Kabur

1139 Words
“Apa?!” “Ayah dengar dengan jelas, tapi kalau Ayah ingin mendengarkan lagi, baiklah. Akan aku ulangi,”ucap Carol. “Aku ingin hidup dengan paman Asyaq, jika aku sudah cukup dewasa untuknya, Ayah,” ucap Carol. Tidak, nak! itu tidak akan terjadi. kau tidak akan bisa menyentuh hati tuan Asyaq karena dia sudah memiliki seseorang yang ia cintai,” ucap sang Ayah tidak setuju dengan ucapan putrinya itu. Paman sudah punya seseorang yang dia cintai? Tapi bukankah dia juga menyukaiku? Buktinya dia langsung menolongku dan menjilat lukaku, Ayah. Dia itu juga menyukaiku,” Carol bersikeras dalam ucapannya. “Tidak sayang, kau salah paham. Dia melakukan itu bukan karena dia menyukaimu, tuan Asyaq orang yang sangat baik dan peduli, makanya dia melakukan itu. Jadi Ayah minta, kau jangan pernah berpikir untuk menjadi teman atau menyukai tuan Asyaq. Ayah membawanya datang ke rumah kita dan menghadiri pesta ulang tahunmu karena Ayah pikir kau akan bahaigian dan akan memenuhi janjimu untuk belajar giat, jangan buat ayah menyesali apa yang Ayah lakukan ini, sayang. Kau mengerti, kan?” ucap ayahnya memberi peringatan kepada putri kesayangannya itu. Carol hanya tertunduk sedih, ia sama sekali tidak akan mendengarkan apapun ucapan dan peringatan ayahnya jika itu menyangkut untuk memisahkannya dengan Asyaq. Karena di dalam perasaannya yang masih polos itu, Asyaq sudah berada di dalamnya. “Baiklah, Ayah keluar dulu, orang-orang pasti mencari Ayah. Kalau kau sudah baikan, kau juga bisa keluar atau sebaiknya istirahat saja di kamar,” ucap sang ayah lalu pergi meninggalkan Carol yang masih terdiam. Ia membayangkan bagiamana lembutnya perlakuan Asyaq padanya, bayangan pria tampan dan baik yang sering memenuhi benaknya saat sang Ayah bercerita tentang Asyaq padanya ternyata semua itu benar. Ia bahkan lebih dari semua bayangannya Asyaq bahkan bukan hanya pria tampan saja, tapi juga ia sangat lembut. “Paman Asyaq, tunggu aku tumbuh dewasa, aku berjanji akan membuatmu menyukaiku juga,” gumannya sambil meremas bantal menahan semua gejolak perasaanya. Malam telah tiba, Nayya terlihat gelisah. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Sebentar lagi Riftan akan datang dan meminta keputusan apa yang ia ambil. Masih ada satu jam lagi untuk Riftan datang ke kamarnya dan dia tidak bisa membayangkan jika Riftan benar-benar melakukan ancamannya. Ia terus menatap pintu dengan gelisah. “Ke mana Sonia? kenapa belum datang juga? padahal dia sudah berjanji untuk datang cepat,” gerutunya tidak sabaran. Tiba-tiba pintu di ketuk, ia berlari membuka pintu dan melihat Sonia tersenyum “Kenapa kau lama sekali? ayo masuk!” Nayya menarik tangan Sonia dan kembali mengunci pintu. “Duh, kau ini tidak sabaran sekali sih,” ucap Sonia. “Bagaimana aku bisa tidak sabaran, Riftan sebentar lagi akan datang dan aku harus melakukan apa yang kita rencanakan tadi,” ucap Nayya. Sonia tidak menjawab, ia menjadi ragu dan takut. “Nayya, apakah kau benar-benar ingin kabur? Bagiamana kalau Riftan mencarimu?” tanya Sonia Nayya menghela nafas dalam. “Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, aku tidak ingin melepaskan janin yang ada dalam kandunganku ini, terlepas dari alasan aku ingin hidup bersama Riftan, aku memilih untuk mempertahankan janinku. Aku tahu jika aku kabur, kau juga akan terseret dan kau akan mendapatkan masalah besar. Tapi hanya kau yang bisa aku andalkan untuk rencanaku ini. Sekarang ini sumber kebahagiaanku sekarang adalah sesuatu yang ada di perutku ini, aku tidak ingin Riftan mengambil sumber kebahagiaanku,” ucap Nayya dengan wajah sedih. “Aku juga sebenarnya tidak ada harapan lagi, aku sudah tahu pasti akan seperti apa reaksi Reno setelah mengetahui perut yang membesar ini. Reno pasti tidak akan memaafkanku dan akan berpaling kepada perempuan yang selalu ada dalam mimpinya itu. Jadi aku juga berpikir untuk kabir saja. Kita pergi dari tempat ini bersama-sama untuk melindungi janin kita, sekipun pada saatnya nanti kita akan mati karena melahirkan anak ini, tapi setidaknya kita tidak meihat wajah-wajah dingin dan tidak suka pasangan kita. Ayo Nayya kita pergi dari sini,” ucap Sonia sambil berdiri dari tempatnya. “Apa kau yakin, Sonia?”tanya Nayya, matanya berkaca-kaca. Ia merasa sangat bahagia mendapatkan sahabat seperti Sonia. “IYa, aku sangat yakin. Kita akan hidup berdua dan melahirkan anak ini. Jika pasangan kita tidak ingin melihat anak kita, kita akan membesarkannya bersama-sama,” ucap Sonia penuh antusias. “Terima kasih banyak karena kau mau menemaniku, ucap nayya sambil menitikkan air mata. “Ini bukan apa-apa Nayya. sebaiknya kita bergegas sebelum tuan Riftan benar-benar masu ke dalam kamar ini,” ucap Sonia sambil membantu Nayya bersiap-siap. “Baiklah kalau begitu, ayo!” ucap Nayya sambil mengangkat sebuah tas di tangannya. “Hah?! apa yang kau bawa itu? “Tas…” “Apa? buat apa kau membawa tas seberat itu jika ingin kabur? Yang adabkita kan ketahuan bahkan sebelum kita keluar dari pintu kamar ini,”ucap Sonia, ia sangat gregetan melihat tampang polos Nayya. “ Jadi bagiamana?” Nayya kebingungan. Kalau tidak membawa pakaian bagiamana dia akan beraktifitas dengan normal nanti? “Hei apa yang kau pikirkan? Ayo tinggalkan saja tas itu dan kita pergi dari sini,” ucap Sonia sambil menarik lengan Nayya untuk keluar dari kamar. “Tapi Sonia, bagaimana kalau aku mau ganti pakaian?” nayya masih memikirkan tentang tas bawaannya. “Kita bisa beli lagi di luar sana. Aku ada sedikit tabungan. Kalau kau tidak punya uang, nanti aku yang akan membeli pakaian untukmu. ‘’Oh, aku juga punya punya uang , aku tidak yakin berapa jumlahnya tapi mungkin akan cukup untuk biaya sehari hari kita,” ucap Nayya. “Bagus kalau begitu, sebaiknya kita cepat-cepat meningglakan tepat ini,” Keduanya pun mengendap keluar dari kamar. “SSttt jangan berisik, pangawalmu berjaga di ujung sana. Jadi kita bisa mengambil jalan pintas. Ayo,” ucap Sonia sambil membawa Nayya memasuki sebuah pintu. Sementara itu di kamar, Riftan terlihat sedang sibuk di depan laptopnya sambil sesekali melihat jam di tangannya. Tidak lama,ia menghentikan pekerjaannya dan masuk ke dalam kamar mandi. Setelah itu ia keluar dari kamar mandi dengan rambut yan basah. Dan tubuh yang segar. Malam ini ia harus mempersiapkan semuanya. Ia harus membujuk Nayya sekali lagi untuk meminum cairan itu, tapi jika ternyata ia masih tetap mempertahankan keinginannya itu, ia benar-benar akan menyesalinya. Tapi tiba-tiba dadanya berdegup berdebar. “Kenapa aku berdebar seperti ini? apa Nayya sebegitu takutnya hingga aku bisa merasakan debaran jantungnya? Ini bagus, teruslah takut seperti itu, Nayya. karena sebentar lagi kau akan mendapatkan sesuatu yang akan membuatmu menyesali keputusanmu.” Riftan tersenyum-senyum membayangkan bagiamana wajah gadis polosnya itu akan memohon padanya nanti. Setelah memakai jubahnya, ia melangkah menuju kamar Nayya. Begitu sampai di depan pintu kamar, ia merasa sangat aneh. “Kenapa bau Nayya tidak ada di kamar ini? Ke mana perginya?” Riftan dengan cepat membuka pintu, ia pun sangat terkejut melihat ruangan kamar kosong. Ia semakin terkejut saat melihat sebuah tas yang tergeletak begitu saja di lantai?” “Naya….!” Riftan berteriak memanggil tapi tidak ada jawaban. Ia mulai panik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD