Pulang

1085 Words
“Apa…?!” Riftan tersentak, tanpa sadar ia berdiri dari duduknya. “Ta..tadi waktu saya antarkan makan siang, Nona masih ada di kamarnya sedang bersantai di taman, tapi saat saya hendak membersihkan kamarnya, Nona Nayya sudah tidak ada. Saya melihat ada bekas tali yang terbuat dari kain yang Nona pakai untuk turun dari jendela,” jelas sang pelayan itu ketakukan. Wajah Riftan berubah memerah menahan emosi. “Panggilkan Asyaq segera…!” perintahnya lalu bergegas keluar dari ruangan. Riftan membuka kamar Nayya dan masuk ke dalamnya. Ia mencari-cari sesuatu, ia menyentuh kain panjang yang sudah di gumankan sebagai tali untuk turun dari jendela, di endusnya beberapa kali. Setelah itu ia keluar. Nayya menaiki taksi menuju panti tempat ibu dan adik-adiknya tinggal. Ia memutuskan untuk pergi dari kastil dan menetap di rumahnya sendiri. Dari awal memang Riftan sudah memberinya pilihan, karena sangat percaya diri terhadap Riftan, ia memilih untuk tinggal di kastil. Akan tetapi, setelah ia mendengar sendiri ucapan Riftan padanya, ia pun sudah tidak ada muka lagi untuk tinggal di tempat pria itu. Jika memaksakan untuk tetap tinggal di sana, berarti apa yang di katakan Riftan itu adalah benar. Jadi ia pun memutuskan untuk pulang. Nayya keluar dari taksi dan berjalan menyusuri taman menuju pintu, mengetuk pintu sebelum membukanya. Nilam yang sedang bermain boneka di ruang tamu terkejut melihat Nayya muncul di balik pintu. Gadis kecil itu sampai terdiam beberapa saat sebelum menghambur memeluk Nayya. “Kenapa reaksinya begitu, kaget yang dek?” sapa Nayya sambil memeluk Nilam. “Iya, Kak. Nilam kangen banget sama kak Nayya, hu..hu…” Nilam memeluk erat Nayya sambil menangis tersedu. Tampaknya anak itu benar-benar terharu melihat Nayya. “Cup..cup sayang, udah ya, jangan nangis lagi. Kakak kan uda datang, jadi Nilam haru menyambut Kakak dengan ceria dong. Masa nyambutnya pake air mata begini,” ucap Nayya pura-pura sedih. Gadis kecil itu langsung mengentikan tangisnya dan memeluk Nayya sekali lagi. “Oke, Nilam sudah tidak menangis lagi, liat Kak, sudah tidak ada air mata lagi kan?” ucap Nilam sambil tersenyum. Gadis kecil itu terlihat sangat imut di mata Nayya. “Nah gitu dong. Duh, kamu ini, lucu sekali sih, dek. Yuk kita masuk, mama ada di dalam kan?” ucap Nayya sambil menuntun Nilam ke dalam. “Iya, mama di taman lagi petik buah labu. Tahu gak, Kak. Mama hari ini mau bikin kolak labu.” “Oh ya? asyik dong. Kalau begitu Kakak juga mau coba.” “Iya, Kakak harus coba…” Mereka berbincang sambil terus berjalan melewati ruang tengah menuju taman belakang rumah. “Mama..Mama…. lihat siapa yang datang…!” seru Nilam dengan girang, ia bahkan meloncat-loncat membuat anak-anak yang lain mengikutinya. Mereka semua bahagia Nayya datang ke rumah. Nura yang sedang duduk membersihkan rumput liar di tanaman labu miliknya tersenyum dan berdiri. Nayya menghampiri ibunya dan memeluknya dengan hangat. “Ibu apa kabar?” sapa Nayya sambil terus memeluk sang ibu. “Baik sayang, kamu sendiri bagiamana? Kamu datang sendiri atau…” “Aku sendiri, Ma, dan aku berencana untuk tinggal di sini,” ungkap Nayya dengan wajah murung. Nura yang memperhatikan putrinya merasa jika Nayya punya masalah. Ia tersenyum dan mengangguk. “Iya, sayang. Mama senang, kau akhirnya kembali ke rumah.” “Kakak mau tinggal di sini?! Kaka beneran tidak akan pergi ke mana-mana lagi?!” Nilam menggapai tangan Nayya, memastikan jika apa ia dengar dari percakapan Nayya dan ibunya itu benar. “Iya, sayang, kakak akan tinggal dan bermain bersama kalian lagi, bagaimana, apa kalian setuju?” Nayya mengelus kepala Nilam dengan lembut. “Yeah… hore…!!! Kakak Nayya mau tinggal di sini lagi…!!” Nilam dan anak-anak yang lain melompat dan bersorak kegirangan. Nayya dan ibunya hanya tersenyum dan menggeleng kepala melihat tingkah lucu dan menggemaskan mereka. “Kau pasti capek, ayo masuk, Mama kebetulan sudah masak masakan kesukaanmu. Ternyata firasat Mama tadi pagi itu benar, Mama tiba-tiba saja ingin memasak semua masakan kesukaanmu, dan ternyata terbukti , kau datang, sayang,” tutur Nura. Nura hanya tersenyum simpul mendengarkan ucapan Ibunya. “Baiklah, Ma, ayo kita masuk,” ucap Nayya. “Anak-anak, Mama antar Kak Nayya masuk dulu, ya. Kalian kalau masih ingin main di taman, boleh tapi tapi jangan jauh-jauh,” pesan Nura kepada ank-anaknya. “Baik, Ma…” jawan mereka bersamaan. Keduanya pun masuk ke dalam dan duduk di ruang makan. Nura lalu menyajikan makan siang untuk putrinya, setelah itu Nayya menarik kursi dan mempersilakan ibunya untuk duduk. Nura menatap putrinya , Nayya terlihat tidak bersemangat dan pendiam. “Kau ada masalah, sayang?” tanya Nura. Nayya menggeleng. “Tidak apa-apa, Ma. Aku hanya kangen saja sama Mama, dan adik-adikku juga,” jawab Nayya berbohong. “Tuan Riftan tahu kan, kalau pulang ke rumah?” tanya Nura. Nayya terdiam, ia tidak menjawab. Nura semakin yakin kalau putrinya ini menyembunyikan sesuatu. Nura menyentuh tangan Nayya dan tersenyum. “Ya sudah, kau makanlah dulu setelah itu masuk kamar dan istirahat, ya sayang?” Nayya mengangguk dan memulai menyantap makannya. Nura melihat putrinya itu tidak makan dengan lahap seperti biasa, padahal jika Nura memasak makanan kesukaan Nayya, wajah Nayya pasti berbinar dan makannya lahap sekali. Ia hanya berharap Nayya tidak memendamnya terlalu lama dan akan menceritakan masalah yang mengganggu hatinya itu kepadanya. Setelah makan, Nura menyuruh Nayya untu beristirahat, padahal ia ingin bermain-main dulu dengan adik-adiknya, tapi Nura tidak mengizinkan. Nayya membuka kamar lamanya dan melangkah menuju kasur. Kamarnya sangat bersih, pasti ibunya selalu merapikan kamarnya ini setiap hari. Ia senang bisa kembali ke rumah dan merasakan kehangatan kamarnya lagi. Ia merebahkan tubuhnya, dan memejamkan mata. Akan tetapi, ia sangat terkejut saat tanpa sadar ia melihat bayangan Riftan melintas. Ia bangkit dari rebahnya dan menatap sekeliling. Tidak ada satu orang pun. Ia pasti berhalusinasi. Mana mungkin Riftan tiba-tiba muncul di kamarnya. Nayya menghela nafas lalu kembali merebahkan tubuhnya, ia mungin benar-benar kelelahan dan membutuhkan istirahat. Ia pun mencoba melupakan semua hal yang mengganggu pikirannya dan memejamkan mata. “Kau benar-benar tidak pernah mendengarkan, aku , ya?” tiba-tiba suara Riftan terdengar jelas di telinga Nayya. Gadis itu tersentak, ia membuka mata dan terkejut melihat Riftan sudah berdiri di hadapannya dan menatap dengan tajam. “Ah…?! Ka…kau… kenapa tiba-tiba ada di sini?” ucap Nayya terbata karena syok. Ia bangkit dari rebahnya dan beringsut ke sudut ranjang. Riftan kemudian menghampiri dan menatap dengan mata merah yang tersorot tajam seakan ingin melahap Nayya. “Hukuman apa yang cocok untuk seorang pembangkang sepertimu, hmm?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD