Dua Cara

1160 Words
“Apa?” “Aku berpikir, bagiamana kalau aku berubah menjadi vampir?” “Tidak boleh!” jawab Riftan dengan tegas. “Kenapa tidak?” Nayya penasaran. “Aku bilang tidak boleh, ya itu artinya kau tidak bisa,” jawab Riftan. “Tapi aku mau tahu alasannya!” Nayya tidak mau mengalah. Keras kepalanya muncul lagi. “Sudahlah, aku minta kau mengubur keinginanmu yang satu itu, karena hal itu sangat mustahil terjadi,” ucap Riftan. “Huh… dasar vampir pelit. Aku tahu kenapa kau tidak mau mengubahku menjadi vampir,” ucap Nayya. “Apa? jangan sok tahu, kamu,” sahut Riftan. “Karena kau tidak mau darahku tidak suci lagi, kan? kalau aku menjadi vampir, kau tidak bisa menikmati darahku lagi, iya kan?” tebak Nayya. Riftan tidak menjawab, sebenarnya bukan itu yang menjadi penyebab utamanya. Riftan tidak ingin Nayya berubah menjadi vampir atau memiliki pemikiran untuk mengubah Nayya menjadi vampir itu karena proses perubahan manusia menjadi vampir itu sangat menyakitkan. Ia tidak sanggup membayangkan jika kekasihnya ini akan menggelepar kesakitan tanpa siapapun bisa menolong dan itu akan berlangsung selama beberapa menit. Rasa sakit yang sangat menyiksa itu akan terus ia rasakan beberapa lama sebelum jantungnya berhenti berdetak dan berubah menjadi tidak berfungsi dan hanya menyisakan jiwa. Jiwa yang masih ada di dalam tubuh itulah yang menggerakkan tubuh seorang vampir. Tubuh akan mati dan semua organ vital akan berhenti berfungsi. Satu-satunya yang hidup di dalam tubuh seorang vampire adalah jiwanya. Kerena jiwa yang menjadi satu-satunya penggerak tubuh maka tubuh akan terus mengalami regenerasi setiap satu tahu sekali, itulah sebabnya tubuh vampir akan tetap seperti pada waktu pertama kali ia berubah. Usia tubuhnya akan kekal sekekal jiwa yang ada dalam tubuhnya, dan baru akan lenyap dan musnah jika dibakar dengan api. Akan tetapi, Riftan tidak ingin melihat gadisnya tersiksa seperti dirinya, ia menginginkan Nayya hidup normal layaknya seorang manusia yang akan menua seiring berjalannya waktu, mati dan terkubur dengan terhormat tanpa harus merasakan semua kepahitan dan penderitaan hidup kekal. Kehidupan penuh luka karena terlalu banyak kejadian pahit yang harus dialami dan akan terus seperti itu hingga akhirnya vampir itu sendirilah yang menentukan akan musnah seperti apa. “Kenapa kau malah terdiam? apa kau memang berpikir seperti itu terhadapku? Kalau iya, berarti kau benar-benar vampir yang egois.” “Nayya, aku mohon jangan pernah membahas masalah ini lagi. Kau terlalu berharga untuk menjadi mahluk seperti kami. Sekarang tidurlah, ada saatnya aku akan menjelaskan semuanya padamu sampai kau mengerti kenapa aku tidak ingin kau menjadi seorang mahluk penghisap darah.” Riftan memberi ketegasan. “Tapi aku tidak ingin kau meninggalkan aku suatu saat nanti, aku ingin terus bersama dirimu,” rengek Nayya tidak rela. “Aku tidak akan meninggalkanmu, tapi kau yang akan meninggalkanku, tapi sebelum itu terjadi, kau tidak akan merasa menyesal meninggalkanku karena aku akan terus bersama seumur hidupmu, akan ada banyak kenangan manis yang akan kita ciptakan berdua, kau paham?” Riftan berusaha memberi pengertian. Nayya hanya menghela nafas lalu berusaha memejamkan matanya . Lama mereka terdiam sampai suara nafas teratur Nayya terdengar. Perlahan Riftan melepas pelukannya dan menyelimuti tubuh Nayya dengan selimut lembut. Riftan memejamkan matanya, seketika cahaya biru membentuk sebuah balon besar dan menyelimuti tubuh Nayya. “Sekarang kau akan terhindar dari mimpi buruk, tidurlah yang nyenyak,” ucapnya lalu pergi meninggalkan kamar Nayya. Malam itu Riftan mengumpulkan semua pemimpin kalangannya untuk melakukan pertemuan. Mereka membahas tentang persiapan penyerangan. “Kita belum bisa langsung melakukan penyerangan secara terbuka kepada pihak musuh mengingat pasukan yang terkumpul masih sangat kurang. Menurut informasi yang kuperoleh, Gonzales telah mengumpulkan sedikitnya tiga ratus pasukan untuk menghadapi kita. Itu belum termasuk penjaga dan beberapa pengawal di tempatnya. Jika dibandingkan dengan pasukan yang kita miliki, kita masih sangat kekurangan. Menurutku, penyerangan terbuka tidak cocok kita lakukan dalam kondisi seperti sekarang, bagiamana kalau kita menyusup ke wilayah musuh dan membunuh pasukannya satu persatu?” ucap salah satu yang duduk diantara mereka . Ia merupakan komandan pasukan yang Riftan percaya untuk melatih dan membina semua prajuritnya. Ia juga sangat ahli dalam rekayasa peperangan. Riftan menatap pria itu sambil memikirkan sesuatu. “Penyerangan gerilya maksudmu? Tapi bukankah itu terlalu beresiko? Bagaimana kalau kita memberikan ilmu lebih kepada mereka? Kekuatan yang akan mereka serap sepadan dengan kekuatan lima sampai sepuluh vampir untuk satu prajurit. Di samping itu para serigala telah siap untuk berkumpul jika mereka diperlukan dan itu adalah tusanmu,” Riftan menunjuk seorang pria berambut putih yang duduk dihadapannya. “Baik, Tuan,” ucapnya sambil mengangguk hormat. “Elvir, apakah semua pasukan kita sudah siap?” tanya Riftan kepada kepala komandan pasukannya. “Pasukan yang sudah benar-benar siap ada tujuh puluh orang, sedangkan tiga puluh lainnya masih dalam perawatan setelah terluka saat berusaha bertarung melawan singa,” jawab Elvir memberi laporan. “Mereka melawan singa?” Riftan memperjelas pendengarannya. “Iya, Tuan. Saya meminta mereka untuk rutin meminum darah singa betina agar stamina dan kekuatan mereka terus meningkat,” ucap Elvir. Riftan mengangguk lalu menatap ke arah Asoka yang sejak tadi hanya terdiam. “Asoka, apa ada sesuatu yang ingin kau sampaikan padaku?” tanyanya. Asoka menatapnya dengan serius. “Iya, ada hal penting, akan aku beritahu kalau kita berdua saja,” ucap Asoka. “Baiklah, kalau begitu, pertemuan hari ini selesai, kita akan berkumpul lagi untuk membahas ini lebih lanjut,” ucap Riftan. Tiga orang yang bergabung dengan mereka beranjak dari duduknya dan keluar. Setelah mereka pergi, Riftan menatap Asoka dengan seksama. “Sepertinya akhir-akhir ini wajahnya sedikit berusaha, jadi sedikit melankolis, yah semoga saja aku salah,” sindir Riftan. “Ini tentang putri Adora,” ucap Asoka. “Ada apa dengannya lagi, bukankah kalian sudah semakin dekat?” ucap Riftan sambil tersenyum. “Kau memang benar, tapi tetap saja ia masih selalu memikirkanmu. Putri itu bahkan ingin melukai Nayya jika sampai ia melihatnya,” ucap Asoka. Kening Riftan berkerut, selain masalah luar kastil dan penyerangan untuk musuh, ia sepertinya punya maslah yang lebih serius. Putri Adora masih tidak menyukai Nayya, bagiamana kalau mereka tanpa sengaja bertemu? Nayya akan celaka, kecuali… “Ada satu cara mencegah putri mahkota mencelakai Nayya,” ucap Riftan. “Apa itu? jangan bilang kalau kau akan memaksakan dirimu kepada gadis itu, bukankah ia mengatakan kalau tidak ingin melakukan itu sebelum kau menikah dengannya?” “Dasar otak m***m, di kepalamu hanya itu saja yang kau pikirkan. Memangnya aku pria apa sampai harus memaksakan diri kepada gadis yang kusayang?” Rifat menjadi kesal, sedangkan Asoka hanya tersenyum tertahan. “Cara ini sedikit menyakitkan untuk Nayya, tapi selain cara itu dan pemberian tanda, tidak ada cara lain uuntuk melindungi Nayya dari putri Adora,” ucap Riftan. Asoka terkejut saat menyadari cara apa yang Riftan maksud. “Apakah kau tega melakukan hal itu padanya? ini terlalu berbahaya dan menyakitkan,” sanggah Asoka cemas. “Aku tinggal memberinya pilihan saja, mau dengan cara enak atau dengan cara yang menyakitkan,” ucap Riftan sambil beranjak dari duduknya meninggalkan Asoka yang hanya bisa melotot kesal mendengar ucapan Riftan. “Hei mau kemana kau? kau yang m***m, dasar…!!!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD