Rencana Perpisahan

1171 Words
“Riftan apa kau ingin menghisap darahku?” tanya Nayya. Wajahnya memerah. “Apa boleh?” Riftan bertanya balik sambil mencium pipi Nayya dengan lembut. “Iya…” jawab Nayya dengan lirih. Ia membalik badannya dan menatap Riftan dengan kedua bola matanya yang bulat. “Jangan dulu, kau masih butuh banyak istirahat. Aku tidak ingin kau menjadi semakin lemah,” ucap Riftan berusaha menahan keinginannya untuk menancapkan taringnya ke leher putih mulus itu. “Padahal aku tidak apa-apa,” ucap Nayya menyayangkan. “Sudahlah, aku bisa meminum darahmu lain waktu. Sekarang kau istirahat, ya?” ucap Riftan sambil mencium kening Nayya dengan penuh rasa sayang. Nayya rupanya masih ingin bermanja-manja dengan Riftan sehingga bukannya mengangguk, ia malah melingkarkan kedua lengannya ke leher Riftan. “Gendong aku ke ranjang,”pintanya dengan manja. “Hmm kau memang nakal, ya,” ucap Riftan lalu membopong tubuh Nayya dan membawanya ke ranjang, Nayya tersenyum riang. Riftan membaringkan Nayya di atas kasur dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut hangat. Riftan kembali mengecup bibir Nayya sebentar lalu tersenyum. “Tidurlah, aku akan datang lagi,” ucap Riftan. “Riftan, jangan pergi dulu.” Nayya masih bermanja-manja. “Ada apa?” Riftan membelai rambut lembut Nayya. “Temani aku tidur dulu sebentar, kau boleh pergi jika aku sudah tertidur, aku mohon.” Nayya menggenggam tangan Riftan dengan erat. Riftan menghela nafas lalu naik ke atas ranjang dan berbaring di sebelah Nayya. “Yeeay…!” Nayya senang sekali. Nayya memeluk tubuh Riftan dan memejamkan matanya. “Kenapa hari ini kau manja sekali?” tanya Riftan. “Tidak apa-apa, aku hanya ingin berada di dekatmu terus. Aku takut putri Adora akan membuat kita terpisah. Aku tidak mau itu terjadi.” Nayya berguman. “Tidurlah, semuanya akan baik-baik saja,” ucap Riftan. “Aku masih ingin berbicara denganmu, aku hmmm….” Nayya hanya bisa berguman karena kantuk seketika langsung menyerangnya. Setelah yakin Nayya sudah terlelap, Riftan bangkit dari rebahnya dan meninggalkan tempat itu. Ia melangkah ke arah bangunan timur dimana Asoka dan putri Adora berada. Di tengah perjalanan, ia melihat Asoka yang sedang berjalan ke arahnya. “Kau mau ke mana?”tanya Riftan. “Aku ingin ke tempatmu, tapi karena sudah di sini, lebih baik kita langsung bicara saja?” ucap Riftan. Asoka menghela nafas panjang, ia tahu apa yang akan Riftan bicarakan dengannya, dan ia sudah siap untuk itu. “Baiklah, tidak masalah,” ucap Asoka dengan tenang. “Asoka, apakah kau tidak keberatan jika putri Adora kita pulangkan ke istana?” tanya Riftan. Asoka menghembuskan nafasnya. “Kenapa kau menanyakan hal seperti itu? kau tahu sendiri kalau keberadaan putri Adora akan sangat membahayakan Nayya. Tentu saja aku tidak akan keberatan jika ia pergi dari sini.” Ucapannya itu tentu saja bertentangan dengan kenyataan yang ia rasakan. Mendengar ucapan Asoka, Riftan menghela nafas panjang. “Kau tahu, aku ingin sekali memulangkannya, tapi ucapan Nayya seketika menyadarkanku. Maka dari itu aku memutuskan akan memberinya sekali kesempatan lagi. Putri Adora bisa tinggal di sini dengan syarat ia tidak boleh muncul di hadapan Nayya lagi,” ucap Riftan. Tidak bisa Asoka pungkiri, betapa senang hatinya mendengar perkataan Riftan. Sejak tadi ia tidak tenang memikirkan ia harus berpisah dengan putri Adora. Tapi setelah mendengar hal baik yang Riftan sampaikan, ia merasa sangat lega, dan ini karena Nayya? Sungguh Nayya memiliki jiwa dan hati yang besar. Terima kasih, Nayya. Lirihnya dalam hati. “Kau senang sekarang?” tanya Riftan sambil menatap Asoka leat, ia ingin sekali melihat ekspresi wajah Asoka yang hampir tidak pernah berubah, dingin dan serius. Riftan tahu kalau sahabatnya ini sangat senang mendengar keputusannya itu. Ia hanya jaim dan tidak ingin mengakuinya. “Hei bilang dulu, kau senang atau tidak…!” teriak Riftan saat Asoka hanya terdiam . “Kalau kau tidak mau mengakuinya, lebih baik aku tarik kembali ucapanku. Lagi pula Jika kau rindu padanya, kau bisa datang ke istana, kan? ucap Riftan memancing. Tapi Asoka sama sekali tidak mengucapkan kata satu pun. Ia malah ingin beranjak dari duduknya dan meninggalkan Riftan. “Hei kau mau ke mana? Aku belum mendengar apakah kau setuju dengan keputusanku ini atau tidak,” ucap Riftan menahan langkah Asoka. “Kau memberikan keputusan yang tebaik, Riftan,” ucap Asoka lalu pergi meninggalkan Riftan. “Kenapa reaksimu terlihat biasa seperti itu…?!” Riftan berteriak saat Asoka berjalan semakin jauh. Sedangkan Asoka sudah menahan senyum karena rasa bahagianya. Tapi entah kenapa perasaan kecewanya terhadap putri Asoka masih belum hilang. Ia tetap merasakan sakit karena mengetahui putri Adora tidak memilki perasaan padanya. Tapi itu tidak masalah lagi sekarang, yang terpenting keputusan Riftan sudah sangat membantunya. Ia tidak perlu mengharap balasan perasaan yang sama dari putri Adora, karena bisa melihatnya saja sudah cukup. Putri Adora duduk dengan tegang di kursi, di hadapannya ada Riftan dan tentu saja Asoka. Berkali-kali ia menelan liurnya karena gugup dan cemas. Ia tahu kalau Riftan memintanya untuk menemuinya karena ia berencana mengembalikannya ke istana. Ia sendiri tidak mau kembali, tapi kesalahan yang ia telah perbuat sangat tidak bisa dimaafkan. Ia melirik Asoka yang hanya memasang wajah dingin, ia kembali menelan liurnya. Ternyata Asoka pun sudah tidak mau peduli padanya. Ia tertunduk. “Maafkan aku, aku tidak tahu …” ucapnya setelah sekian lama terdiam. “Putri Adora, kau tahu kalau kesalahanmu itu sudah sangat melewati batas?” ucap Riftan, putri Adora hanya semakin menundukkan kepalanya. Dia merasa seperti tahanan yang akan segera di eksekusi. “Permintaan maaf saja tidak akan cukup, dan seharusnya kau dipulangkan ke istana dengan alasan perbuatanmu itu. Tapi seseorang mengatakan jika kau akan terluka dan hancur jika kembali ke istana, seseorang itu masih saja mengkhawatirkan dirimu padahal kau sudah berulang kali ingin mencelakainya. Aku bahkan sampai tidak habis pikir. Tapi kau tahu, berkat ucapannya aku memutuskan untuk tetap membiarkanmu tinggal di kastil ini, terlebih ada seseorang yang aku sangat khawatirkan perasaannya jika kalian berpisah,” ucap Riftan sambil melirik Asoka. Orang dilirik itu hanya tersipu dan menggeleng. Mendengar hal itu, tentu saja putri Adora senang bukan main. Wajahnya yang murung berubah ceria. “Benarkah itu? terima kasih…” ucapnya. “Tapi ini bukan berarti kau bisa melakukan apa pun semaumu di kastil ini. Semua persyaratan dan aturan harus kau patuhi selama di sini,” ucap Riftan lagi. “Iya, aku mengerti.” “Kau juga tetap akan diberikan hukuman, kau tidak akan dikawal oleh Asoka lagi. Pengawal pengganti sudah siap dan kau akan bersama dengannya. Asoka tidak akan tinggal di gedung timur lagi,” ucap Riftan. Baik putri Adora dan Asoka, mereka sama-sama terkejut. Tapi dengan cepat mereka berusaha menormalkan sikap. “Apalagi, kalian berdua tidak ada hubungan tomantis apapun, Jadi aku rasa ini tidak akan sulit,” kembali Riftan mengimbuhkan. Asoka sudah melirik Riftan dengan tatapan tajam, Riftan yang menyadari itu hanya tersenyum kecil. “Kau sengaja, kan?” Asoka bertelepati “Memang, aku senang melihat reaksi terkejut kalian berdua, dan aku serius dengan ide memisahkan kalian, ha..ha..” balas Riftan dengan jahilnya. Asoka hanya bisa mengembuskan nafasnya dengan kesal. “Ba..baik. terima kasih,” ucap putri Adora.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD