Ritual

1203 Words
Nura menoleh ke arah Sonia lalu ke arah Reno, pemuda itu gelagapan. “Ah, ah mak…maksud Sonia, saya pernah bilang menyukai novel yang Nayya tulis, tapi belum sempat membacanya. Iya, tante, saya sungguh menyukai karya Nayya, benar kan Nay, aku menyukai karyamu, kan?” ucapnya mengarang alasan, berusaha menutupi jantungnya yang sudah mau copot. Nayya hanya bisa mengangguk. Reno melirik Sonia dengan tajam, sedangkan yang dilirik hanya menahan senyum. Awas kau Sonia. ancamnya dalam hati. “Oh begitu rupanya. Ya sudah kalian ngobrol saja ya, Bibi tinggal dulu ke dalam,” ucap Nura lalu beranjak dari tempatnya. “Oh tunggu. Bi,” tiba-tiba Sonia berseru. “Ya, ada apa, Sonia?” “Eh. Saya kan sudah lama tidak melihat kebun mawar putih yang bibi tanam, apa saya bisa ke sana melihat-lihat?” ucap Sonia. “Oh, tentu saja. Kebetulan bunganya sudah pada bermekaran. Ayo ikut Bibi ke dalam.” “Terima kasih, Bi,” ucap Sonia sambil melirik Reno lalu melambaikan tangannya. “Dasar Sonia, pake kabur lagi, awas saja kalau aku punya kesempatan membalasnya,” gerutu Reno lalu meminum jusnya dengan sekali teguk karena kesal. Nayya hanya tersenyum. “Kamu juga sih, mau ngomong apa tuh sama mamaku tadi? Mau bilang kalau aku habis pingsan, begitu?” tebak Nayya. “Yah, aku pikir kalian tidak boleh menyembunyikan hal sepenting itu ke mama kamu. Kalau kamu ada masalah serius, bagaimana?” ucap Reno sambil menatap Nayya. “Aku hanya tidak ingin mama jadi khawatir, aku akan mengatasinya sendiri tanpa sepengetahuan mama. Kau tidak perlu berbicara apa pun oke?” ucap Nayya. “Baiklah,” Mereka berdua pun terdiam, Reno melirik Nayya yang sedang bermain ponsel. “Nayya,” panggilnya dengan lembut. Nayya menoleh ke arahnya. “Kau mau bicara sesuatu?” tanyanya. “Iya, aku ingin mengungkapkan ini sekarang saja, aku tidak tahu kapan lagi ada kesempatan seperti ini. Nayya, sebenarnya aku sudah lama menyukaimu.” Reno menatap mata bulat indah Nayya tanpa kedip. Nayya melihat sinar ketulusan dari pancaran mata Reno. Sebenarnya Nayya senang mendengar ungkapan hati Reno, mengetahui jika Reno menyukainya membuat hatinya berbunga-bunga. Dia ingin mengatakan jika dirinya juga memiliki perasaan yang sama, dia juga menyukai pemuda yang ada di hadapannya ini. Tapi, entah di sudut hati bagian mana, ia merasakan sesuatu, ia merasa seperti separuh suara hatinya menolak dan separuhnya lagi menerima. “Reno, aku tidak bisa menjawabmu sekarang. Ini terlalu mendadak dan aku belum terbiasa dengan bagian dari perasaanmu ini. Kau tahu kan selama ini kita bersahabat, dan aku menyayangimu sebagai seorang sahabat, dan mungkin juga menyukaimu. Tapi, aku…” “Aku tahu Nayya, aku akan beri kamu kamu sebanyak yang kau butuhkan. Aku akan terus menunggu jawabanmu. Aku mengungkapkan perasaanku untuk kau ketahui saja, dan untuk jawaban, aku akan menunggu sampai kapan pun,” ucap Reno sambil menggenggam tangan Nayya. Nayya tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih, ya. Kau sangat pengertian,” ucapnya. Keduanya saling pandang beberapa lama sebelum Nayya mengalihkan pandangannya. “Oh ya, bagiamana kalau kita ke belakang susul Sonia,” ajak Nayya. “Baiklah.” Keduanya pun melangkah masuk. Nura yang sejak tadi diam-diam mendengar semua percakapan mereka dari balik pintu terlihat memikirkan sesuatu. Wajahnya menjadi tegang. *** Riftan duduk bersila dengan bertelanjang d**a. Matanya terpejam, ia terlihat seperti sedang bersemedi. Nafasnya yang teratur terlihat jelas pada dadanya yang bergerak perlahan. Gambar bintang berwarna biru yang ada tepat di bagian dadanya sedikit demi sedikit memancarkan cahaya. Sementara itu di ruangan yang di penuhi cahaya lilin dan obor di setiap sisinya, orang-orang terlihat sedang sibuk mempersiapkan sesuatu. Mereka berjalan kesana-kemari - kemari sesuai dengan arahan seseorang. “Pastikan semuanya sudah siap sebelum ritual di mulai. Tuan Riftan sebentar lagi akan pindah ke tempat ini,” ucap seorang pria yang berdiri mengawasi setiap orang. Asyaq berjalan menghampiri pria berambut emas itu lalu membungkuk hormat. “Tuan, darah yang dibutuhkan Tuan Riftan sudah siap,” ucap Asyaq melaporkan. “Bagus, sekarang kembalilah ke posisimu,” ucap pria berambut emas itu. Tubuh Riftan tiba-tiba bergetar, dia yang tadinya duduk tenang sambil memejamkan mata di tempatnya bersemedi seketika membuka kedua matanya. Mata merah itu menatap tajam menusuk, semakin lama, cahaya biru yang berasal dari bintang di d**a Riftan semakin bersinar. Dan sedetik kemudian, tiba-tiba Riftan hilang begitu saja dari tempatnya. Riftan tiba-tiba saja muncul di sebuah tempat yang di kelilingi dengan lilin berwarna biru. Warna yang sama dengan cahaya yang tubuhnya keluarkan. Cairan berwarna merah di dalam sebuah gelas kaca berlapis emas di tempatkan di atas meja di hadapan Riftan. Suasana seketika sunyi, orang-orang yang tadinya berlalu lalang seketika menghilang. Ruangan kosong, hanya ada Riftan dan pria berambut emas yang berdiri tepat dibelakang Riftan yang sedang duduk bersemedi. Riftan membuka mata, warna merah yang terpancar dari sorot mata tajamnya seakan bisa menusuk siapapun yang berani menatapnya. Riftan meraih gelas kaca yang berisi cairan merah itu dan meneguknya hingga habis. Tepat setelah cairan itu habis, cahaya biru dari bintang di d**a Riftan kembali mengeluarkan cahaya yang seketika menyelimuti seluruh tubuhnya. Tubuh Riftan yang sedang duduk bersila perlahan terangkat, pria berambut emas mengangkat tongkat berkepala naga dan mengarahkan ke tubuh Riftan. Mulutnya berkomat kamit, tiba-tiba muncul asap putih bersih dari ujung tongkat itu, semakin lama asap putih itu semakin membesar dan menyelimuti tubuh Riftan yang masih mengeluarkan cahaya. Mulut pria itu terus berkomat-kamit membaca mantra. “Ghrrr….!!” Suara aneh terdengar. Pria it terus melafalkan manteranya tanpa henti. Asap putih terus menyelimuti tubuh Riftan. Bayangan tubuh Riftan yang ada di balik asap putih itu seketika berubah bentuk. Membesar dan perlahan turun ke bawah. Asyaq yang berdiri di balik tiang besar menyaksikan itu dengan wajah penuh ketegangan, ia harus siap di posisinya. Jika hal yang tidak diinginkan terjadi hanya dirinyalah yang bisa menenangkan Riftan. Ritual penyatuan kekuatan immortal dengan jiwa dan tubuh Riftan harus berjalan dengan baik. Kekuatan itu masih liar dan kapan pun bisa terlepas dan menghilang dari tubuh Riftan atau dampak terburuknya adalah Riftan akan dikuasai oleh kekuatan itu sendiri yang akan mengubah Riftan menjadi monster. Ritual dilakukan untuk menaklukkan kekuatan itu dan tunduk sepenuhnya oleh Riftan, tapi sebelum itu terjadi, Riftan sendirilah yang harus berusaha. Dan sekarang, tubuh Riftan sedang berjuang melawan kekuatan itu. Situasi ini seperti pertarungan antara hidup dan mati untuk Riftan. Apakah ia berhasil atau malah akan berakhir. Suasana semakin mencekam, tubuh Riftan semakin membesar layaknya sosok monster. Asap putih masih menyelimutinya. Pria berambut emas masih mengucapkan mantra. Asap putih harus tetap menyelimuti tubuh Riftan atau seluruh ruangan itu akan hangus terbakar. “Grrrraaahhh…!!!” suara makhluk besar yang di selimuti asap putih kembali mengeluarkan suara. Asyaq semakin tegang, ia beberapa kali menelan ludahnya menatap sosok makhluk besar itu. Sosok itu tiba-tiba bergerak dan menghancurkan semua yang ada di tempat itu. Asap putih terus membungkusnya. Pria berambut emas terus menerus mengucapkan manteranya agar asap putih yang dari ujung tongkatnya tetap keluar. Keringat di pelipisnya sudah terlihat, mata yang tadinya berwana coklat terang kini berubah merah. Ia benar-benar sedang mengerahkan seluruh kekuatannya untuk membuat Riftan tetap dalam kontrol dirinya. Asap putih itu kuncinya. Asap itu harus tetap membungkus tubuh Riftan selama proses penyatuan kekuatan itu berlangsung. Ruangan yang tadinya tertata dengan rapi kini sudah porak poranda, makhluk besar itu terus mengeluarkan suara eraman dan menghancurkan semua yang ada di sekitarnya. Sampai akhirnya tubuh makhluk itu perlahan mengecil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD