Perasaan

1326 Words
Asyaq terkejut, ia melihat Nilam berlari keluar ruangan. “Ah Carol, sebentar, ya,” ucap Asyaq lalu melangkah keluar ruangan menyusul Nilam. Begitu sampai di luar, Asyaq berjalan menuju kursi taman karena ia tahu Nilam ada di sana. Ternyata benar, Nilam sedang duduk sendiri dengan wajah murung. Asyaq berjalan menghampiri Nilam yang duduk menatap kosong ke arah taman. “Nilam…” panggilnya dengan lembut. Nilam menoleh dan menatap Asyaq dengan wajah cemberut. “Ada apa? kenapa tiba-tiba kau pergi dan bilang kalau kau membenci paman?” tanya Asyaq sambil tersenyum. “Kenapa paman akrab sekali dengan Carol?” tanya Nilam, bibirnya yang kecil dimajukan. Ia terlihat sangat imut saat marah seperti itu. “Memangnya kenapa kalau paman akrab dengan Carol, Nilam tidak suka?” Asyaq bertanya, ia menatap wajah imut Nilam yang menggemaskan. Entah kenapa, ia sangat senang bisa melihat Nilam dan bersamanya seperti sekarang. “Nilam tidak suka kalau Carol dekat-dekat paman, dia itu suka sekali sama Paman. Di sekolah, dia selalu bilang kalau besar nanti, dia akan menikah dengan idolanya yaitu paman. Aku tidak suka mendengarnya, Paman. Paman, kan temanku. Kalau nanti Carol menikah dengan paman, Paman akan berteman dengan Carol dan melupakanku, aku tidak mau kalau paman lupa padaku.” Nilam menceritakan uneg-uneg dengan kepolosannya. Mendengar ucapan Nilam, Asyaq tertawa. Ia lalu mencubit hidung mungil Nilam dengan lembut. “Kau ini, masih kecil sudah pintar bilang nikah. Kalian itu belum boleh membicarakan tentang pernikahan, kalian harus banyak belajar dulu sampai menjadi dewasa,” tegur Asyaq. “Tapi bukan aku yang bilang, Paman. Carol yang bilang begitu,” sanggah Nilam. Wajahnya semakin cemeberut. “Iya, Paman percaya, kok dengan Nilam. Begini saja, Paman akan tetap menjadi teman Nilam selamanya, Paman tidak akan melupakan Nilam, bagaimana, apa Nilam senang?” Nilam tidak menjawab, ia hanya menatap Asyaq dengan tatapan mata bulatnya yang berbinar. Kemudian gadis kecil itu tersenyum. “Benarkah, paman Asyaq mau menjadi teman Nilam untuk selamanya? Paman mau berjanji kepada Nilam?” tanya Nilam meyakinkan dirinya. “Iya, Paman berjanji.” Asyaq mengangguk. “Kalau begitu Paman harus berjanji seperti ini.” Nilam mengangkat tangannya dan memajukan jari kelingkingnya ke hadapan Asyaq. “Paman harus bagiamana dengan jari kelingkingmu?” Asyaq bertanya dengan bingung. “Paman harus mengaitkan jari kelingking paman ke jariku, seperti ini.” Nilam memegang tangan Asyaq dan mengaitkan jari kelingking Asyaq ke jarinya. “Ini namanya pinky promise. Janji jari kelingking,” ucap Nilam sambil tersenyum senang. “Janji jari kelingking? Dari mana kau bisa tahu ada janji seperti ini?” tanya Asyaq. “Dari Damar, dia selalu mengajari banyak sekali permainan. Dia mengajariku janji jari kelingking. Kata Damar, kalau kita sudah berjanji dengan jari kelingking masing-masing, maka salah satu diantara kita akan sakit kalau mengingkari janji itu,” ucap Nilam. “Oh begitu, ya. Baiklah, aku tidak akan mengingkari janji kelingking kita. Aku kan takut sakit,” ucap Asyaq. Nilam hanya tersenyum. “Jadi, Damar pernah berjanji apa kepadamu?” Asyaq rupanya penasaran dengan anak laki-laki yang tinggal bersama Nilam. “Oh, Damar. Kami sudah berjanji macam-macam, Paman.” Misalnya janji apa?” Asyaq semakin penasaran. “Damar berjanji kalau dia akan terus melindungiku, dan tidak membiarkan ada orang yang menggangguku. Nah, itu dia. Damar…!” Asyaq tersentak karena anak laki-laki yang mereka bicarakan melangkah ke arah mereka. Mendengar teriakan Nilam, anak laki-laki itu pun berlari kecil menuju ke arah mereka. “Kamu ke mana saja, Nilam? Aku cari-cari dari tadi,” tanya anak laki-laki itu lalu menatap Asyaq dengan tatapan selidik. “Aku dari tadi di sini bersama Paman Asyaq. Ayo, kita main di sini saja dengan paman Asyaq,” ucap Nilam mengajak. Anak laki-laki yang berumur sekitar 12 tahun itu menatap Asyaq dengan tatapan tidak suka. “Tidak Nilam, sebaiknya kita masuk ke dalam saja. Mama sama papa menunggu kita. Sebentar lagi kan kita pulang,” ucap anak laki-laki itu. “Tapi kan aku masih mau ngobrol dengan paman Asyaq, aku di sini sebentar lagi, ya?” rengek Nilam. Damar tidak menjawab, ia hanya menatap tajam ke arah Asyaq yang juga menatapnya. “Kamu jangan mudah percaya dengan orang lain, kamu kan belum lama kenal dengan orang ini. Jadi tidak boleh terlalu dekat. Ingat kan, dengan apa yang mama selalu bilang, kalau kita tidak boleh akrab dengan orang asing,” ucap Damar menyindir. “Tapi, kan paman bukan orang asing, paman sangat baik kepada Nilam.” Gadis kecil itu masih membela Asyaq. “Nilam, apa yang dikatakan Damar benar, kok. Sebaiknya Nilam masuk ke dalam. Nanti mama dan papamu khawatir mencarimu.” Asyaq akhirnya membujuk Nilam untuk ikut dengan Damar karena ia tahu kalau anak laki-laki yang berada di hadapannya ini tidak menyukai dirinya. “Baiklah, kalau begitu. Tapi kapan lagi paman akan menemui Nilam?” tanya Nilam penuh harap. “Hm, kalau Nilam menyebut nama Paman, pasti paman akan datang,” ucap Asyaq sambil tersenyum. “Wah benarkah? Jadi kalau Nilam memanggil nama Paman, Paman akan muncul di hadapan Nilam?” Nilam kembali bertanya. Mata berbinar indah. “Iya, kalau Nilam menyebut nama Paman, saat itu juga Paman akan muncul di hadapanmu. Tapi, paman hanya akan muncul kalau Nilam lagi tidak bersama siapa-siapa. Jadi kalau ada orang lain di samping Nilam, paman tidak bisa muncul begitu saja, kau mengerti, kan,” ucap Asyaq. “Bilang saja Paman bohong! Aku beritahu, paman tidak bisa berjanji seperti itu kepada Nilam. Mana mungkin orang bisa muncul begitu saja hanya dengan memanggil namanya. Memangnya orang itu bisa mendengar panggilan dengan jarak yang sangat jauh? Jadi jangan membohongi anak kecil,l. Mentang-mentang Nilam masih tidak tahu apa-apa, Paman dengan seenaknya berbohong kepadanya. Ayo Nilam, jangan percaya paman itu, dia pasti berbohong kepadamu!” sanggah Damar yang sejak tadi mendengar percakapan mereka dengan raut wajah kesal. Damar pun menarik tangan Nilam untuk meninggalkan tempat itu. Asyaq masih bisa melihat tatapan sedih Nilam karena harus berpisah dengannya. Sampai sekarang Asyaq belum bisa mengerti, kenapa setiap kali melihat Nilam, hatinya tenang dan setiap kali mereka berpisah seperti ini, hatinya kembali resah. Ia menghela nafas dalam lalu beranjak dari tempatnya. Asyaq mencari-cari keberadaan Nilam di dalam ruangan tapi ia tidak bisa menemukannya lagi. Baunya pun sudah tidak ada, sepertinya Nilam sudah pulang. Asyaq pun berpamitan dengan ayah dari Carol. “Terima kasih atas jamuannya, kalau begitu saya pamit,” ucap Asyaq kepada prajuritnya itu. “Saya yang merasa sangat berterima kasih kepada Tuan karena Anda berkenan menghadiri acara ulang tahun putri saya dan memberinya kebahagiaan dengan kehadiran Anda ini, Tuan. Terima kasih banyak, Tuan,” ucap sang prajurit sambil membungkuk hormat. “Sudahlah, jangan berlebihan, sampaikan salamku kepada putrimu, aku pergi,” ucap Asyaq lalu melangkah meninggalkan tempat itu. “Pamaaaaan…!! Tunggu…! Aw…” Carol berlari mengejar Asyaq saat tahu kalau idolanya itu sudah mau pergi meninggalkan pesta. Tapi tiba-tiba kakinya tersandung dan terjatuh. Darah keluar dari lututnya. Asyaq yang melihatnya dengan cepat melompat dan menolong Carol. “Kenapa kau berlari seperti itu? lihat, kau terluka,” ucap Asyaq sambil menggendong Carol menuju sofa. Sang ayah dengan cepat mengambil minyak untuk menghentikan darahnya yang mengalir. Tapi baru saja ia hendak memberikan minyak itu kepada Asyaq, ia terkejut saat tuannya itu tanpa rasa jijik sedikitpun menjilat luka putrinya hingga lukanya mengering dan pulih. “Nah. Sudah sembuh. Lain kali kau harus hati-hati, ya. Paman pergi dulu…” ucap Asyaq lalu beranjak tapi dengan cepat Carol menahan tangannya. “Paman terima kasih, kau sangat a baik. Aku semakin menyukai Paman,” ucap carol. “Carol, kau sangat tidak sopan mengatakan itu, nak..!” tegur sang ayah. “Tidak apa. Sama –sama Carol. Kau harus rajin belajar supaya tumbuh menjadi gadis dewasa yang cerdas. Kau mau berjanji padaku, kan?” ucap Asyaq. “I..iya, paman. Aku akan tumbuh menjadi gadis yang akan membuat paman bangga.” “Bagus, kalau begitu, aku pergi dulu,” ucap Asyaq lalu melompat dan terbang meninggalkan tempat itu. Carol masih menatap langit seakan tidak ingin bayangan Asya terlewat begitu saja. “Ayah, jika besar nanti, aku ingin hidup bersama paman Asyaq.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD