Setuju

1097 Words
Di sebuah kamar luar dan mewah, seorang pria dengan gelas berisi minuman berwarna merah di tangannya, sedang menatap ke arah jendela. Ia meraih sesuatu yang ada di atas meja. Sebuah botol kecil yang berisi cairan berwarna hijau. Ia menatap benda itu dan menyeringai. “Dengan menggunakan ini, putri mahkota akan mengikuti apa pun yang ku katakan. Riftan, aku akan segera menguasai kastil itu dan merebut semua yang kau miliki,” gumannya sambil menggenggam erat botol kecil yang ada di tangannya. *** Mata Nayya terbuka dan merasa kalau sesuatu yang berat menghimpit tubuhnya, ia menoleh ke samping dan melihat Riftan tertidur sambil memeluk erat tubuhnya. Nayya baru pertama kali melihat wajah Riftan yang sedang terlelap. Nayya menatapnya dengan seksama, bulu mata lentik dan panjang, alis tebal dan hitam yang menghiasi wajahnya ini begitu sangat sempurna. Mata Nayya lalu beralih pada hidung Riftan yang mancung, bibirnya yang sedikit tebal dan merah. Bagaimana bisa seorang vampir yang selalu menghisap darah memiliki bibir merah alami seperti ini? Tanpa sadar ia menyentuh bibir itu dengan pelan. “Sentuhanmu lembut sekali” Nayya terkejut karena tiba-tiba Riftan membuka mata dan tersenyum nakal kepadanya. “Ka..kau sudah bangun?” wajah Nayya memerah. “Aku sudah terbangun jauh sebelum kau membuka mata,” ucap Riftan dan itu membuat wajah Nayya memerah. Apalagi Riftan menatapnya tanpa kedip sambil tersenyum. “A..ku hanya menyentuh bibirmu sedikit, jangan salah paham,” ucap Nayya beralasan. Riftan tidak menjawab, ia hanya terus menatap Nayya membuat Nayya bertambah malu. “Kau tidak boleh berpikir macam-macam, aku sama sekali tidak bermaksud seperti itu. Dasar menyebalkan…!” Nayya semakin salah tingkah, mendorong tubuh Riftan dan kembali menyembunyikan dirinya ke dalam selimut. “Hei… aku tidak mengatakan apa-apa. Kenapa kau berusaha keras menjelaskan?” ucap Riftan sembari membuka selimut yang membungkus tubuh Nayya. Tapi Nayya tidak mau melepas selimutnya. “Jangan menyentuhku…!!” teriak Nayya. “Jangan menyelimuti tubuhmu seperti ini! nanti kau tidak bisa bernafas,” ucap Riftan. “Biarkan saja, biarkan aku mati karena kau senang sekali membuatku malu,” ucap Nayya di balik selimutnya. “Malu kenapa? Aku kan hanya bilang sentuhanmu lembut. Masa begitu saja kau malu?” sanggah Riftan sambil melepas selimut Nayya. Gadis itu meringkuk sambil menutupi wajahnya dengan bantal. Riftan menghampirinya dan membelai rambutnya dengan lembut. “Kau tidak perlu merasa malu hanya karena kau kedapatan mengagumi wajahku. Kau juga tidak perlu sembunyi-sembunyi menyanjung ketampananku. Karena semua ini adalah milikmu,” ucap Riftan sambil membingkai wajah cantik Nayya yang memerah. Nayya menatap wajah Riftan tanpa kedip, apa benar yang pria tampan di hadapannya ini katakan? Apakah semua ini adalah miliknya? Apakah ia bisa memiliki pria ini seutuhnya dan hidup bersama selamanya? “Kau percaya ucapanku, kan?” imbuh Riftan. Nayya hanya mengangguk, ia belum bisa merangkai kata-kata. Kata-katanya tertahan oleh rasa bahagia. “Nayya, kau tahu kan saat ini aku sedang berusaha mengumpulkan pasukan untuk melawan Gonzales. Dia adalah pria kejam yang telah merenggut kehidupanku sebelumnya. Kondisi semakin buruk karena ia juga ternyata sudah mengincarmu, kau ingat wanita yang hampir menculikmu, kan?” Nayya mengangguk. “Dia adalah kaki tangan Gonzales, dan dia tidak akan berhenti mengincarmu sampai kau benar-benar tertangkap.” Riftan menghentikan ucapannya dan menatap Nayya dengan dalam. “Untuk itu aku selalu memintamu agar selalu berhati-hati, tapi itu saja tidak cukup. Bahkan jika kau bersama dengan Asyaq sekalipun karena Gonzales sangat licik. Nayya, aku ingin memberimu tanda agar kedua jiwa kita bisa saling terikat. Agar aku bisa lebih mudah mengetahui keberadaanmu di manapun. Kau tidak tahu betapa aku sangat tidak tenang jika kau berada di luar kastil karena aku sama sekali tidak bisa mendeteksi keberadaanmu, aku hanya bisa mengandalkan Asyaq saja, aku khawatir jika suatu saat kau tiba-tiba tidak berada di sekitar Asyaq, di mana aku bisa menemukanmu?” Nayya memeluk Riftan, ia tidak sanggup melihat wajah tampan itu berubah sedih. Sungguh Riftan terlihat seperti anak anjing lucu yang membutuhkan pelukan hangat. Memang benar sekali apa yang Riftan ucapkan, kemampuan mendeteksi keberadaan pasangan jiwanya tidak akan berfungsi jika mereka belum mengikat jiwa masing-masing dengan pemberian tanda yaitu dengan berhubungan fisik. Jiwa pasangan akan saling terhubung secara sempurna jika mereka telah melakukan hal itu. “Baiklah,” ucap Nayya dengan lirih. “Apa?” Riftan melepas pelukannya dan duduk tegak di hadapan Nayya. Wajahnya sedihnya seketika cerah. “Kau tidak dengar?” ucap Nayya. “Iya, suaramu kecil sekali, coba kau ucapkan sekali lagi, aku mohon,” pinta Riftan memelas. “Aku bilang baiklah jika itu maumu,” ucap Nayya sambil tertunduk. Mendengar itu senyum Riftan mengembang, dadanya berdebar kencang. “Be..benarkan ucapanmu itu?” Riftan menggenggam tangan Nayya dengan erat, memastikan kalau apa yang ia dengarkan adalah nyata. Nayya hanya mengangguk dan tersenyum mengiyakan. “Terima kasih, terima kasih banyak,” ucap Riftan sambil memeluk Nayya dengan erat. Setelah beberapa lama, Riftan melepas pelukannya dan mencium kening Nayya dengan lembut. “Aku akan mempersiapkan segala sesuatunya, aku akan segera kembali jika semuanya sudah siap,” ucap Riftan dengan penuh semangat. “Iya, baiklah.” Nayya mengangguk dan menatap kepergian Riftan. Nayya menghela nafas dalam, dadanya masih bergemuruh. Wajahnya masih terasa panas. “Apa yanga kau katakan tadi? Aku siap melakukan itu dengan Riftan? apa aku benar-benar sudah siap? Ahhh… aku tidak mau memikirkannya…!” Nayya berguling-guling di atas kasurnya dan menutup tubuhnya dengan selimut. Riftan terlihat duduk di sebuah batu lebar di dalam sebuah ruangan remang yang hanya diterangi oleh obor dinding temaram. Ia bersemedi, matanya tertutup rapat. Sudah seharian ini ia tetap pada posisinya dan tidak bergerak sama sekali. Rupanya persiapan yang dimaksud adalah mensucikan jiwa dari segala macam pikiran yang mengganggu sampai ia mendapatkan sebuah ketentraman perasaan yang damai. Ia bahkan tidak menyentuh darah dan makanan yang sudah tersedia di atas meja berlapis emas yang ada di dekatnya. Asoka yang masuk ke dalam ruangan hanya menatap Riftan dengan helaan nafas dalam, lalu melangkah keluar meninggalkan tempat itu. Asoka berjalan menuju kastil bagian timur menuju tempat putri Adora. Ia merasa kalau putri Adora gelisah di dalam kamarnya. Apalagi yang sebenarnya terjadi, sejak tadi malam Asoka merasakan kegelisahannya, dan pagi ini juga ia kembali merasakan gadis itu semakin tidak tenang, ada apa? Asoka berjalan terburu-buru dan berhenti tepat di depan pintu kamar putri Adora. Ia mengetuk pintu tapi tidak ada jawaban. “Putri, apa kau baik-baik saja?” Asoka kembali mengetuk pintu, tapi masih tidak ada respon dari dalam. “Putri, saya masuk, ya?” ucap Asoka lalu membuka pintu kamar. Ia terkejut bukan main melihat gadis itu meringkuk di atas ranjangnya sambil meringis kesakitan memegangi perutnya. “Putri… apa yang terjadi…?!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD