Ketahuan

1101 Words
“Apa?!” Reno terperangah. Ia tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Pria itu tersenyum. “Kau tidak perlu terkejut, ini...” Pria itu menyodorkan sebuah botol berisi cairan berwarna merah ke arah Reno. Reno hany terdiam menatap botol yang ada di tangan pria itu. “Ambillah dan minum,” ucap pria itu lagi. “Apa ini?” “Ini akan akan membuatmu lebih baik, sakit yang kau rasakan sekarang akan hilang,” jelas pria itu. “Untuk apa aku mempercayaimu, aku tidak mengenalmu sama sekali. Lagi pula aku tidak butuh bantuan dari orang asing,” tolak Reno sambil berusaha beranjak dari tempatnya. Reno berjalan sempoyongan sambil memegangi kepalanya yang semakin sakit saja, ia benar-benar tidak mengerti kenapa rasa sakit itu bahan semain sakit sekarang. Pria berhodi itu mengikutinya. “Kau jangan keras kepala, lihat dirimu, Jika kau terus membiarkan rasa sakit di kepalamu itu, maka isi kepalamu akan meledak. Vampir itu telah menanam sesuatu di dalam kepalamu yang sebentar lagi akan menghancurkan isinya. Reno menghentikan langkahnya, ia menatap pria itu dengan bimbang. Haruskah ia menerima pemberian dari orang yang telah membuatnya sampai seperti ini? tapi ia juga tidak punya pilihan lain, rasa sakit di kepalanya semakin tidak tertahankan. “Mana botol itu,” ucapnya. Pria itu tersenyum, lalu menyerahkan botol yang dipegangnya. Reno menerimanya lalu membuka dan meminumnya. Begitu cairan itu masuk ke perutnya, seketika sakit di kepalanya hilang. Tubuhnya menjadi segar kembali dan semua lebam di tubuhnya mendadak hilang. Reno terkejut, ia merasa tubuhnya memastikan yang ia rasakan adalah nyata. “Wah! Tubuhku terasa segar. Ini cairan apa? apa kau bisa memberiku lagi?” ucap Reno takjub. “Itu cairan penyembuh bagi para vampire, cairan ini langka, dan tidak sembarang orang bisa mendapatkannya. Aku memberikanmu ini karena ingin mengajakmu bergabung. Setelah berubah menjadi makhluk yang membutuhkan darah untuk bertahan, kau sangat membutuhkan bantuan. Mengingat kau masih baru, kau butuh pemahaman tentang aturan yang harus di ikuti oleh setiap vampir,” jelas pria itu. “Apa maksudmu, aku sudah baik-baik saja sekarang dan aku bisa mendapatkan darah yang aku mau. Aku tidak butuh bantuan dari siapa pun lagi,” ucap Reno lalu melesat pergi. Tapi ternyata pria berhodi itu cukup berantisipasi, ia tahu Reno akan kabur sehingga ia dengan kecepatan seperti kilat ia mampu mengimbangi gerakan Reno dan bahkan bisa melumpuhkannya hanya dengan gerakan sederhana. “Akhhhh…!!” Reno terpekik kesakitan saat tangannya di pelintir kebelakang dan di seret kembali ke tempatnya tadi. “Kau hanya seorang vampir baru biasa yang masih membutuhkan bimbingan. Kau tidak bisa berkeliaran dan membuat kekacauan di luar. Jika tidak, semua rencana yang aku telah susun dengan matang akan di ketahui oleh musuhku. Aku akan me…” Pria itu menghentikan ucapannya, mata tajamnya mengamati sekeliling lalu menatap Reno. “Kita harus pergi dari sini!” Setelah mengucapkan itu, Keduanya pun menghilang. Asoka tiba-tiba muncul di tempat yang sama tepat setelah Reno dan pria itu menghilang. Ia menghampiri pohon dengan beberapa bekas keberadaan seseorang di sana. Ia mendengus beberapa kali memastikan apa yang ia rasakan. “Sial…! aku kehilangan jejaknya,” umpatnya geram. Pandangan Asoka menyapu sekitarnya sebelum melangkah pergi. Sementara itu, Nayya terlihat hanya berguling-guling di atas kasur. ia gelisah dan tidak tenang. “Ih, kenapa pak dosen tidak pernah muncul lagi, sih? Katanya aku harus memberinya darah sekali sebulan saat bulan purnama muncul. Bukankah, ini sudah pertengahan bulan kalender, tapi kenapa bulannya tidak muncul juga?” Jelita menggerutu sambil keluar masuk ke ruangan outdoor yang merupakan taman indah dengan pemandangan langit langsung. Jika pada malam hari, ruangan itu akan di hiasi lampu temaram yang gemerlap indah, jika kita menatap langit, bintang-bintang cantik akan tampak dari sana, bagaikan permata yang bertabur indah di hamparan karpet hitam. Akan tetapi malam ini, jangankan bulan, satu bintang kecil pun tidak muncul di langit. Hanya gelap yang terlihat di atas sana. Seolah bintang-bintang itu bersembunyi di balik awan dan mengajak sang rembulan ikut menyembunyikan diri. “Huh… bagiamana pak dosen mau datang kalau begini. Bulannya tidak muncul.” Nayya duduk di ayunan sambil sambil menatap ke tanah. Ia mempermainkan sebuah batu dengan kakinya . Wajahnya cemberut tak bersemangat. Tiba-tiba pintu di ketuk, Nayya mengangkat kepalanya dan melihat ke arah pintu. “Kenapa pelayan datang malam-malam begini, sih? Aku kan sudah makan, dan mau tidur juga.” Dengan malas ia melangkah keluar menuju pintu. Ketukan pintu kembali terdengar. “Iya, sebentar…!” serunya . Akan tetapi, setelah pintu terbuka, mata Nayya terbelalak saat melihat sosok tinggi berdiri di hadapannya. “Pak Dosen…?” ucapnya tidak percaya. “Boleh aku masuk?” tanya Riftan dengan wajah datar. “Ah..i…iya boleh kok. Silakan masuk,” ucap Nayya sambil mempersilakan Riftan melangkah masuk ke dalam. “Silakan duduk Pak,” ucap Nayya saat melihat Riftan hanya berdiri sambil melihat sekeliling. Riftan tidak beranjak dari tempatnya. “Aku rasa kamarmu ini sempurna dan nyaman,” Riftan mulai berbicara. Ia melangkah gontai sembari terus mengamati seluruh isi kamar. “Iya, tentu saja, Pak. Kamar ini sangat sempurna dan nyaman. Tapi kenapa Bapak menanyakan itu?” tanya Nayya sambil menatap Riftan dengan penuh damba. Hatinya sangat senang melihat Riftan ada di hadapannya. “Semua yang kau butuhkan sudah ada di kamar ini, kau juga bisa kembali kuliah dan belajar. Jika ingin menghubungi orang tuamu, kau bisa meminta kepada pelayan. Jika ingin makan apa pun, juga tinggal memanggil para pelayan. Semuanya tercukupi, kan?” ucap Riftan menatap Nayya dengan dalam. Nayya menelan ludahnya memandang mata hitam tajam itu. Jantungnya kembali berdebar. Nayya, tenangkan dirimu. Hatinya mengingatkan. Nayya mengangguk. “Lantas kenapa kau sepertinya tidak betah di kamar ini dan senang berkeliaran di luar? Padahal aku sudah berkali-kali memperingatkanmu kalau selain kamar ini, tidak ada tempat yang lebih aman untukmu. Tapi, kau tidak pernah mendengarkan ucapanku. Bahkan setelah kejadian yang hampir mencelakaimu pun, kau masih tidak mengindahkan peringatanku.” Nayya tertunduk, rupanya Riftan sudah tahu. Dasar pria berambut emas itu! kenapa ia melaporkan hal itu kepada Riftan? “Coba katakan padaku, apa yang kau butuhkan? Kenapa kau masih suka berkeliaran di luar kamar, apakah kau masih ingin melihat-lihat seluruh kastil ini? Asyaq belum membawamu berjalan-jalan?’” tanya Riftan lagi. Kali ini tatapannya sedikit lebih teduh, membuat hati Nayya yang tadinya tegang jadi menghangat. “Ah, tidak kok, Pak. Tuan Asyaq sudah mengajakku melihat semua bagian-bagian kastil ini, hanya saja …” Nayya menggantung ucapannya dan menundukkan kepalanya dalam. “Hanya saja apa, Nayya?” wajah Nayya memerah mendengar Riftan menyebut namanya dengan suaranya yang lembut. Hatinya bergetar. Ia mengangkat kepalnya dan menatap Riftan dengan tatapan dalam. “Hanya saja saya… ingin, saya…”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD