Sembuh

1203 Words
“Nayya, kau sudah bangun?!” Sonia dengan cepat menghampiri Nayya. Nayya terlihat kebingungan, ia menatap sekeliling, heran kenapa ia bisa berada di ruang kesehatan. Nayya menatap Sonia yang juga menatapnya dengan sedih. “Bagiamana perasaanmu? Apa dadamu masih sakit?” tanya Sonia khawatir. Nayya menggeleng, ia tidak merasakan sakit lagi. Tubuhnya juga terasa segar, ia mencoba mengingat-ingat kejadian terakhir kali. Saat itu memang ia sempat merasakan sakit yang teramat sangat di bagian dadanya sampai-sampai ia merasa akan mati saking sakitnya. Tapi sekarang, sakit itu sama sekali tidak terasa lagi. “Oh, syukurlah kalau begitu, aku tadi sempat panik. Oh ya, kata dokter kau harus ke rumah sakit memeriksakan kondisimu,” ucap Sonia memberi tahu. Nayya bangkit dan turun dari tempat tidur, Sonia segera membantu sahabatnya itu. “Kau mau ke mana? Istirahat saja dulu di sini. Kalau sudah merasa baik, baru kita pulang,” saran Sonia menahan langkah Nayya . “Enggak, aku sudah merasa baikan, kok. Aku gak mau berlama-lama di sini,” tolak Nayya sambil terus melangkah. “Tapi kau kan masih lemah, Nayya. Bagaimana kalau kau kesakitan lagi?” Sonia masih berusaha mencegah Nayya keluar dari ruangan itu, tapi Nayya yang keras kepala tetap bersikeras ingin keluar, terpaksa Sonia mengalah. Begitu sampai di luar, Nayya terkejut melihat ada banyak orang. Ia menatap bingung. “Bagaimana keadaanmu?” salah satu dari mereka bertanya. “Sudah lebih baik,” sahutnya sambil tersenyum. “Oh, syukurlah.” Nayya melihat mereka semua tersenyum dan bernafas lega. “Terima kasih ya sudah mengantar Nayya ke mari. Sekarang kami mau pulang dulu, Nayya harus istirahat.” Ucap Sonia lalu berjalan sambil memegang tangan Nayya meninggalkan tempat itu. Riftan menatap keduanya dari jauh, perasaannya sudah sedikit lebih baik melihat Nayya sudah bisa kembali seperti semula. Ia jadi berpikir, kenapa Nayya bisa merasakan dampak dampak dari reaksi tubuhnya? apakah karena ia adalah reinkarnasi Adelia? Tiba-tiba dadanya terasa nyeri, ia melihat tanda bintang yang ada di dadanya itu mengeluarkan cahaya kuning. Ini tidak baik, semakin lama kekuatannya semakin menurun. Ia bahkan tidak mampu lagi berteleportasi dari tempatnya ke tempat yang ia akan tuju. Ia seperti mahluk biasa tanpa kekuatan apa-apa. Satu-satunya kekuatan yang tersisa sekarang hanyalah hawa panas yang akan keluar setiap kali ia sedang marah. Ia benar-benar membutuhkan darah Nayya secepatnya. Riftan berjalan masuk ke ruangannya, Pengawal yang ia tinggalkan tergeletak begitu saja di lantai sudah kembali berdiri tegap berjaga di depan ruangan. Ia tersenyum ke arah pengawalnya itu, sedang sang pengawal hanya menundukkan kepalanya penuh hormat. Riftan masuk dan berjalan ke arah kursi peraknya. Ia terdiam, memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk mendapatkan darah Nayya secepatnya. Apakah ia harus memaksa gadis itu? atau ia harus membuat Nayya kehilangan kesadaran lalu mencuri darahnya? Ia benar-benar tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Tanda bintangnya harus kembali kembali bersinar biru, ia harus mendapatkan kekuatannya kembali sebelum musuh menyadari kelemahannya. Riftan bangkit dari duduknya berjalan ke arah jendela dan menatap keluar. Keningnya berkerut saat melihat Nayya, Sonia dan pria itu terlihat sedang berbincang. Sayangnya, karena jarak yang terlalu jauh, ia tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Tapi melihat gerak-gerik mereka, sepertinya pria itu menawarkan tumpangan dan sialnya, Nayya mengangguk setuju. Hati Riftan kembali panas, darahnya kembali berdesir. Tapi kali ini ia berusaha untuk menekan emosinya, ia tidak ingin lepas kendali dan malah mengorbankan Asyaq. Pengawalnya itu baru saja pulih, ia akan mati kehabisan darah jika Riftan kembali kehilangan kontrol. Meskipun Asyaq bahkan tidak peduli dengan nyawanya sendiri, tapi Riftan sangat peduli padanya. Riftan mengatur nafasnya, menghela perlahan dan menghembuskan dengan pelan. Begitu seterusnya sampai emosinya kembali stabil. Meskipun Riftan sama sekali tidak menyukai situasi itu, ia tetap harus melakukannya. Riftan keluar dari ruangannya. *** “Ayo masuk ke mobil, kita berangkat sekarang saja,” ajak Reno. Ia tidak berhenti merasa bersalah karena baru mengetahui jika Nayya baru saja mendapatkan musibah dan ia tidak mendapatkan kesempatan menolongnya. Ia benar-benar sangat menyesal. Nayya dan Sonia mengangguk setuju, akan tetapi baru saja mereka akan melangkah masuk ke mobil, tiba-tiba suara Riftan terdengar. “Sonia…!” ketiganya menoleh bersamaan tepat setelah mendengar nama Sonia di sebut. Tentu saja mereka terkejut. “Namamu Sonia, kan?” Riftan yang berdiri tidak jauh dari mereka berdiri tidak jauh dari mereka. Sonia yang merasa di sebut namanya bereaksi. “Sa..saya, Pak?” tanyanya heran. “Iya, namamu Sonia, kan?” Riftan mengulang ucapannya. Sonia mengangguk. “Bisa kita bicara sebentar?” ucap Riftan sambil mengerling ke arah Nayya yang menatapnya penuh selidik. “Ah, se..sekarang, Pak?” Sonia masih belum yakin dengan pendengarannya. Ia tidak percaya dengan apa yang di alaminya. Ada apa gerangan? kenapa seorang dosen super tampan tiba-tiba ingin mengajaknya bicara. Tentu saja ia senang bukan main. “Iya, sekarang juga. Bisa?” “Bi..bisa, Pak.” “Baik, kalau begitu ikut aku,” ucap Riftan lalu melangkah pergi. Sonia yang masih di selimuti kebingungan menoleh ke arah ke dua temannya. “Kalian tunggu di sana, aku akan segera kembali,” ucapnya sambil tersenyum penuh arti, lalu menyusul Riftan yang sudah berjalan lebih dulu. Nayya menatap sahabatnya yang sudah berjalan menjauh, ia mendengus. “Dasar centil…!” gerutunya sedikit kesal. Reno menoleh ke arahnya lalu tersenyum. “Kelihatannya, Sonia suka dengan dosen baru itu,” sahut Reno sambil menatap Nayya. “Ah, dia itu selalu suka sama siapa pun yang menurutnya tampan,” ucap Nayya. “Menurutmu, dosen baru itu tampan?” tanya Reno Nayya menatap Reno dan tersenyum. “Menurutmu?” Nayya balik bertanya. “Loh, kok balik nanya? Aku minta pendapatmu?” “Aku tidak menilai dosen itu tampan, justru aku merasa dia itu misterius. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa sangat tidak nyaman berada di sekitarnya.” Jelita mengungkapkan isi hatinya. Mendengar itu Reno terlihat bernafas lega, ia tersenyum. “Kenapa kau senyum-senyum begitu?” tanya Nayya. “Aku merasa sangat lega sekarang, setidaknya aku tidak perlu khawatir dengan dosen itu lagi,” jawab Reno. “Memangnya apa yang kau khawatirkan?” Reno menatap tepat ke arah kedua mata indah Nayya. “Aku tidak perlu takut kalau kau akan menyukai dosen itu. Aku khawatir jika suatu saat kau tidak akan duduk di sampingku lagi seperti ini, takut jika kau akan pergi,” ucapnya sambil menatap wajah cantik Nayya. Nayya terdiam menatap binar penuh harap di wajah Reno. “Pfftt..bua..ha…ha…ha…!!!” Nayya terbahak-bahak. Ia sampai memegangi perutnya karena tertawa. “Kenapa tertawa begitu, apakah yang aku katakan itu lucu?” Reno jadi salah tingkah. Awalnya ia berpikir Nayya akan terbawa suasana dan menganggu sembari menunduk tersipu merespon ungkapan hatinya, tapi tidak di sangka, gadis itu malah menertawakannya. “Maaf…maaf, tapi aku benar-benar yang kau katakan itu lucu. Aduh.. aduh perutku…” ringis Nayya sambil memegangi perutnya. “Ah lupakan saja, kau memang tidak pernah menganggapku serius,” ucap Reno, wajahnya menjadi murung. Nayya menjadi merasa bersalah. “Maaf, deh. Lain kali aku akan mendengarkanmu. Aku janji, tapi kau jangan bicara puitis seperti itu lagi, ya. Aku malah jadi teringat dialog di dalam novelku. He..he…” Nayya kembali terkekeh tapi dengan cepat ia menutup mulutnya. “Maaf..” Reno hanya meliriknya sebentar dan mengangguk. Tidak lama kemudian, Sonia terlihat dari kejauhan berjalan ke arah mereka. Ia terlihat berjalan dengan gontai. Begitu sampai, Sonia menatap Nayya sebentar lalu memintanya untuk turun dari mobil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD