Menghilang

1192 Words
“Sssttt… tenanglah dan coba pejamkan matamu,” ucap riftan mecoba menenangkan Nayya. “Tidak, aku tidak mau memejamkan mataku lagi. Kalau aku tertidur, bisa – bisa makhluk itu datang lagi. Aku tidak mau…” tolak Nayya dengan tegas sambil terus memeluk Riftan dengan erat. Riftan mengelus lembut kepala Nayya, keningnya berkerut. “Kau mimpi buruk tentang apa memangnya?” tanya Riftan. “Di..di kastil ini ada seorang vampir yang hendak menghisap darahku. Dia bahkan tidak peduli kalau harus di bakar hidup-hidup. Ia rela asalkan dia berhasil mencicipi darahku. Ih..aku tidak mau disentuh oleh siapapun kecuali olehmu. Vampir itu sangat menakutkan, taringnya panjang dan matanya merah,” tutur Nayya. Ia bahkan semakin menyembunyikan kepalanya di d**a hangat Riftan. “Taringnya panjang dan matanya memerah, seperti itukah kau menggambarkan seorang vampir? Dan semua itukan memang ciri vampir, dan aku pun seperti itu jika hendak meminum darahmu. Tapi kenapa kau tidak takut sedikitpun bahkan pada saat pertama kali kau melihat wujudku padahal aku jelas-jelas menggigitmu,” ungkap Riftan. “Ah? Oh itu karena kau berbeda,” sanggah Nayya. Ia sudah sedikit tenang setelah memeluk tubuh Riftan. Riftan melonggarkan pelukannya dan menatap Nayya yang menundukkan wajahnya. Ia menyentuh dagu sang gadis dan membuat Nayya menatapnya. Mata Nayya yang sembab di sentuhnya dengan lembut. “Aku berbeda? Setahuku vampir penghisap darah itu sama saja jika sudah menemukan mangsa. Mereka akan berubah menjadi monster yang bahkan tidak mengenal diri mereka sendiri. Aku juga bisa membuatmu mati jika sudah begitu. Jadi jangan pernah anggap aku berbeda, kau seharusnya juga takut padaku dan menjauhiku, kau mengerti?” tutur Riftan. Nayya menggeleng. “Tidak, kau sama sekali tidak menakutkan. Aku rela kau meminum darahku sebanyak apa pun yang kau inginkan, aku tidak mengerti kenapa kau ingin terus melihatmu. Aku ingin kau memelukku terus seperti ini. Seakan hal inilah yang paling benar, kau seharusnya memperlakukanku seperti ini, Pak Dosen.” Nayya mendekatkan wajahnya ke bibir Riftan dan menciumnya dengan lembut. Riftan tertegun, bibir hangat Nayya yang bergerak di bibirnya membuat seluruh sistem pertahannya menjadi kacau. Ia memejamkan mata menahan diri sekuat tenaga untuk tidak membalas apa pun perbuatan gadis itu padanya. Ia hanya terdiam tak bergerak. Nayya melepas ciumannya dan kembali menatap Riftan dengan penuh damba. “Aku menyukaimu, Pak Dosen. Aku benar sangat menyukaimu,” ungkap Nayya sambil kembali mendekatkan bibirnya ke arah mulut Riftan tapi kali ini Riftan memalingkan wajahnya. “Kau jangan coba-coba berbuat itu padaku, Nayya. Aku sama sekali tidak menyukainya. Aku pikir kau adalah gadis yang berbeda karena memiliki darah suci tapi ternyata, kau sama seperti perempuan lain yang meleralakan tubuhnya jika melihatku. Entah darah sucimu itu berasal dari mana, tapi kau sebenarnya tidak pantas memilikinya karena sifatmu yang murahan itu. Aku pergi.” Sakit dan perih hati Nayya mendengar semua ucapan Riftan, air matanya mengalir. Ia hanya bisa menatap kepergian Riftan dengan perasaan hancur. Cintanya di tolak oleh Riftan dan bahkan mendapatkan hinaan yang menyakitkan. Nayya meremas bantal berusaha menguatkan hatinya yang sudah porak poranda. Selama ini ternyata hanya dia yang merasakan hayalannya sendiri. Memang benar yang dikatakan Riftan, pria itu juga sama menakutkannya dengan vampir yang ia mimpikan tadi. Tidak, Riftan bahkan lebih sadis dan kejam. Ia vampir tidak berperasaan. Nayya kembali menangis tersedu-sedu, Memeluk bantalnya dengan erat sampai akhirnya ia tertidur. sedangkan Riftan, hanya bisa melihat Nayya menangis tampa bisa ia tenangkan lagi. Ia sebenarnya masih ada di dalam kamar Nayya, menggunakan ilmu bayangan yang bisa membuat tubuhnya menyatu dengan udara dan transparan. Hatinya juga ikut merasakan sakit melihat Nayya begitu hancur setelah ia menolak cintanya. Riftan harus melakukan itu demi melindungi darah Nayya agar terus bisa memberinya kekuatan. Nayya harus menjadi gadis tak tersentuh setidaknya seumur hidupnya. Riftan menghampiri Nayya yang sudah tertidur dan mengelus rambutnya. “Maafkan aku Nayya, mungkin jiwa Adelia yang mendorong perasaanmu untuk menyukaiku. Tapi, hidup kita tidak akan seindah dulu lagi. Tapi aku berjanji, akan membalaskan dendamku pada orang-orang yang telah mengubur cinta kita hingga seperti ini,” ucapnya lalu menghilang. Nayya membuka mata, dia menatap sekeliling. Melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Makanan di meja pun sudah tersedia. Ia terdiam, mengingat kembali apa yang telah terjadi semalam. Wajahnya kembali murung Nayya bangkit dari rebahnya dan masuk ke kamar mandi. “Ah…” setiap masuk di kamar ini perasaannya menjadi damai, seolah kesedihan yang ia rasakan sirna. Taman kecil indah ini benar-benar menjadi obat pelipur lara hatinya. Setelah melakukan ritual paginya, Nayya duduk di ayun dan terdiam. Ia memikirkan semua ucapan Riftan. Ia tidak pernah menyangka setiap ucapan yang pria itu keluarkan sangat tajam dan langsung menusuk hatinya tanpa belas kasihan sedikit pun. Jadi perbuatannya selama ini hanya Riftan anggap sebagai perbuatan wanita rendahan? Wanita yang menjajakan tubuhnya kepada pria yang ia sukai. Tanpa terasa air matanya pun kembali menetes. Ini benar-benar penghinaan yang sangat merendahkan harga dirinya. “Dia sungguh kejam sekali, tega-teganya dia mengatakan aku wanita seperti itu. Apa salahnya jika aku menyukainya? Apa aku menjadi wanita rendahan jika menyukainya dirinya?” gumannya penuh kegetiran. Nayya terus berada di dalam ruangan itu, ia sama sekali tidak ingin keluar. Ia ingin selamanya berada di dalam sana untuk menyembuhkan perasannya yang terluka. Jam sudah menunjukkan pukul 12 siang tapi Nayya masih betah berada di dalam sana. Itu berarti ia melewatkan sarapan paginya. Pelayan yang bertugas menyiapkan makanan untuk Nayya, terkejut saat melihat makanan untuk sarapan tidak tersentuh sedikitpun. Pelayan itu mengganti makanan tadi pagi dengan yang dibawanya. Ia tahu jika Nayya ada di dalam taman. Pelayan itu berjalan menghampiri ruangan itu dan mendapati Nayya hanya duduk tertunduk. “Nona, makan siangnya sudah siap. Saya mohon Nona makanlah. Nona sudah melewatkan sarapan tadi pagi,” ucap pelayan itu. Nayya mengangkat kepalanya dan tersenyum ke arah pelayan. “Oh, iya Amber. Maaf aku lupa sarapan saling nyamannya di sini. Baiklah aku akan makan, kau tenang saja,” sahut Nayya. “Apa nona mau saya membawa makan siang Nona ke dalam sana?” tanya Amber menawarkan. “Tidak Amber, aku yang kan keluar dan memakannya. Terima kasih, ya,” ucap Nayya. “Baiklah, Nona. Kalau begitu saya permisi.” Nayya hanya mengangguk merespon ucapan pelayan itu. Nayya menghela nafas lalu beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap makanan itu, sama sekali tidak berselera melihat makan enak itu. Padahal ia selalu lupa diri setiap kali menikmati makanan itu. Tapi hatinya terlalu sakit untuk menikmati semua kelezatan itu. Meskipun perutnya tidak peduli dengan apa yang hatinya rasakan, Nayya tetap mengikuti apa kata hatinya. Ia pun bergegas menuju pintu dan menguncinya dari dalam. Nayya mencari-cari sesuatu, sampai ia melihat sprei dan melepasnya dari kasur. Mengikat dan menyambungkannya ke kain lain hingga menjadi untaian tali panjang. Nayya kemudian mendekati jendela dan membukanya. Beruntung jarak antara jendela dan tanah tidak terlalu tinggi, ia bisa menggunakan kain ini untuk turun ke bawah. Ia harus meninggalkan tempat ini. Ia tidak bisa menatap wajah Riftan lagi. Hatinya benar-benar terluka dan sakit mendapatkan penghinaan itu. Sementara itu, Riftan terlihat sibuk di depan laptopnya. Meskipun ia memiliki sejumlah orang-orang kepercayaan untuk menangani seluruh aset dan bisnisnya, ia tidak pernah bersantai. Ia ,men mengangkat kepalanya saat mendengar ketukan pintu. Seorang pelayan masuk dengan wajah yang pucat pasi. “Tuan, Nona Nayya tidak ada di kamarnya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD