Memberi Tanda

1153 Words
Asoka menatap wajah pucat putri Adora, ia beberapa kali memeriksa tanda kehidupan putri Adora, masih ada tapi terasa sangat lemah. Ia sudah memberikan minuman penangkal tapi belum terlihat reaksinya. Beribu pertanyaan mencuat dari benaknya. Kenapa putri ini bisa berada di hutan? Apa yang ia ingin lakukan di sana? Atau jangan-jangan karena putri Adora sudah tidak bisa menahan diri untuk bertemu dengannya? Asoka kembali merasa khawatir, ia belum bisa memastikan kenapa putri Adora sampai lemas, apa kemungkinan terkena asap dari kebakaran itu? atau…. “Tidak, dia tidak mungkin terkena cahaya itu, kan?” Asoka berspekulasi sendiri. Memikirkan itu ia saja sudah merasa takut sendiri. Jika ia hanya terpapar hawa panas dan asap. Tubuhnya tidak akan lemas dan pingsan seperti ini, kecuali kalau sinar biru itu mengenai tubuhnya. Semoga apa yang aku pikirkan tidak terjadi. Harapnya dalam hati. *** Riftan sedang terlihat mengetik sesuatu di laptopnya, mata tajamnya fokus menatap layar di depannya. Jemarinya yang panjang dan terlihat kuat sangat lihai menekan tombol-tombol laptop menggunakan sepuluh jarinya. Pintu terbuka dan Nayya masuk ke dalam membawa segelas kopi dan kudapan. Ia tersenyum melihat Riftan bekerja seperti itu. Meletakkan nampan yang ia bawa di atas meja dan menatap Riftan dengan tatapan penuh damba. Ia merasa seperti menjadi seorang istri yang sedang menunggu suaminya selesai bekerja, rasanya sangat menyenangkan. “Kenapa kau senyum-senyum seperti itu?” Nayya tersentak mendengar suara Riftan. “Ah, ti…tidak kok. Aku hanya menunggumu saja. Kapan kerjaanmu selesai, aku bawakan kopi biar tambah semangat,” ucap Nayya dengan senyumnya. Riftan menghentikan kerjaannya dan tersenyum lembut ke arah Nayya. “Sini…” panggilnya sambil merentangkan kedua tangannya untuk menyambut Nayya. “Ah?” Nayya tergagap, ia bangkit dan berjalan ke arah Riftan. dengan ragu duduk di atas panggkuannya. Riftan memeluk pinggangnya dan membelai kepala Nayya dengan lembut. “Terima kasih, ya, kau baik sekali,” ucapnya. “Benarkah? Kau senang?” balas Nayya. “Senang sekali.” Riftan memeluk Nayya dengan erat. Omong-omong Kau sudah tidak apa-apa kan? kau sudah bekerja keras untukku, terima kasih, ya,” ucap Riftan kembali mencium kening Nayya. “Hmm, kenapa kau selalu berterima kasih? Aku hanya melakukan tugasku.” Nayya tersenyum. “Itu bukan tugasmu, aku yang membutuhkanmu dan kau berbaik hati memberikannya. Makanya aku sangat berterima kasih padamu,” ucap Riftan. “Baiklah, kalau kau memang ingin berterima kasih, ungkapkan dengan cara lain,” ucap Nayya dengan senyum misteriusnya. “Cara lain? bagaimana itu?” Nayya mendekatkan mulutnya ke telinga Riftan lalu berbisik, wajah Riftan sedikit merona setelah mendengar bisikan Nayya. Ia menatap kekasihnya itu dengan tatapan lembut. “Apa kau yakin?” tanya Riftan. Nayya mengangguk dengan yakin. “Gadis nakal, tapi aku belum bisa menyentuhmu, setidaknya 3 hari ke depan. Kau masih butuh sedikit lagi pemulihan, aku tidak ingin hilang kendali dan membuatmu sakit. Jadi bersabarlah dulu.” Riftan mencium lembut bibir Nayya, Nayya mengalungkan kedua lengannya ke leher Riftan dan membalas ciuman Riftan. Ia mendesah, Riftan semakin memperdalam kuluman bibirnya dan tanpa sadar merebahkan tubuh Nayya ke sofa. Mereka melanjutkan cumbuan hangat mereka sampai Riftan menghentikannya. Nafas mereka menderu, bibir mereka merah dengan wajah yang juga memerah. Riftan menatap Nayya dengan mata yang memerah, tapi ia berusaha mengontrol hasratnya. Ia tidak mau menyentuh gadisnya dulu, karena akan sangat berbahaya. Riftan bangkit dan mengangkat tubuh Nayya ke ranjang dan merebahkannya. “Kau tidurlah, aku akan melanjutkan kerjaanku yang terganggu gara-gara dirimu,” ucap Riftan sambil mencubit hidung kecil Nayya dengan lembut. “Baiklah,” ucap Nayya lalu memejamkan matanya. Riftan tersenyum dan kembali ke meja kerjanya. Nafas Nayya yang teratur menandakan jika ia sudah terlelap, Riftan terlihat masih fokus dengan pekerjaannya saat pintu di ketuk. “Riftan tolong buka pintumu.” Suara Asoka terdengar dari luar. Riftan beranjak dari duduknya menuju pintu. Ia membuka pintu dan mendapati Asoka berdiri di hadapannya dengan dengan wajah tegang. “Ada apa? oh ya apa semua latihannya berjalan dengan lancar?” tanya Riftan. “Para prajurit sudah berlatih dengan baik, dan hasilnya memuaskan. Tapi ada satu masalah,” ucap Asoka. “Apa?” “Tolong ikut aku ke bangunan timur, aku ingin memperlihatkan sesuatu,” ucap Asoka. “Maksudmu ke tempat putri Adora? apa dia membuat ulah lagi?” tanya Riftan curiga. “Akan aku ceritakan, ikut dulu denganku,” ucap Asoka. Riftan melirik Nayya yang tertidur di rajang lalu mengangguk. “Baiklah,” ucapnya. Mereka pun melompat menuju bangunan timur, Tidak berapa lama, mereka sampai. Asoka membuka kamar putri Adora dan masuk ke dalam. Riftan mengikutinya. “Ada apa dengannya?” tanya Riftan. “Semalam, ia tiba-tiba aku temukan terkulai lemas di tanah di kawasan hutan tempat latihan. Saat itu ada sedikit kecelakaan. Seorang prajurit tidak bisa mengendalikan kekuatan cahaya biru yang ia miliki sehingga menyebabkan kebakaran. Saat itulah aku mendengar teriakannya. Sejak kemarin malam, ia tidak sadarkan diri” ucap Asoka menjelaskan. Ia terliaht kebinguangan dengan kondisi putri Adora yang sampai sekarang tidak mau terbangun. “Apa saat kau temukan tidak ada hal aneh yang kau temukan?” tanya Riftan sambil memeriksa leher putri Adora. Wajah Riftan tegang setelah memeriksa putri Adora. Sebagai seseorang yang sangat mengetahui apa pun tentang kekuatan cahaya biru yang ia miliki, ia tahu jika putri Adora mengalami masalah akibat cahaya biru itu. Ia menatap Asoka dengan tatapan serius. “Ada apa?” Asoka bertambah tegang dan khawatir. Riftan menghela nafas panjang. “Dia terkena sinar biru dan mengenai hatinya. Ini sangat beresiko karena organ hati seorang vampir yang terkena sinar biru akan membeku. Jika dibiarkan akan sangat berbahaya. Selain berpengaruh ke mental dan perubahan sikapnya nanti, kebekuan hatinya juga akan menimbulkan masalah kesehatan dan ketahanan kondisi tubuh. Dia harus segera di sembuhkan. Aku khawatir jika dia tetap seperti ini selama 2 hari ke depan, apa yang aku khawatirkan akan terjadi,” ucap Riftan. “Ya sudah,tunggu apa lagi. Cepat sembuhkan,” ucap Asoka dengan penuh harap. “Sayangnya aku sama sekali tidak memiliki penawarnya,” ucap Riftan sambil menatap Asoka dengan tatapan yang membuat Asoka kembali kebingungan. “Jadi obatnya ada di mana? Beri tahu padaku, biar aku yang akan mencarinya,” Asoka tampak tidak sabar, membuat Riftan tersenyum. “Kenapa kau tersenyum begitu” apa menurutmu kondisi ini lucu untuk di tertawakan?” Asoka mulai kesal melihat Riftan sepertinya ingin meledeknya lagi. “Kau terlihat sangat mengkhawatirkan putri Adora, aku seperti pria yang sudah sangat mencinta dan diperbudak oleh cinta, apa kau benar-benar sudah mencintai putri Adora?” ucap Riftan tertawa kecil. “Apa yang kau katakan itu? Sudahlah, berhenti meledekku, cepat katakan padaku di mana obat penawar itu?” tanya Asoka. “Kau tidak perlu ke mana-mana, karena obatnya itu adalah kau!” jawab Riftan. “A…apa maksudmu?” “Kau harus memberikan tanda pada tubuh putri Adora sehingga cahaya biru yang terserap di dalam tubuhnya dengan sempurna sehingga tidak merusak organ hatinya semakin parah. Cahaya itu akan membaur ke dalam darahnya dan memberikan dia kekuatan baru, itu kalau kau sudah menandainya,” ucap Riftan sambil tersenyum simpul. “A..apa?!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD