Kekerasan

1076 Words
“Nayya…” suara Riftan bergetar memanggil nama Nayya. Jelas sekali terlihat jika Riftan tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Akan tetapi, Nayya hanya menggeleng dan menunjuk ke arah kamar mandi meminta Riftan untuk masuk dan membersihkan diri di dalam sana. Dengan sangat berat hati, Riftan beranjak dari ranjang dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Nayya duduk dengan tegang di tepi ranjang menatap ke arah kamar mandi. Dadanya berdegup kencang, ia bisa merasakan gairah Riftan yang berusaha ia tekan. Ia tahu akan bagaimana dirinya nanti, Riftan akan membuatnya tidak berkutik. Tapi, rencananya harus berhasil. Ia harus membuat cahaya itu masuk ke dalam tubuhnya agar bisa hamil. Begitu pintu terbuka, Nayya buru-buru berbalik dan berusaha menenangkan perasaannya. Riftan hanya berdiri di ambang pintu kamar mandi menatap Nayya yang memunggunginya sambil tersenyum simpul. Ia tahu kalau Nayya tegang. Tapi sudah terlambat, gadis itu sudah melakukan kesalahan dengan menggodanya lebih dulu. Ia akan memberinya pelajaran. Apalagi sudah lama ia tidak merasakan kehangatan Nayya karena kejadian beruntun yang mereka alami. Riftan berjalan menghampiri Nayya. “Kenapa? Sepertinya kau ragu sekarang, sayang?” Riftan berbisik di telinga Nayya membuat Nayya tersentak. “Ah, ti…tidak. Kau cepat sekali mandinya? Biasanya kau mandinya lama.” Nayya mencoba bersikap normal. “Bagaimana bisa aku mandi dengan benar kalau kau menungguku dengan gelisah di sini. Kau tahu, aku sudah tidak sabar,” ucap Riftan sambil mengecup lembut pipi Nayya. Riftan duduk di tepi ranjang, membawa Nayya duduk di atas pangkuannya. “Apa kau tegang?” bisik Riftan. “Tidak…” Nayya menggeleng. Riftan tersenyum, tangannya terulur membelai wajah Nayya yang memerah. Mengelus bibirnya yang lembut. “Kau sangat cantik malam ini, bagaimana bisa kau memiliki ide seperti ini, hmm?” Riftan perlahan merebahkan tubuh Nayya di atas kasur lalu berbaring di sisinya. “A..aku hanya ingin menyenangkanmu saja. Kenapa? Kau tidak suka, ya?” ucap Nayya terlihat begitu polos. “Bagaimana bisa aku tidak menyukainya, sayang. Kalau kau tidak begini, aku tidak akan pernah berpikir jika kau juga bisa terlihat nakal dan aku sangat menyukainya, Nayya. Bahkan, saat ini aku bisa merasakan darahku mendidih membakar gairahku.” Riftan membuka jubah mandinya, memperlihatkan seluruh tubuh polosnya yang indah berotot. Mata Nayya terbelalak menatap setiap inci tubuh Riftan. Sungguh, apapun yang ada pada tubuh Riftan, adalah hal yang sangat mengagumkan. Wajah Nayya pun memerah. “Kenapa kau masih selalu terlihat malu-malu saat melihat tubuhku, Nayya.” Jangan tutupi wajahmu seperti itu. Aku ingin melihat setiap reaksi wajahmu saat aku memberimu kenikmatan,” ucap Riftan sambil mencium bibir Nayya dengan lembut. “Ah…” Nayya tanpa sadar mendesah saat Riftan menyentuh dadanya yang menggoda. Sentuhan yang awalnya lembut berangsur kasar penuh gairah. Tidak ada seinci dari tubuhnya yang luput dari sentuhan tangan kekar Riftan. Pria itu terlihat begitu berselera menikmati tubuh indah Nayya di bawah tubuhnya. Keduanya larut dalam gairah membara. Gerakan liar kedua tubuh mereka menjadi bukti betapa kuatnya rasa memiliki dan rasa saling menyukai diantara mereka. Cinta yang dalam dengan diselimuti oleh gairah yang membara membuat mereka semakin larut di dalam kehangatan itu. Sampai rasa puas mereka rasakan dengan tubuh penuh peluh dan rasa nyaman. Nayya bisa melihat cahaya biru bergerak keluar dari mulut Riftan, di saat itulah Nayya dengan cepat mencium bibir Riftan sehingga cahaya itu masuk ke dalam tubuhnya. Riftan seketika sadar dan terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Nayya. Ia langsung melepas ciuman Nayya dari mulutnya tapi sudah terlambat. Cahaya birunya sudah berpindah masuk ke dalam tubuh Nayya. Wajah Riftan berubah pucat pasi, ia sangat tegang. “Apa yang kau lakukan?!” bentaknya kepada Nayya tanpa sadar. Ia pun tanda sadar memegang lengan Nayya dengan kuat sehingga Nayya merasakan sakit. “Lepaskan, Riftan. Tanganku sakit…” ucap Nayya sambil meringis. Riftan langsung melepaskan cekalan tangannya dan menatap Nayya dengan tajam. “Jawab pertanyaanku, Nayya. Tadi itu apa yang kau lakukan? Hah…?!” Nayya tidak menjawab, ia hanya terdiam. “Nayya, jawab…!” “Kau tidak melihatnya? Aku menciummu, apa lagi?” “Kau tahu apa maksud dari pertanyaanku, kenapa kau melakukan itu? aku sudah bilang, jangan pernah menyentuh cahaya itu saat kita bersetubuh, kenapa kau masih melakukannya?” Riftan semakin kalut. “Memangnya kenapa kalau aku melakukannya? Kau tidak pernah memberitahu apa alasan kenapa kau melarangku untuk tidak melakukan itu. Memangnya kenapa kalau aku menciummu saat cahaya itu keluar?” Nayya berusaha terlihat tidak mengetahui apa-apa. “Hah…” Riftan bangkit dari tidurnya dan mengusap wajahnya frustrasi. Ia lalu beranjak dari ranjang dan membuka lemari. Ia mengambil sebuah botol yang bersisi cairan. Ia kembali menghampiri Nayya dan duduk di sisinya. “Minumlah ini, cepat,” ucap Riftan sambil memberikan botol itu kepada Nayya. “Tidak…!” tentu saja Nayya menolak dengan tegas. “Aku mohon, Nayya. Minumlah ini sebelum terlambat,” Riftan memohon. “Aku tidak akan meminum cairan apapun, kenapa kau selalu menyembunyikan sesuatu padaku? pertama kau tidak menjelaskan kenapa aku tidak boleh menelan cahaya itu, yang kedua, kau tiba-tiba memberiku cairan yang entah rasanya seperti apa dan apa fungsinya pada tubuhku. Kau tidak mau jujur padaku, Riftan. Aku mau kembali ke kamarku saja, kau selalu memperbesar masalah sepele seperti ini.” Nayya beranjak dari duduknya tapi dengan cepat Riftan mencegahnya. “Nayya, ini bukan masalah sepele. Ini menyangkut nyawamu. Kau sudah melakukan kesalahan dengan menelan cahya biru itu. Kau tahu cahaya biru itu apa? itu adalah nyawa dari janin yang akan tumbuh di dalam rahimmu nanti. Jika kau tidak meminum cairan ini, kau bisa hamil. Kau tahu kan betapa bahayanya jika seorang manusia hamil darah daging seorang vampir. Kau akan mati. Apakah Itu yang kau anggap persoalalan sepele? Jadi aku mohon minumlah ini,” ucap Riftan kembali membujuk Nayya. tapi tanpa ia sangka, Nayya tetap menggeleng. “Apa? jadi maksudmu, kau ingin tetap hamil?” tanya Riftan dengan wajah yang menggelap. “Iya, aku akan melahirkan anak ini meskipun aku harus mati, Riftan.” Nayya berdiri dan meninggalkan Riftan yang masih terlihat syok dengan jawaban Nayya. Setelah benar-benar sadar, Riftan tampak sangat tidak tenang. Ia buru-buru mengenakan semua pakaiannya dan menyusul Nayya. “Tidak.. tidak… kau tidak boleh melakukan itu pada dirimu sendiri Nayya. Ini tidak benar…” gumannya sambil berlari menuju kamar Nayya. Ia mengetuk pintu kamar Nayya tapi tidak ada jawaban, tidak ada pilihan lain, ia masuk menembus pintu kamar Nayya . Ia melihat Nayya berbaring. Riftan naik ke atas ranjang dan tidur di samping Nayya. “Nayya, jangan berpikiran pendek seperti ini, aku mohon ubahlah pikiranmu, aku mohon,” ucap Riftan. “Aku tidak mau!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD