Meminta Izin

1160 Words
“Apa? apa yang kau bicarakan itu, Riftan?” “Uang aku katakan ini adalah kenyataan. Kau harus lakukan itu jika ingin pasangan jiwamu selamat dari bahaya api biru. Aku tahu semuanya karena aku adalah pemilik cahaya itu, kau mengerti?” Riftan memberi penjelasan. Asoka syok, ia tidak percaya akan ada hal seperti itu. Bagaimana bisa ia melakukan hal seperti itu pada putri Adora yang tidak mencintainya? Terlebih ia tidak bisa karena dalan ribuan tahun hidupnya, ia sama sekali tidak pernah memikirkan hal seperti itu. Apakah ia bisa? Dan jika seandainya ia bisa, apakah putri Adora mau melakukan itu dengannya? “Aku sudah memberikan solusi yang terbaik, jika kau tidak mau melakukannya itu pilihanmu. Tapi aku harap kau memilih pilihan bijak untuk kehidupanmu, Asoka. Aku tidak ingin kau tersakiti lagi. Lakukan itu agar putri Adora akan selalu bergantung padamu, agar kau bisa bahagia. Kau mengerti maksudku, kan. Kalau begitu, aku pergi,” ucap Riftan lalu meninggalkan ruangan. “Riftan, tunggu…!” Asoka mencegahnya tapi Riftan sudah menghilang dari pandangan. “Apa yang harus aku lakukan sekarang,” gumannya gusar. Ia menatap wajah putri Adora. Wajah yang sangat cantik itu kini tidak tidak lagi ceria. Tubuhnya terkulai lemas, tiada lagi tatapan penuh harap yang sering tertuju padanya. Bibir yang biasanya mengulas senyum indah dan memerah kini pucat pasi, tidak ada senyum di wajahnya lagi. Semua itu membuat Asoka resah dan tidak tenang. Jika obat penawarnya ternyata hanya itu, bagiamana putri Adora akan sembuh? Ia sendiri tidak mungkin melakukan pemberian tanda tanpa seizin putri Adora sendiri, jika pun misalnya diizinkan apakah ia akan sanggup memenuhinya? “Akh….!” Asoka tersentak saat mendengar putri Adora meringis. “Putri… putri Adora…” panggilnya sambil memeriksa suhu tubuh gadis itu. Asoka lagi-lagi terkejut, suhu tubuh putri Adora sangat dingin. “Akh…dingin… dingin sekali…” lirih puri Adora dengan suara lemas. “Suhu tubuhmu turun dengan drastis saat sejak terkena sinar biru itu.” Asoka mengambil selimut dari dalam lemari dan membungkus tubuh putri Adora, meskipun ia tahu kalau itu tidak akan berpengaruh sedikitpun. Putri Adora perlahan membuka mata, ia tersenyum melihat wajah Asoka di depan matanya. “Aku minta maaf tuan Asoka, karena telah membuatmu kerepotan lagi. A…aku hanya ingin melihatmu sebentar lalu pergi pagi, tapi…” “Sudahlah, kau tidak perlu minta maaf. Sekarang kau istirahat agar bisa pulih dengan cepat,” ucap Asoka. “Putri Adora hanya mengangguk menahan tubuhnya yang semakin lama semakin membuatnya dadanya sakit karena kedinginan. Asoka kembali menambah selimut putri Adora, tubuh gadis itu menggigil. Setidaknya ia sudah sadar, mungkin perkataan Riftan itu salah. Buktinya, putri Adora sekarang sudah siuman, hanya saja tubuhnya kedinginan. Tapi sebentar lagi suhu tubuhnya akan kembali normal. Pikirnya di dalam hati. Asoka dengan penuh kesabaran merawat putri Adora, menyuapi dan selalu menemaninya. Asoka bahkan menginap di dalam kamar putri Adora dan tidur di sofa karena putri Adora selalu memanggil namanya jika ia tidak melihat Asoka ada di dekatnya. Akan tetapi, tubuh putri Adora sama sekali tidak ada tanda-tanda kesembuhan, tubuhnya bahkan semakin dingin bagai es. “Putri makan dulu, ini darah singa segar yang kau sukai, minumlah,” ucap Asoka sambil memberikan segelas darah segar kepada putri Adora. “Ah, darah singa?? Wajah pucat putri Adora terlihat senang. Asoka mengangguk sambil tersenyum. Putri Adora mencoba bangkit dari rebahnya tapi tiba-tiba darah hitam keluar dari mulutnya. “Putri…!” Asoka sangat terkejut. Dengan cepat ia mengambil wadah sehingga putri Adora bisa memuntahkan semua darah hitam kental itu. Putri Adora kembali merebahkan tubuhnya karena kepalanya seperti ingin pecah saking sakitnya. “I..istirahat saja. Aku akan keluar sebentar untuk meminta bantuan,” ucap Asoka yang sudah mulai khawatir dengan kesehatan putri Adora. “Jangan… tolong jangan pergi , aku mohon. Jika memang aku tidak bisa bertahan lagi, setidaknya aku bisa melihatmu sampai akhir hidupku,” ucap putri Adora sambil menarik jubah Asoka. “Tidak, kau akan bertahan selamanya. Baikah aku tidak akan ke mana-mana, tunggu sebentar aku akan meminta bantuan Riftan dulu.” Asoka kembali duduk lalu memejamkan matanya. Mengirim sinyal telepati kepada Riftan untuk meminta bantuannya. “Riftan, aku mohon tolong putri Adora. Ia semakin parah, ia baru saja muntah darah hitam yang kental. Bagiamana ini?” “Bagiamana apanya? aku kan sudah bilang, kau sembuhkan saja sendiri. Hari ini adalah batas tubuhnya menoleransi dampak negatif cahaya biru untuk tubuhnya itu, hatinya sudah membatu makanya ia muntah darah hitam. Jika kau biarkan seperti itu, akan semakin sulit disembuhkan. Kau harus menghangatkan tubuhnya sehingga kebekuan hatinya bisa meleleh. Sudah, kau jangan menggangguku. Aku lagi bersama Nayya sekarang. Lakukan apa yang aku katakan jika kau tidak ingin kehilangan pasangan jiwamu. Aku sudah memberikan solusi yang buka hanya mudah, tapi juga akan membuat kalian semakin tidak bisa lepas dari satu sama lain,” ucap Riftan lalu mematikan sinyal telepatinya. “Tunggu…! Ahk…!” Asoka menghembuskan nafasnya dengan gusar. Kenapa harus ada pengobatan seperti itu? Pengobatan macam apa itu? ia harus bagiamana sekarang? “Tuan Asoka, tolong berikan selimut lagi, aku sudah tidak kuat menahan dingin ini,” ucap putri Adora dengan suara yang semakin lemas. Asoka semakin panik, ia kembali berlari ke arah lemari dan mengambil beberapa selimut untuk membungkus tubuh Adora. Darah hitam kembali keluar dari mulut putri Adora, tubuhnya gemetar menahan dingin. Wajahnya pucat pasi dan bibirnya sudah semakin membiru dan gemetar. “Putri, bertahanlah…” ucap Asoka lalu naik ke atas ranjang. Dengan ragu dan wajah yang memerah karena malu bercampur khawatir, Asoka menatap putri Adora yang sejak tadi lemas tidak bedaya. “Putri, aku ingin memelukmu untuk mengurangi rasa dingin tubuhmu,” ucap Asoka meminta izin. Putri Adora tidak menjawab, ia hanya meringis dan menggigil. “Per…permisi sebentar,” ucap Asoka lalu mulai merangkul tubuh lemah putri Adora. Saat kulit mereka menyentuh satu sama lain, putri Adora merasa sangat nyaman luar biasa. Meskipun tubuhnya masih menggigil setidaknya ia bisa merasakan rasa nyaman sebelum ia benar-benar mati. “Bagiamana perasaanmu, putri?” tanya Asoka. “Aku mohon teruslah seperti ini tuan Asoka, ini membuatku lebih baik,” ucap putri Adora. Mereka pun saling berpelukan beberapa lama, Asoka sama sekali belum berani untuk melakukan lebih dari pelukan itu. Ia tidak berani. “Putri aku ingin mengambil sesuatu, apakah aku bisa melepaskan pelukan ini sebentar saja?” tanya Asoka? “Baiklah, terima kasih,” ucap putri Adora, meskipun ia tidak ingin,tapi ia juga tidak bisa selamanya memeluk Asoka seperti itu. Namun, saat Asoka melepas pelukannya, darah hitam kental kembali keluar dari mulut Adora. tubuhnya kembali diserang rasa dingin yang menusuk. Asoka kembali memeluk putri Adora. “Tuan Asoka, apakah kita harus seperti ini seterusnya? Sepertinya tubuhku tidak bisa bertahan tanpa memelukmu, bagiamana ini?” tanya putri Adora. “Putri, sebenarnya ada satu cara agar kau bisa sembuh,” ucap Asoka akhirnya. “Katakan tuan Asoka, apa itu?” “Kau bisa sembuh dari kekuatan cahaya biru itu jika aku memberikan tanda kepemilikan ku untukmu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD