Terdesak

1082 Words
“Hah…?!” Nayya tidak percaya apa yang ia dengar. Apakah benar ia bisa menyentuh pemandangan indah yang ada di hadapannya ini? rasanya seperti mimpi, atau ia memang bermimpi? Nayya menatap Riftan yang juga menatapnya dengan mata yang memerah, ia menyentuh wajah tampan itu. Ia benar-benar terpesona melihat ketampanan Riftan yang tiada tandingannya. “Pak Dosen…” panggil Nayya dengan suara lirih. “Ya…?” “Kenapa kau sangat tampan, kau selalu membuatku berdebar-debar setiap kali melihatmu. Dan sekarang, kau hampir membuat jantungku meledak saking. Pak Dosen, jika nanti kau bersama tuan putri, dia pasti akan merasakan hal yang sama denganku. Dia juga pasti akan tergila-gila padamu. Aku tidak tahu apakah hatiku akan siap membagimu dengannya,” ucap Nayya, matanya mulai berkaca-kaca. Riftan yang tadinya sudah merasa di awang-awang berubah seketika. Dia menatap Nayya dengan dalam, menyentuh wajahnya dan mendaratkan ciumannya dengan kasar dan dalam. “Kenapa kau malah membahas tentang orang lain di malam kita ini? aku tidak suka kau menyebut siapa pun selain kita berdua.” Riftan bangkit dari rebahnya dan membenarkan pakaiannya. Moodnya langsung hancur seketika saat Nayya menyinggung soal putri Adora. “Pak Dosen…” panggil Nayya, ia merasa menyesal telah mengecewakan Riftan. “Tidurlah…” “Pak…” Riftan tidak menjawab, ia memasang ikat pinggangnya dan melangkah meninggalkan kamar Nayya. Gadis itu hanya bisa menitikkan air mata, ia tidak bermaksud menyinggung soal perempuan lain, ia hanya ingin meyakinkan hatinya di hadapan Riftan tapi pria itu salah mengartikan maksudnya. “Aku tidak ingin membagimu dengan siapapun, tidak bisa…” gumannya sambil berlinang air mata. Riftan berjalan dengan langkah panjang menuju penjara bawah tanah, Aura bengis menakutkan terasa di sekitarnya. Para penjaga yang kebetulan berpapasan dengannya hanya bisa tergidik ngeri. Mereka tahu kalau Riftan sedang sangat marah. Tahanan di penjara pasti akan menjadi sasaran kemarahannya. “Buka gerbangnya,” perintah Riftan kepada penjaga penjara. Kedua penjaga itu menunduk hormat lalu membuka gerbang penjara untuk Riftan. Riftan melangkah memasuki lorong penjara yang hanya diterangi oleh cahaya obor di setiap sisi dinding tanah. Riftan terus melangkah masuk ke dalam hingga ia berhenti di depan sebuah penjara yang didalamnya terlihat dua orang tahanan. “Apa mereka belum mau membuka mulut juga?” tanya Riftan kepada penjaga. “Belum, Tuan. Kami bahkan mengancam mereka dengan api tapi mereka sepertinya tidak berniat memberikan informasi apapun. “Buka pintunya…” perintah Riftan. Penjaga membuka pintu penjara dan membiarkan Riftan masuk ke dalam. Riftan menatap keduanya yang sudah babak belur, kedua vampire ini sudah beberapa hari tidak diberikan darah dan mereka sudah seperti mayat yang tidak berdaya, tapi anehnya, meski tersiksa seperti itu, mereka tetap tidak mau membuka mulut. “Jadi sampai kapan kalian menyiksa diri kalian sediri?” Tanya Riftan kepada kedua vampir yang tampaknya sudah tidak berdaya itu. Salah satu diantara mereka mengangkat kepalanya dengan lemah. “Darah, aku mau darah…” lirihnya tidak berdaya. Riftan memberikan kode kepada penjaga penjara untuk memberikan segelas cairan berwarna merah. Begitu aroma darah tercium, keduanya langsung berontak bagai singa yang sedang mengamuk. Untung saja kedua tangan dan kaki vampir itu di rantai sehingga mereka tidak bisa menjangkau Riftan. Mata keduanya memerah, gigi taring mereka keluar dan siap menghisap apa pun yang ada di sekitarnya. Riftan tampak sedikit terkejut, kedua vampire ini ternyata dari kalangan ‘Epolegon’ jenis vampir yang mampu bertahan tanpa darah selama berbulan-bulan dan akan merasa segar kembali hanya dengan menghirup aroma darah. “Lepaskan kami, dan biarkan kami pergi…!” ucap salah satu dari mereka. “Ternyata kalian tidak bisa dianggap sepele. Kalian adalah jenis vampire yang selama ini aku cari, tentu saja kalau bukan kulenyapkan, aku akan membuat kalian tunduk dan bekerja sama denganku. Aku sedang marah sekarang tapi aku tidak ingin menyakiti kalian. Kalian mau darah kan, sayangnya darah ini hanya untuk orang-orang yang mau diajak bekerja sama.” Riftan mengembalikan darah itu kepada penjaga penjara membuat kedua vampir malang itu hanya bisa menggertakkan gigi menahan lara lapar dan amarah. “Hei… kau tidak bisa memaksa kami. Serahkan darah itu k*****t….!!!” Mereka hanya bisa berteriak dan mengeram. Sebenarnya ini siksaan bagi mereka. Meskipun mereka bisa bertahan hanya dengan menghirup aroma darah, tapi setelah itu mereka akan semakin kelaparan dan tersiksa. Riftan terus berjalan meninggalkan penjara itu dengan seringainya. Ia tahu sebentar lagi mereka akan menyerah. Hanya tinggal menunggu waktu saja. Pada saat melewati ruang utama, Riftan melihat Asoka sedang duduk bersama seorang pria. “Oh, selamat malam tuan...” sapa pria itu sambil membungkuk hormat. “Ya selamat malam,” balas Riftan. “Riftan, dia adalah utusan dari kerajaan.” Asoka menjelaskan. Riftan menghela nafas dalam, ia tahu maksud dari utusan itu. Riftan menatap Asoka dan Asoka hanya mengangguk. *** “Riftan, sudah tidak ada waktu lagi. Tuan putri semakin tersiksa menunggu jawabanmu. Kau harus memberikan keputusan setelah itu, kita baru jalankan rencana,” ucap Asoka saat mereka kembali mengadakan pertemuan. “Aku tidak sanggup melihat Nayya menderita, Asoka.” Riftan mengeluh tidak berdaya. Asyaq hanya bisa menatapnya dengan tatapan sedih. Hatinya juga ikut merasakan kepedihan yang dirasakan oleh tuannya. Baru kali ini, pria yang telah bersamanya selama ribuan tahun itu mengeluh dan tidak berdaya. Riftan yang ia kenal adalah seseorang yang penuh ketangguhan. Ia sama sekali tidak pernah memperlihatkan kelemahannya di depan siapapun selain di depannya. Bahkan Asoka yang merupakan sahabat karib Riftan, baru kali ini melihatnya begitu lemah. “Tuan, kau harus kuat dan memutuskan sekarang. Kita harus selesaikan masalah ini satu persatu. Kau jangan khawatir, setelah semuanya selesai, aku akan mengambil tapak kaki naga itu dan memisahkan jiwamu dengan jiwa putri Adora. Yang kita butuhkan sekarang adalah dukungan dari Raja dan menerima putri Adora sebagai pasangan jiwamu adalah satu-satunya cara yang terbaik. Lagipula, Nona Nayya sudah memastikan kepada kita semua kalau ia akan mendukung semua usaha kita. Jangan khawatir ia tidak akan kenapa-kenapa,” ucap Asyaq penuh perhatian. “Asyaq benar, kau harus menerima putri Adora dan membiarkan kami menyelesaikan lebihnya,” imbuh Asoka. Riftan menghela nafas dalam, lama ia merenung sebelum akhirnya menatap kedua sahabatnya itu. ‘Kalau begitu aku akan menemui Nayya dulu sebelum pergi ke istana,” ucap Riftan sambil beranjak dari tempatnya, namun Asyaq menahannya. “Tidak Tuan, kau jangan menemuinya. Kau tidak akan bisa mengendalikan hatimu jika kau pergi menemuinya lagi. Sebaiknya kau pergi saja sekarang, Asoka akan bersamamu. Dan biarkan aku yang mengurus nona Nayya selama kau di istana,” cegah Asyaq. “Apa aku tidak boleh melihatnya sekali saja sebelum pergi?” “Tidak!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD