaq beralasan. “Iya, sih. Aku juga sangat menyayangi anak itu.” Asyaq menghela nafas lega karena Nayya bisa percaya ucapannya. Sedangkan Riftan yang sejak tadi mencari keberadaan Nayya terlihat cemas. Sejak kejadian tadi pagi, Nayya tidak tidak pernah terlihat lagi. Dia juga menyesal karena tidak bisa membela kekasihnya itu saat putri Adora mengancamnya. Ia sungguh membenci dirinya sendiri sekarang. Ia tahu Nayya pasti terluka dan ia tidak bisa melakukan apa-apa. Riftan menjadi semakin frustrasi kerena Nayya ternyata tidak berada di mana-mana. Ia juga sudah berulang kali mengirim telepati kepada Asyaq, tapi selalu gagal. Ponsel, mana mungkin mahluk satu itu memfungsikan ponselnya kalau kemampuan telepati bisa diandalkan. “Asoka, kau urus putri Adora, aku akan mencari Nayya dulu,” Riftan mengirim telepati kepada Asoka sebelum melesat pergi dan lenyap di kerimbunan pohon. Sementara itu, Nayya dan Asyaq terlihat sedang menikmati jagung bakar. Mereka semakin akrab, tidak ada lagi rasa canggung dan tidak enak. Mereka sudah seperti sepasang sahabat yang saling memahami. “Tuan Asyaq, sebaiknya kita pulang. Hari sudah mulai gelap, kau juga akan berpatroli, kan?” ucap Nayya mengingatkan. “Iya, baiklah. Aku antar kau ke rumah ibumu dulu kalau begitu,” ucap Asyaq sambil beranjak dari duduknya. Nayya pun mengikuti langkah Asyaq menuju mobil. Namum langkah Asyaq terhenti. Matanya memandang lurus ke depan. “Ada apa, kenapa kau berhen…ti…” ucapan Nayya terputus karena melihat Riftan sudah berdiri di hadapan mereka. “Kau membawa Nayya sampai selama ini?” wajah Riftan terlihat kesal, ia seperti siap untuk menghajar Asyaq. “Maaf Tuan,” hanya itu yang Asyaq bisa ucapkan. Padahal Nayya yang mengajaknya ke pantai dan menahannya lebih lama. Tentu saja Nayya tidak terima jika Riftan sampai menghajar Asyaq gara-gara dirinya. “Aku yang meminta tuan Asyaq menemaniku ke pantai dan menahannya di sini. Jadi kau jangan memarahinya. Ini semua salahku,” bela Nayya. Riftan menatap Nayya yang terlihat tidak terima jika Asyaq mendapat masalah. Ia juga melihat ekspresi Nayya yang dingin terhadapnya. Tidak seperti biasa, yang selalu memberinya senyum manis setiap kali mereka bertemu. “Baiklah kalau begitu, sekarang kita pulang, ya?” ucap Riftan sambil meraih tangan Nayya, tapi tanpa di duga, Nayya menepis tangan Riftan. Ini baru kali pertama Nayya melakukan itu padanya. “Nayya…” “Maaf Pak Dosen, aku ingin pulang ke rumah ibuku. Aku berencana untuk menginap selama beberapa hari di sana. Jadi saya tidak bisa ikut denganmu,” ucap Nayya berusaha menyembunyikan kesedihannya. “Tapi kenapa tiba-tiba, Nayya? Bukannya jika sudah mendekati malam purnama, kau harus tetap berada di kamarmu. Malam ini akan ada ritual pengambilan darah suci,” ucap Riftan. Naya menatap Riftan tanpa kedip. “Aku pikir darahku sudah tidak kau butuhkan lagi. Kesucian cinta yang kuberikan sudah membuat kekuatanmu menyatu, bukan begitu?” ucap Nayya. “Ah, itu memang benar tapi aku tetap ingin menghisap darahmu dan memperkuat semua kemampuanku,” ucap Riftan. “Kau bisa datang ke rumah mama, aku siap memberimu darah sebanyak yang kau butuhkan. Bukankah itu memang adalah tugasku? Baiklah, aku mau pulang sekarang, Pak dosen datang saja. Ayo tuan Asyaq, tolong antar aku pulang,” ucap Nayya sambil melangkah meninggalkan tempat itu. “Nayya tunggu…!” Riftan mengejar Nayya. Ia meraih tangan gadis itu dan menariknya ke dalam pelukannya. “Maafkan aku, karealna tidak bisa memberikan perlindungan semestinya kepadamu. Marah saja, Nayya. Ungkapkan semua kekesalanmu, aku akan menerimanya. Dari pada aku melihatmu terlihat baik-baik saja padahal aku tahu kalau kau kecewa dan sedih,” ucap Riftan sambil memeluk erat tubuh Nayya. Nayya memejamkan mata mencoba menekan perasaanya yang berkecamuk. Di saat seperti ini, ia tidak boleh menunjukkan kekecewaannya kepada Riftan, Apalagi dirinya sudah mengetahui semua kebenarannya. Ia juga mempercayai Riftan sepenuh hati. Rasanya akan terlihat konyol dan kekanak-kanakan jika ia mengakui secara terang-terangan tentang perasaannya. “Riftan…a..,u ti…tidak bisa bernafas…” ucapnya saat Riftan semakin memperkuat pelukannya. Riftan dengan cepat melonggarkan pelukannya. “Ah, maaf. Aku terlalu terbawa perasaan,” ucap Riftan. “Pak Dosen, aku tidak pernah merasa kecewa padamu, kan sudah kubilang kalau aku selalu berada di pihakmu. Jadi tidak perlu khawatir. Aku hanya akan menginap beberapa hari saja setelah itu akan kembali. Sekarang kau senang?” ucap Nayya. Sedangkan Asyaq yang sejak tadi melihat mereka berdua, hanya bisa mengepalkan tangan menahan kekesalannya karena Riftan benar-benar tidak peka terhadap kesulitan yang Nayya hadapi. “Benarkah, “kalau begitu aku bisa bernafas lega,” ucapnya sambil melepas pelukannya. Nayya hanya mengangguk dan tersenyum meresponnya. “Kau benar-benar belum bisa mengerti keinginanku, Riftan,” ucapnya dalam hati. “Baiklah, aku pergi sekarang, ya?” pamit Nayya. “Eh, aku saja yang mengantarmu,” ucap Riftan. Nayya menatap Asyaq dan melihat pria itu tersenyum dan mengangguk ke arahnya. “Ya sudah, baiklah…” ucap Nayya, hatinya sedikit senang karena akhirnya ia bisa berduaan dengan Riftan setelah sekian lama sejak putri itu datang dan mengganggu kehidupan bahagianya bersama Riftan di kastil. Akan tetapi baru saja mereka melangkah menuju mobil, ponsel Riftan berbunyi. “Halo?” Wajah Riftan menjadi berubah tegang. Ia menatap Nayya dengan penuh penyesalan. “Ini dari putri Adora, ia memintaku untuk datang menemuinya sekarang juga. Nayya maafkan aku, tapi aku harus pergi,” ucapnya . Hati Nayya seketika hancur berantakan. Harapannya seketika jatuh menghempas angannya hingga remuk. “Apa yang terjadi jika kau menolaknya sekali ini saja, pak Dosen?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD