Memahami Perasaan

1144 Words
“Apa?” Riftan menatap Nayya, seakan ingin memperjelas pendengarannya. “Aku bilang, apa yang akan terjadi jika sekali ini saja kau abaikan keinginannya. Bukankah dia sudah melampaui batasan yang semestinya? Ataukah kau yang terlalu mengikuti keinginannya sehingga ia menjadi bebas dan merasa di atas awan?” akhirnya Nayya tidak bisa lagi menampung kekesalan yang ada di hatinya. Luapan amarah yang telah terbendung akhirnya tumpah dan siap menghanyutkan siapa pun yang ada di sekitarnya. Mendengar itu, Riftan tertegun. Ia tidak pernah menyangka Nayya akan berbicara seperti itu. “Apakah kau tidak menyukai putri mahkota?” tanya Riftan. “Hah… sudahlah, pak Dosen. Sepertinya memang aku harus memberimu cukup banyak waktu untuk membuat putri itu menyadari perasaannya yang salah. Baiklah, tidak perlu dijawab, aku tadi hanya asal bicara. Lupakanlah kejadian tadi dan biarkan aku di antar oleh Asyaq saja.” Tanpa menunggu respon dari Riftan yang terlihat masih bingung, Nayya keluar dari mobil Riftan dan masuk ke dalam mobil Asyaq yang juga sudah siap melaju. “Kita pergi sekarang saja, Tuan Asyaq,” ucap Nayya. “Baik, Nona.” Asyaq hanya menunduk hormat kepada Riftan lalu melaju pergi meninggalkan Riftan. Perasaan Nayya benar-benar hancur, ia tidak menduga untuk menolak permintaan putri itu saja, Riftan bahkan sampai tidak mampu. Riftan terlihat seolah terjebak oleh jaring yang ia buat sendiri. Apakah memang hanya sebatas itu saja usaha Riftan untuk melindunginya, atau karena memang definisi cinta yang Riftan pahami hanya sebatas perasaan ingin menghisap darah saja. “Bodoh…” gumannya tanpa sadar. Air matanya mulai mengalir. Asyaq yang sejak tadi memperhatikan dirinya hanya bisa menghela nafas lega. “Biarkan tuan Riftan melakukan apa yang ia ingin lakukan Nona, mungkin saat ini kau sangat kecewa dan aku juga mengakui kalau tuan Riftan kali ini hilang ketegasan untuk mendidik putri sombong itu tapi, aku tahu tuan Riftan akan menyelesaikan semuanya dengan baik. Yang perlu kau lakukan hanya menunggu saja. Mengerti, kan?” ucap Asyaq. “Aku mencoba memahami itu meski terasa berat, Tuan Asyaq. Tapi sepertinya tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain menunggu Riftan tersadar,” jawab Nayya dengan suara sedih. “Selama kau ada di rumah ibumu, aku akan berpatroli di sekitar daerah itu. Jadi tidak perlu khawatir. Hubungi aku jika kau butuh sesuatu,” pesan Asyaq saat Nayya keluar dari mobil. Nayya tersenyum dan mengangguk. “Sampai jumpa,” ucapnya sambil melambaikan tangan lalu masuk ke dalam rumah. *** Riftan terlihat tidak bersemangat di depan laptopnya, ia terus berpikir tentang ucapan Nayya yang tiba-tiba terdengar seperti ucapan kesal. Apakah perbuatannya terhadap putri Adora telah membuat Nayya kesal? ‘Asoka, temui aku sekarang!’ ia mengirim telepati kepada Asoka. Setelah beberapa saat, pintu terbuka dan Asoka masuk. “Apakah ada laporan mengenai kesiapan pasukan istana?” tanya Riftan sambil memijit kepalanya. “Hah…. kita harus menunggu beberapa lama lagi. Raja ternyata tidak senaif itu. Tampaknya ia mencurigai sesuatu, sehingga ia kembali menurunkan perintah agar pasukan yang sudah dipersiapkan tertahan dulu sebelum putrinya benar-benar merasa nyaman di kastil ini,”ucap Asoka . “Dasar raja sialan! Ia sama saja seperti putrinya. Aku sudah capek dengan sikap perempuan itu, dia juga dengan berani mengancam Nayya ingin menghabisinya di depanku, sedangkan aku seperti orang bodoh yang tidak bisa melakukan apa pun untuk Nayya, aku takut Nayya akan semakin salah paham,” ucap Riftan penuh amarah. Asoka hanya menghela nafas dalam. “Selain menuruti kemauan raja Addan, tidak ada rencana yang lebih baik. Aku juga mendengar pasukan Gonzales semakin lama semakin banyak. Mereka sudah mengumpulkan 100 pasukan dan kemungkinan dalam waktu dekat pasukan itu akan terus bertambah,” ucap Asoka. “Sudah cukup kesabaranku. Aku harus ke istana untuk membicarakan masalah ini. Kali ini aku yang akan membuat raja sialan itu mendengarkanku,” ucap Riftan dengan mata yang berkilat tajam. “Kau awasi putri Adora dan jangan biarkan ia keluar dari kamarnya. Aku pusing melihatnya bertingkah seperti anak kecil di hadapanku,” ucap Riftan . “Baiklah, aku pergi dulu.” Asoka membalik tubuhnya dan melangkah meninggalkan tempat itu. Riftan tampak berpikir sesuatu, lalu bangkit dan memakai jubahnya dan menghilang seketika. Nayya terlihat sedang bermanja di pangkuan sang ibu, Nura tahu jika putrinya ini mempunyai masalah. Meskipun Nayya tidak menceritakan secara gamblang tentang permasalahan yang sedang ia hadapi, Nura sangat tahu itu menyangkut Riftan. “Ma, kalau kita membiarkan hati kita terus terluka untuk menyenangkan hati pasangan, apakah tidak akan terjadi apa-apa?” tanya Nayya. Nura membelai rambut Nayya yang tiduran di pangkuannya. “Dalam hubungan, perlu adanya saling pengertian. Saling memahami dan saling percaya. Kita menjalin hubungan dengan seseorang yang kita cintai dan bertekad untuk membahagiakannya, itu hal baik, karena itulah yang menjadi harapan kita. Akan tetapi, jika hati terluka dengan melakukan semua itu berarti ada sesautu yang terlewatkan dan itu semua akan selesai dengan adanya saling keterbukaan. Jangan melakukan sesuatu hanya untuk mendapatkan pujian, karena lama-lama hal itu akan menjadi beban untuk kita sendiri. Cobalah untuk berkomunikasi dengan baik dan ceritakan semua keluh kesahmu. Apa yang kau tidak suka dari sikapnya dan mencari jalan keluar bersama. Jika komunikasi berjalan dengan baik, maka hubungan kalian tidak akan menyakiti hati masing-masing.” Sang ibu memberikan nasehatnya. Nayya terdiam, apakah selama ini ia hanya berpura-pura mengerti keadaan Riftan hanya untuk terlihat sempurna di mata pasangannya itu? dan karena itulah Riftan tidak tahu apa-apa, ia merasa kalau dirinya akan selalu mendukung dalam keadaan apa pun. Tapi ternyata itu tidak mudah. “Perbaiki hubunganmu dengan berkomunikasi secara sehat sayang, dengan begitu tidak akan ada kesalahpahaman yang membuat kalian saling menyakiti.” Nura mengimbuhkan. Nayya mengangkat kepalanya dan menatap sang ibu. “Apakah Mama dulu seperti itu dengan Papa?” tanyanya. “Iya,” ucap Nura singkat. “Kalau begitu aku juga akan mencobanya, Ma,” ucap Nayya lalu bangkit dari rebahnya dan memeluk sang ibu. Tiba-tiba pintu di ketuk sebelum Riftan muncul di hadapan mereka. “Tuan Riftan…” sapa Nura, sedangkan Nayya hanya terdiam sambil memalingkan wajahnya. “Tinggalkan kami sebentar, Nura,” ucap Riftan. “Baiklah, selesaikan permasalahan kalian secepatnya,” ucap Nura lalu pergi dari tempat itu. Riftan duduk di samping Nayya, meraih tangan Nayya dan menggenggamnya. “Aku tahu kau tidak bisa menerima semua yang terlihat di depan matamu, tapi percayalah aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Aku ingin kau memberikan sedikit lagi waktu untukku meyelesaikan semua ini secepatnya lalu kita akan hidup tenang bersama,”ucap Riftan . “Aku hanya merasa tersisih, makanya itu aku menghindar dan sebisa mungkin untuk tidak mengganggumu. Tapi seperti yang kau bilang tadi, aku memang merasa sangat sakit. Maaf jika aku ternyata tidak bisa sekuat apa yang kau harapkan,” ucap Nayya. Riftan meraih tubuh Nayya lalu mendekapnya erat. “Kau tahu aku sangat mencintaimu, kan?” ucap Riftan. Nayya mengangguk. Riftan menangkup wajah Nayya dan menatapnya dalam. “Tunggu sebentar lagi, aku mohon,” ucap Riftan tampak tidak berdaya. Nayya langsung mencium bibir Riftan dan mengulumnya dengan lembut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD