Kebangkitan

1113 Words
Asap putih memudar dan tubuh Riftan meringkuk di lantai tidak sadarkan diri. Asyaq berlari menghampiri Riftan, pria berambut emas itu melangkah menghampirinya. Dua orang membawa tandu emas, memindahkan tubuh Riftan ke atas tandu dan membawanya pergi meninggalkan tempat itu. Asyaq menarik nafas lega sambil menatap kepergian Riftan yang dibawa oleh 2 orang itu. Sedang pria berambut emas mengikutinya dari belakang. Riftan membuka mata, ia menatap sekeliling dan melihat ruangan yang di penuhi mawar putih . Ada yang di tempel di dinding, di gantung di langit –langit ruangan dan ada pula yang di simpan di vas bunga. Semua bunga mawar itu berwarna putih. Riftan bangkit dari rebahnya dan meminum segelas air putih yang tersedia di meja dekat ranjangnya. Pintu terbuka dan pria berambut emas muncul. Ia tersenyum ke arah Riftan sedangkan Riftan hanya menatapnya tanpa ekspresi. “Kau yang melakukan semua ini?” tanya Riftan. “Iya, siapa lagi. Aku menyiapkan semua ini dengan sepenuh hati. Menyambutmu terlahir kembali sebagai pemimpin klan kita yang tak terkalahkan,” sahut pria itu dengan bangga. “Cih, menjijikkan. Sejak kapan kau berlebihan seperti ini, Asoka?” Riftan berdiri dan berjalan ke arah jendela. menatap jauh ke depan dan menghela nafas. “Wah kau ini, sama sekali tidak ada rasa terima kasih sedikitpun. Setidaknya kau nikmati aroma mawar kesukaanmu, aku kan hanya ingin merayakannya dengan caraku sendiri,” dalih pria berambut emas itu memasang wajah kecewa. Riftan tidak menjawab, ia hanya terus menatap keluar jendela. “Sudah berapa lama aku tidur?” “Tiga hari,”jawab Asoka. Riftan menoleh ke arahnya terkejut. “Aku tertidur selama itu?” ucapnya tampak mulai tidak tenang. “Loh memangnya kenapa? Kenapa kau gelisah begitu, bukannya normal kau beristirahat selama itu setelah mengerahkan seluruh kekuatanmu menaklukkan kekuatan bintang itu?” tanya Asoka bingung. Ia pikir semua masalah sudah terselesaikan, apa yang selama ini mereka inginkan sudah tercapai, kekuatan Riftan sudah kembali dan tidak akan ada lagi yang bisa mengalahkannya. Tapi melihat Riftan yang gelisah ia rasa masih ada sesuatu yang belum beres. “Kau kenapa? Bukannya semuanya sudah selesai? Kekuatanmu sudah kembali dan kita akan siap melawan musuh bebuyutan kita,” ucap Asoka. Riftan menatapnya serius. “Apa kau lupa, kalau kekuatan ini harus tetap membutuhkan energi darah murni? aku membutuhkan darah murni itu setiap bulan purnama. Dan darah itu hanya bisa di dapatkan pada tubuh gadis itu,” ucap Riftan. Asoka terdiam, iya lupa tentang hal itu. Kekuatan yang di miliki Riftan membutuhkan energi darah murni untuk tetap bisa berfungsi atau kekuatan itu akan kembali mengendap di dalam tubuhnya dan butuh ritual pembangkit lagi untuk kembali mengaktifkannya. “Ya sudah, kau tinggal tangkap gadis itu dan buat dia mau menyerahkan darahmu. Gampang kan?” ucap Asoka dengan enteng. “Plak..!’ “Aduh…” Asoka meringis saat kepalanya kena tepisan tangan kasar Riftan. “Jaga mulutmu kalau bicara. Apa kau tahu siapa gadis itu?” ucap Riftan kesal. “Siapa, memangnya?” tanya Asoka sambil mengusap kepalanya yang masih terasa perih. “Dia reinkarnasi Adelia,” ucap Riftan, wajahnya seketika sedih. “Apa, apa kau yakin?” Asoka cukup terkejut mendengar apa yang Riftan ucapkan. “Aku merasakan jiwa Adelia bersemayam di dalam tubuhnya, jiwa itu tidur.” ungkap Riftan. “Jadi bagaimana rencanamu selanjutnya?” Riftan menggeleng, Asoka menghela nafas panjang. “Riftan , kau tahu kan. Kekuatanmu hanya menerima darah murni dari seorang gadis suci tak tersentuh. Darah dari gadis yang masih perawan, itu berarti kau harus betul-betul menjaga gadis itu agar tidak tersentuh oleh siapa pun. Jangan sampai ia mencintai seseorang, bahkan dirimu. Ia harus menjadi perawan seumur hidup untuk memastikan kekuatanmu tetap abadi.” “Ya aku tahu,” Riftan menghela nafas dalam. Riftan kemudian beranjak dari duduknya dan keluar meninggalkan ruangan. “Hei, mau kemana kau…!” teriak Asoka. Tapi Riftan tetap berjalan tanpa menghiraukan Asoka. *** Nayya terlihat sedang berada di kantin bersama Sonia dan Reno, ketiganya tampak akrab berbincang. “Eh, kalian tahu tidak, kenapa semingguan ini pak Riftan tidak pernah mengajar lagi ya? apa dia sudah berhenti ngajar?” tanya Sonia sambil memasukkan bakso bulat ke dalam mulutnya. “Entahlah,” respon Nayya acuh tak acuh. Sedangkan Reno hanya menyantap makanannya. “Ah, kalian ini. Kenapa gak ada khawatirnya sama sekali, sih? Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan dosen super tampanku itu? aku kan tidak bisa melihat wajah tampannya lagi,” ucap Sonia memasang muka memelas. Nayya hanya memutar bola matanya dengan jengah mendengar celotehan sahabatnya itu. “Itu kan urusanmu,” ucap Nayya tidak peduli. Sebenarnya ia juga sedang bertanya-tanya dalam hati, karena sejak kejadian itu, ia tidak pernah melihat Riftan lagi berada di kampus atau di tempat lain. Tapi ia tidak terlalu memikirkannya. Reno yang selalu berada di sampingnya cukup membuatnya lupa pada sosok yang sudah menghisap darahnya itu. “Jahat!” sungut Sonia sambil mengunyah makanannya. “Oh ya, Nay. Hari ini aku tidak bisa mengantarmu pulang dulu, ya. ada kegiatan di BEM sampai malam,” ucap Reno lalu meminum air mineralnya. “Oh gak apa-apa. aku bisa naik bus kok,” ucap Nayya tersenyum. “Aku jadi khawatir membiarkanmu naik bus sendirian. Aku akan mengantarmu dulu baru kembali ke kampus kalau begitu,” ucap Reno kemudian. “Eh, jangan! Nanti kerjaannya malah terbengkalai. Udah gak apa-apa, aku naik bus saja,” tolak Nayya. Reno terlihat tidak puas, ia melirik ke arah Sonia yang sedang fokus ke makanannya. “Sonia, kamu pulang bareng Nayya, kan hari ini?” tanya Reno. Sonia menatap Reno dan Nayya bergantian. “Hmm, sayangnya tidak. Aku harus pulang cepat, mau mengantar mamaku ke kondangan. Ayahku kan sedang di luar kota. Mama masih tidak ingin menyetir sendiri,” ucap Sonia. “Udah Reno, aku bilang gak apa-apa. aku bisa kok naik bus, gak jauh juga dari sini,” ucap Nayya. “Ya uda deh, aku antar kau dulu. Mama kondangannya bisa agak siangan. Liat tuh, wajah Reno sampai kusut begitu tahu kau kau mau naik bus,” ucap Sonia menggoda Reno. Mendengar itu Reno tersenyum. “Nah begitu dong. Kau memang sahabat sejati Nayya,” puji Reno sambil mengelus kepala Sonia. “Ih, kau belum cuci tangan ya, kenapa pegang rambutku!” kesal Sonia sambil berusaha menghindar. “Ah tidak, tanganku bersih kok!” elak Reno. “Enggak, tanganmu bau. Ih, rambutku jadi bau makanan nih,” sungut Sonia sedangkan Reno hanya tertawa terbahak-bahak. Setelah makan, Reno kembali ke ruangannya . Nayya dan Sonia bergegas ke parkiran untuk pulang. Sebenarnya Sonia masih ingin tinggal sebentar lagi di kampus, tapi Nayya memaksanya untuk segera mengantarnya dan pulang ke rumah agar Sonia bisa tepat waktu mengantar ibunya kondangan. Tapi saat Nayya akan masuk ke dalam mobil. Riftan tiba-tiba muncul di hadapannya. “Biar aku saja yang mengantarmu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD