Pertolongan

1106 Words
Asoka berlari menghampiri putri Adora yang terlihat sangat kesakitan. “Putri, kau kenapa?” Asoka dengan refleks menyentuh lengan putri Adora. Seketika sensasi menyengat terasa di kulit mereka saat bersentuhan. Asoka dengan cepat melepas tangannya dari lengan putri Adora tapi tiba-tiba putri itu memegang tangan Asoka dan menggeleng. “Jangan, jangan lepaskan sentuhanmu, tolong. Ini menyakitkan sekali, aku mohon kurangi rasa sakit ini…” ucap putri Adora sambil merintih. “Oh, ba..baiklah…” dengan gugup Asoka kembali menyentuh lengan putri Adora dengan sangat perlahan. “Putri, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Asoka. “Di setiap bulan purnama, vampir wanita akan mengalami pendarahan, dan rasanya itu sakit sekali. Aku rasanya mau mati,” ucap putri Adora sambil terus meringis. “Hah..?! pen..pendarahan?” mata Asoka melotot, ia sangat terkejut mendengar kata pendarahan. Di benaknya, ia membayangkan jika darah yang keluar itu sangat banyak dan akan mengakibatkan kekurangan cairan. Selama ini ia tidak pernah tahu dan berinteraksi dengan lawan jenisnya sehingga ia tidak mengerti apa yang sebenarnya putri maksudkan dengan pendarahan itu. “Kalau begitu, kau tidak bisa berdiam diri seperti ini. Kau perlu ke rumah sakit atau tabib untuk menyembuhkan pendarahanmu. Jangan dibiarkan seperti ini, bisa bahaya.” Asoka sudah bersiap untuk mengangkat tubuh putri Adora tapi putri mahkota itu menggeleng. “Tidak perlu tuan Asoka, aku tidak butuh dokter ataupun tabib. Aku hanya butuh pasangan jiwaku sekarang. Ia yang akan menyembuhkan sakitku ini, tolong panggilkan Riftan, aku mohon,” ucap putri Adora. Air matanya sudah mengalir menahan sakit. “Pasangan jiwa?” Asoka tertegun mendengar ucapan putri Adora. Bukankah pasangan jiwa putri Adora yang sebenarnya adalah dirinya? Apa yang harus ia lakukan sekarang. Apakah ia harus tetap memanggil Riftan? tapi Riftan tidak akan berpengaruh apa-apa untuk kesembuhannya. Tapi putri mahkota mengingatkan Riftan. Asoka masih berpikir. “Aku tidak bisa menahannya lagi.” “Ba...baiklah, aku akan memanggil Riftan,” ucapnya lalu menghela nafas panjang. “Iya, aku mohon cepatlah,” ucap putri Adora lirih. Riftan baru saja menyelesaikan semedinya, hatinya senang luar biasa. Setelah sekian lama, akhirnya Nayya setuju untuk di beri tanda. Ia sengaja tidak memberitahu mengenai pilihan lain itu karena tidak ingin membuat Nayya menderita kesakitan. Ia yakin jika Nayya pasti akan memilih pilihan selain berhubungan fisik. Ia memang reinkarnasi dari Adelia, keras kepala dan keteguhan prinsipnya masih sama. Riftan tersenyum-senyum membayangkan wajah cantik gadisnya akan memerah karena malu-malu nanti. Membayangkan itu saja tubuhnya sudah gemetar seperti ini, apalagi melihat dan merasakannya langsung.langsun Riftan langsung terasa panas, ia dengan cepat menepuk-nepuk wajahnya menghilangkan rasa panas itu, sangat tidak lucu jika ia masuk ke dalam kamar Nayya dengan muka memerah seperti ini. Nayya bisa-bisa melarikan diri tanpa sempat di sentuh. “Riftan… tenangkan dirimu, jangan seperti pria m***m menakutkan. Kau pria baik-baik,” gumannya menenangkan diri sambil menepuk-nepuk wajahnya. Tiba-tiba pintu terbuka dan Asoka langsung melangkah masuk dengan wajah tegang. Tentu saja Riftan terkejut bukan main. “Sialan kau, tahu batasan, kan? kenapa tidak ketuk dulu?” tanyanya kesal. “Ini bukan waktunya membuang-buang waktu, cepat ikuti aku , ini keadaan darurat!” ucap Asoka sambil menarik tangan Riftan keluar dari kamar. “Eh, tunggu dulu. Kau mau membawaku kemana?” Riftan terpaksa mengikuti langkah Riftan lalu terbang menuju bangunan timur tempat putri Adora berada. “Kenapa kau membawaku kemari? kau sudah gila ya?” Riftan ingin balik badan dan kembali tapi dengan cepat Asoka menggunakan kekuatannya mengikat pergerakan Riftan sehingga ia tidak bisa bergerak. “Sialan kau Asoka! Lepaskan aku, aku bilang lepaskan!” ucap Riftan sambil meronta, tapi Asoka tidak mendengarkan perintahnya. “Maafkan aku tapi putri Adora sangat membutuhkanmu sekarang. Aku mohon, sebentar saja,” ucap Asoka sambil membawa Riftan menuju kamar putri Adora. “Memangnya ada apa dengannya?” tanya Riftan. Asoka berdiri di depan pintu kamar putri Adora dan membukanya. “Masuklah, dan lihat sendiri keadaannya,” ucap Asoka. Riftan terpaksa berjalan masuk diikuti oleh Asoka. Ia melihat putri Adora terbaring lemah di kasur sambil meringis memegangi perutnya. “Ada apa denganmu, putri,” tanya Riftan sambil menghampiri putri Adora. Mendengar suara Riftan, putri Adora membuka mata dan mengangkat tangannya untuk meraih tangan Riftan. “Tolong, sembuhkan aku. Aku mengalami pendarahan bulan purnamaku. Ini sakit sekali, kau yang harus menyembuhkanku karena jiwa kita sudah terikat. Tolong berikan aku nafasmu,” ucap putri Adora dengan lemah. Riftan tersentak, nafas? Bukankah putri ini sedang mengalami pendarahan bulan purnama? Setiap vampir wanita pasti mengalaminya di setiap bulan purnama saat jiwa mereka telah bersatu dan terikat dengan jiwa pasangan mereka. Dan benar, orang yang akan menyembuhkan dari rasa sakit itu adalah pasangannya sendiri. Meskipun hanya berlangsung selama sehari semalam saja, ini sangat menyakitkan bagi mereka. Putri Adora baru pertama kali mengalami pendarahan purnama setelah pengikatan jiwanya dan jiwa Asoka, itu berarti bukan dirinya yang putri Adora butuhkan, melainkan Asoka. Asoka harus berbagi hembusan nafas dengan putri Adora. Tangan putri Adora menggapai dan menggenggam tangan Riftan tapi… “Akhh…!! Panas sekali dan perutku bertambah sakit… kenapa aku tidak bisa menyentuhmu Riftan? Kenapa kau tidak bisa menyembuhkanku? kenapa disaat sekarangpun aku tidak bisa merasakan sedikitpun keberadaanmu di dalam jiwaku. Tolong, siapapun tolong aku…!” putri Adora kembali meringkuk menahan sakit sedangkan Riftan bisa menghela nafasnya. Ia lalu menatap Asoka yang terlihat sangat mengkhawatirkan putri Adora. “Kau tahu apa yang harus kau lakukan sekarang, kan? sembuhkan dia. Aku pergi dulu,” ucap Riftan lalu meninggalkan tempat itu. Asoka menelan ludahnya gugup lalu melangkah menghampiri putri Adora. “To...tolong pegang tanganku, putri.” Putri Adora menatap Asoka dan menggapai tangannya. Asoka menggenggam erat tangan putri Adora, seketika rasa hangat menyelimuti tubuh putri Adora, rasa sakitnya menjadi berkurang. “Kau..bisa menyembuhkanku, tuan Asoka?” ucapnya lemah. “Itu kalau kau mengizinkan, putri,” jawab Asoka. Asoka menatap wajah pucat putri Adora dengan dalam, ia ingin sekali menyentuh bibir putri Adora dan membagi nafasnya agar sakit yang putri Adora rasakan menghilang , tapi ia masih merasa ragu. Ia takut putri Adora akan salah dalam memahami niatnya. “Apakah aku bisa membagi nafasku denganmu?” tanyanya dengan ragu-ragu. Putri Asoka menatap Asoka tanpa kedip, air bening di sudut matanya keluar. Ia mengigit bibirnya lalu mengangguk perlahan. Dengan perlahan Asoka mendekatkan wajahnya ke arah bibir putri Adora, dengan penuh kelembutan ia menempelkan bibirnya ke bibir putri Adora. Sentuhan mereka seketika membuat tubuh keduanya menghangat. Tubuh puti Adora bergetar, awalnya Asoka hanya berniat menempelkan bibir mereka dan meniup udara ke mulut putri Adora, akan tetapi, tidak disangka, tangan putri Adora bergerak meraih leher Asoka membuat bibir mereka semakin melekat satu sama lain. Putri Adora dengan agresif menghisap bibir Asoka dan mengulumnya. Putri itu sepertinya tidak puas hanya dengan udara dari nafas Asoka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD