Salah Mengira

1200 Words
“Hanya apa, hmm?!” Nayya menelan ludahnya, matanya tak berkedip menatap wajah Riftan yang sekarang sudah cukup dekat dengan wajahnya. Ia bahkan bisa merasakan hembusan nafas panas Riftan menyapu seluruh wajahnya. Mata Riftan yang hitam cemerlang menatap Nayya bagaikan ingin menelannya, tapi anehnya, justru Nayya merasa ingin merasakan bibir itu menghisap kulitnya. Nayya mundur saat Riftan melangkah maju hingga punggungnya membentur tembok hingga Nayya terjebak di antara tangan kekar Riftan yang mengungkung tubuhnya. Wajah Riftan mendekat ke arahnya, mendengus lehernya. “Grooorwwll…” terdengar eraman lirih keluar dari mulut Riftan. Wajahnya memerah, rahangnya terkatup rapat, matanya terpejam. Perlahan ia menjauhi Nayya dan berjalan ke arah pintu. “Jangan pernah keluar dari kamarmu lagi, atau kau akan benar-benar menyesal,” ucap Riftan lalu melangkah keluar. “Tunggu Pak Dosen..! aku belum menjawab pertanyaanmu tadi dan aku mau kau mendengarnya sekarang!” Seru Nayya dengan lantang. Langkah Riftan terhenti, Nayya melangkah menghampirinya dan membuat Riftan menatapnya. “Kau selalu bersikap dingin tapi juga peduli padaku, aku bahkan sampai bingung dengan sikapmu itu. Walaupun begitu, aku selalu ingin berada di dekatmu, menatapmu berlama-lama, aku ingin kau selalu menghisap darahku, aku bahkan tidak peduli jika darah dalam tubuhku ini habis kau hisap. Itulah alasan kenapa aku selalu ingin berada di luar kamar, itu karena aku ingin melihatmu…” Nayya akhirnya mengeluarkan isi hatinya, ia sudah tidak peduli lagi akan bagaimana tanggapan Riftan kepadanya, ia hanya ingin pria ini tahu kalau dirinya sangat menyukainya. Riftan tidak berkata apa-apa, hanya menatap tajam Nayya. Rahangnya terlihat mengeras seakan menahan gejolak emosi di dalam d**a. Ia berbalik dan langsung melangkah pergi begitu saja meninggalkan Nayya. “Kenapa kau tidak berkata sesuatu Pak Dosen…! Setidaknya kau menjawab aku…!! kau itu benar-benar jahat…jahat… aw..aw..! sakit…” Nayya berteriak penuh emosi sambil menendang-nendang pintu sampai kakinya sakit. Tapi, Riftan sudah menghilang dan meninggalkan rasa penasaran yang membuat Nayya tidak akan bisa tertidur. “Braaakkk…!” Riftan membanting pintu dengan kuat. Ia mengusap wajahnya dengan frustrasi. Berjalan ke sana-kemari dengan bingung. Berkali-kali ia menarik nafas dan menghembuskannya dengan kasar. “Gawat, kenapa gadis itu malah menyukaiku? Dan aku bahkan hampir tidak bisa menahan diri tadi. Ini tidak bisa dibiarkan. Apa.. apa yang harus kulakukan?!” gumannya kebingungan. Nayya membuka matanya, ia sama sekali tidak bisa tidur.Tubuhnya hanya berguling guling gelisah di atas kasur. Nayya bangkit dan duduk termangu. Jam sudah menunjukkan pukul 2 malam, gawat, ia benar-benar terjebak insomnia malam ini. Tidak bisa dibiarkan, ia harus mendengar jawaban dari Riftan tentang ungkapan perasaannya. Tega-teganya pria itu tak berperasaan itu mengabaikannya setelah ia bersusah payah mengumpulkan keberaniannya untuk menyatakan perasaannya kepada vampire itu. “Oke, aku akan mencobanya besok saja pada saat para makhluk itu tertidur. Riftan kan juga akan tertidur pulas kalau siang hari, jadi aku bisa menyelinap dengan mudah masuk ke kamarnya. He..he..” gumannya sambil tersenyum lebar. Ia lalu kembali merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata. *** Riftan memandangi wajah Nayya yang sedang tertidur pulas, wajah polos dan cantik ini terlihat lebih menggemaskan jika tertidur. Riftan tersenyum, ia merapikan anak rambut Nayya yang menutupi wajahnya dengan pelan. Ia kembali teringat saat gadis ini mengungkapkan perasan padanya. “Kau tidak tahu pengaruh apa yang sudah kau sebabkan karena ungkapan perasaanmu itu, gadis bodoh,” gumannya. “Aku akan dalam masalah besar,” lanjutnya lagi. Nayya membuka mata saat wangi makanan tercium hidungnya, ia menoleh ke arah meja dan melihat seorang pelayan menyajikan makanan. “Wah, wangi makanannya enak sekali,” ucap Nayya sambil bangkit dari tidurnya. “Ini memang makanan khusus, Nona. Anda harus menghabiskan semua makanan ini, karena nanti malam adalah waktu untuk memberikan darah Nona kepada tuan,” jelas pelayan itu. “Apa?!” malam ini?” Nayya terbelalak senang. akhirnya, setelah menunggu lama, ia akan melihat Riftan dari dekat lagi. Nayya langsung membayangkan saat Riftan mendekatkan bibirnya ke kulit lehernya. Jilatan lidah lembutnya sebelum menusukkan taringnya yang tajam. Oh, ini benar-benar akan menjadi moment paling romantis. “Apa Nona baik-baik saja?” tanya si pelayan. Nayya terbangun dari lamunannya. ‘Ah, iya, aku tidak apa-apa. Terima kasih atas makanannya, tenang saja aku pasti akan menghabiskannya,” ucap Nayya sambil tersenyum lebar. Nayya tidak berhenti tersenyum, ia kemudian mulai menyantap makanannya sampai habis. “Ah, kenapa kau harus mendengarkan ucapan pelayanan itu sih, aduh.. perutku rasanya mau meledak…” Nayya meringis sambil memegangi perutnya yang kenyang. “Huh…ini pasti karena aku terlalu senang mendengar pak dosen akan menghisap darahku malam ini,” Nayya kembali tersenyum senang. Malam harinya, Asoka dan Asyaq terlihat sedang mempersiapkan sesuatu. Di sebuah halaman yang cukup luas dengan api unggun yang menyala, keduanya beserta beberapa orang lain terlihat menyiapkan beberapa persiapan. Ada guci antik yang berisi cairan berwarna hijau. Lilin yang bercahaya hijau di susun di sekitar karpet berwarna emas. Bunga mawar putih juga di taruh di pot dan berjejer di sekitar karpet itu. Sementara itu, Nayya sudah sejak tadi gelisah menunggu kedatangan Riftan. Ia sudah memakai baju yang cocok untuk proses pengambilan darah nanti. Ia sengaja memakai pakaian off shoulder agar lebih memudahkan Riftan menghisap darah di bagian lehernya. Seperti itu pikiran Nayya, yang sejak tadi membuatnya senyum-senyum sendiri. Ia berdiri di depan cermin dan beberapa kali memutar tubuhnya memastikan yang ia pakai sudah benar. “Ah, apa aku terlalu berlebihan ya? kalau di lihat-lihat aku terlihat seperti sengaja menggodanya. Duh.., apa aku ganti saja? yah, aku ganti saja deh.” Gumannya sambil kembali membuka lemari pakaian dan akhirnya ia memilih kaos biasa. Pintu di ketuk dari luar, Nayya segera beranjak dari tempatnya dengan penuh semangat. “Selamat malam Nona, saya datang kemari intuk membantu Nona bersiap-siap untuk upacara pengambilan darah suci. Boleh saya masuk?” spa pelayan itu. “Hah? upacara? Pak dos..maksudku tuan Riftan tidak mengambil darahku di kamar ini?” tanya Nayya bingung. “Tidak Nona, proses pengambilan darah tidak bisa sembarangan. Harus melalui ritual suci. Nah, sekarang tolong Nona pakai ini.” Pelayan itu menyerahkan sebuah bungkusan berwarna putih. “Ini apa?” tanya Nayya semakin bingung. “Ini adalah pakaian yang akan Nona pakai pada saat ritual berlangsung,” jelas sang pelayan sambil tersenyum “Apa?” “Iya, Nona. Sekarang tolong pakailah. Saya akan menunggu disini untuk mendandani Nona,” ucap pelayan itu lagi. Nayya menerima bungkusan itu lalu membawanya masuk ke ruang ganti. Ia membuka bungkusan itu dan melihat gaun panjang berwarna putih. “Hah?! yang benar saja, aku harus memakai pakaian panjang dan aneh begini?” Nayya lalu mulai melepas pakaiannya dan menggantinya dengan gaun panjang itu. “Apa kau harus memakai pakaian seperti ini? aku bahkan terlihat seperti hantu saja,” protes Nayya terlihat tidak nyaman. “Iya, Nona. Tolong duduk di sini, saya akan merias Nona terlebih dahulu. Pelayan itu mulai merias wajah Nayya. “Nah, Nona bisa membuka mata,” ucap pelayan kitu. Perlahan Nayya membuka matanya dan terkejut melihat pantulan wajahnya di cermin. “Wah, apakah ini wajahku? Kenapa berbeda sekali?” ucapnya takjub. “Karena Nona memang sangat cantik,” puji pelayan itu sambil tersenyum. “Terima kasih, kamu bisa saja. Oh ya, nomong-ngomong, apakah tuan Riftan juga akan menyukai penampilanku?” Tanya Nayya. “Oh, saat upacara nanti, tuan Riftan tidak akan sadarkan diri.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD