Berusaha

1226 Words
Riftan keluar dari mobil dan memakai kacamata hitamnya masuk ke dalam pintu utama sebuah kantor otomotif ternama. Semua mata memandang ke arahnya, mereka memang baru kali ini melihat sosok Riftan berada di kantor tempat mereka bekerja. Tentu saja mereka tidak mengira jika pria super tampan yang berlalu di hadapan mereka adalah pemilik perusaahan tempat mereka bekerja itu. Sehingga para pegawai itu hanya menatap Riftan dengan tatapan takjub sembari bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan pria tampan ini? Mereka tidak menyapa atau membungkuk hormat, karena mereka pikir Riftan hanya tamu atau investor perusahaan. t Riftan diantar oleh seorang pria berjas dan berkacamata hitam, ia merupakan ajudannya. Mereka berjalan memasuki Lift khusus direktur untuk naik menuju lantai 50. Lift privat yang tidak sembarang orang bisa masuk dan menggunakannya. Riftan membuat ruangan untuk kepentingan pribadinya. Karena segala macam ritual dan rahasianya sebagai seorang makhluk yang berbeda dari yang lain bisa ia lakukan di raungan itu. Selain itu, ruang khusus direktur juga ada, tapi berada di lantai yang sama dengan para tim yang selalu dibutuhkan untuk keluar masuk ke ruangan itu. Riftan memasuki ruangan pribadinya dan langsung menuju jendela kaca besar, di sana ia bisa melihat seluruh kota. Ruangan yang hampir sama desainnya dengan kamar miliknya di kastil. Hampir semua kantor di beberapa perusahaanya memiliki raungan privat. Setelah mengamati sekitar, ia keluar dan langsung menuju lift. Ajudan pribadi yang menunggunya di luar langsung menghampirinya. “Apakah Tuan ingin langsung ke ruangan direktur?” “Iya, tapi kau tidak perlu mengantar saya, cukup tunjukkan jalannya saja, aku ingin menyapa karyawan kantor ini tanpa siapa pun yang mengenaliku,” ucap Riftan kepada sang ajudan. “Baik, Tuan,” jawan sang ajudan dengan patuh. Saat Riftan keluar dari lift, suasana kantor sudah ramai. Semua pegawai sibuk mengurusi pekerjaan mereka masing-masing. Dan pada sat mereka melihat Riftan, mereka semua menghentikan aktifitas dan menatap Riftan tanpa kedip. Mereka seolah melihat dewa yang sangat tampan berada di sekitar mereka dan memberkati mereka adegan aura penuh semangat. Saat Riftan akan melangkah menuju ruangannya, salah satu diantara mereka dengan cepat mencegahnya masuk. “Maaf, Pak. Tapi kami tidak bisa membiarkan sembarangan orang masuk ke dalam ruangan CEO. Bos kami belum datang, mungkin sebentar lagi. Jadi saya harap Bapak bisa menunggu beliau di tempat yang telah di sediakan. Mari saya antar,” ucap pagawai itu dengan profesional. Perempuan cantik bertubuh tinggi semampai itu berniat mengarahkan Riftan ke sofa tapi Riftan hanya terdiam. “Tidak apa-apa, saya akan menunggu direktur di ruangannya saja , jangan khawatir saya berjanji tidak akan berbuat macam-macam,” ucap Riftan memancing. “Tidak bisa, Pak. Mohon maaf, lagipula Anda juga tidak bisa masuk karena ruangannya terkunci,” ucap wanita itu mulai merasa sedikit kesal dengan sikap keras kepala orang asing yang ada di hadapannya ini. Sebagai sekretaris, ia harus bertanggung jawab penuh atas ruangan atasannya itu, meskipun ia dan mungin sebagian besar karyawan di kantor ini belum pernah melihat wajah bosnya itu. “Tapi saya punya kuncinya, apakah itu berarti saya bisa masuk ke dalam?” ucap Riftan sambil memperlihatkan sebuah kartu di tangannya. Oh, iya. Kau terlihat sangat berhati-hati, apakah kau sekretaris direktur?” tanya Riftan. Wanita itu masih tertegun dengan raut bingung, bagiamana bisa orang ini bisa memiliki kunci ruangan CEO? Jagan-jangan. “Apa kau sekretaris di sini?” Riftan mengulang pertanyaannya. “Ah i…iya, Pak.” sekretaris itu mulai tegang. Rupanya ia menyadari sesuatu. Wajahnya memerah karena malu. “Kau pegang kartu ini dan buka ruangan saya sekarang,” ucap Riftan langsung memeberikan perintah. Jantung wanita itu hampir saja melompat dari tempatnya saking terkejutnya. Apa yang ia sudah lakukan dengan CEO? Orang-orang yang ada di sana langsung berhamburan dan menghilang tampa sisa. Ia pun dengan cepat melangkah ke arah ruangan itu dan membukanya. “Maafkan saya, Pak. Saya tidak tahu,” ucap wanita itu dengan membungkuk. Ia merasa sangat malu dan bersalah. “Tidak apa-apa, aku sengaja memberikan kalian semua kejutan, sekarang kembalilah ke tempatmu,” ucap Riftan lalu masuk ke dalam ruangannya. Ia langsung menuju meja kerjanya. Di sana ada sebuah bingkai foto, gambar Nayya yang sedang tersenyum lebar menghiasai bingkai foto itu. Ia kembali teringat dengan perdebatan mereka tadi pagi. Bagiamana ia bisa membiarkan Nayya melakukan apa yang ia inginkan kali ini. Menjadi vampir adalah hal terburuk yang ada di dunia ini. Hal yang sama sekali ia tidak pernah inginkan. Tiba-tiba pintu diketuk sebelum sekretaris itu masuk dengan membawa dokumen di tangannya. “Selamat pagi, Pak. Hari ini jadwal meeting akan diadakan pada jam 10 pagi, setelah makan siang, Anda akan mengunjungi pabrik pembuatan bahan mentah lalu bertemu dengan para investor yang berasal dari Kanada dan Amerika.” Sektretaris itu membacakan jadwal padat Riftan untuk hari ini hingga sore hari. “Baiklah, eh… siapa namamu?” Wajah sang sekretaris bersemu merah melihat Riftan menatapnya. “Oh, perkenalkan saya Clara OKtavia, Pak.” “Baiklah, Clara. Kalau begitu, Siapkan semuanya,” ucap Riftan. “Siap, Pak. Tapi sebelum itu, ini dokumen yang harus ditanda tangani sebelum meeting dimulai. Begitulah akhirnya Riftan mulai kembali sibuk dalam pekerjaannya sebagai pimpinan perusahaan yang cabangnya ada di mana-mana. Ia memilih untuk memegang tempat ini sendiri karena kantor yang baru beroperasi ini adalah yang terdekat aksesnya dari kastil sehingga ia bisa lebih mudah pergi dan pulang dari sana. Sedangkan kantor cabang lain di pegang oleh orang-orang kepercayaannya. Semua berjalan lancar, meskipun pada saat meeting, Riftan beberapa kali tidak fokus karena pikirannya ada di tempat lain. Sampai akhirnya semua selesai dan ia kembali ke kastil. Riftan berjalan dengan lunglai tanpa semangat menuju kamarnya. Entah apa yang membuatnya seperti orang yang tidak b*******h. Padahal meeting dan perencanaan bisnisnya berjalan dengan baik dan lancar. Ia ingin berbelok ke kamar Nayya karena yakin ia pasti berada di dalam sana. Tapi karena terlalu lelah, ia memutuskan untuk berbicara besok saja, toh semua pekerjaannya di kantor sudah beres. Sehingga akhir pekan ini dia memiliki banyak waktu untuk menyelesaikan kesalahpahaman mereka. Ia berdiri di depan pintu kamarnya tapi terkejut karena mencium bau Nayya bertebaran di dalam kamar itu meskipun ia belum membuka pintu. Dengan d**a yang bergemuruh, ia membuka pintu dan sudah bisa dipastikan ia sangat terkejut melihat Nayya yang sedang berdiri di depan cermin dengan gaun tipis menerawang memperlihatkan tubuh polosnya. Ia berdiri terpaku di ambang pintu dengan mata yang menatap tajam ke arah Nayya. Semua rasa letih dan keresahan hatinya seketika lenyap tak berbekas. Ia masih berdiri di tempatnya saat Nayya melangkah menghampirinya. “Kenapa kau masih berdiri di sini, apa kau tidak ingin masuk ke dalam?” tanya Nayya dengan wajah yang bersemu merah. “Ah. i…iya. masuk…aku masuk,” ucap Riftan tergagap lalu melangkah masuk ke dalam setelah mengunci pintu. Nayya menuntun Riftan melangkah ke arah ranjang dan mendudukkannya di sisi ranjang. Membuka jasnya dan menyimpan tas yang masih ia pegang. Nayya kemudian duduk di hadapan Riftan dan membuka sepatunya. “Ti…tidak pelu Nayya. Biar aku saja..” cegah Riftan. Tapi Nayya menggeleng. “Kau cukup diam saja, dan jangan membantah, kau mengerti?” “Nayya… kenapa kau tiba-tiba begini? kau tahu ini sangat berbahaya untukmu,” ucap Riftan yang mulai merasakan panas di dalam tubuhnya. Nayya hanya tersenyum mendengarkan itu. “Kau mandi dulu, setelah itu kita tidur,” ucap Nayya. Mata Riftan sudah memerah, taringnya sudah keluar dan ia sudah hendak mendekatkan mulutnya ke bibir Nayya tapi Nayya menahannya. “Aku bilang mandi dulu, Riftan. kau mengerti?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD