Panas

1055 Words
Riftan yang terus mengamati perbincangan antara Nayya dan pria itu semakin murka. Apalagi saat mengetahui jika Nayya juga menyimpan perasaan yang sama dengan pria itu. Hatinya patah, ia merasa sangat marah sekaligus kesakitan. Tidak ingin menarik perhatian orang-orang dengan perubahan suhu dan aura panas yang tubuhnya keluarkan, Riftan bergegas meninggalkan tempatnya berada dan memasuki ruangan pribadinya. Nafasnya masih memburu, ia berusaha meredan kemarahannya. Namun, rasa sakit di hatinya membuat darahnya terus saja berdesir dan mengeluarkan hawa panas yang terasa membakar ruangan itu. Salah seorang pengawal kepercayaannya yang sedang berdiri menjaga tempat itu menyadari jika tuannya dalam masalah. Hawa panas yang terpancar dari dalam ruangan sebentar lagi akan menarik perhatian orang-orang. Ia tidak mengerti kenapa tuannya itu bisa mengalami hal itu setelah beratus-ratus tahun. Ia masih ingat saat suhu tubuh Riftan meningkat, semua pohon yang ada di sekitarnya hangus terbakar. Dan jika hal ini terus di biarkan, tentu saja akan menjadi masalah yang sangat serius. “Tuan..!” pengawal itu mendorong pintu ruangan Riftan dan masuk ke dalam. Ia bisa merasakan tangannya hampir melepuh karena panas. Raungan Riftan benar-benar sebentar lagi akan terbakar. “Tuan, tolong kendalikan emosimu!” ucapnya sambil bersikap siaga. Di waktu kritis seperti ini, emosi Riftan sangat tidak stabil. Ia bisa saja berubah menjadi makhluk buas yang tak berperasaan. Sehingga penting baginya untuk tetap waspada. Ia melihat Riftan duduk di atas kursi peraknya. Kursi yang awalnya berwarna silver itu kini berubah menjadi merah membara. Riftan menoleh ke arahnya dan menatapnya tajam. Warna hitam dari kornea matanya sudah berubah menjadi merah. “Tuan, aku mohon. Redakan kemarahanmu sekarang juga, bangunan ini akan hangus terbakar sebentar lagi jika kau terus membiarkan emosi menguasaimu,” pengawal itu bersimpuh di hadapan Riftan dan mengarahkan lengannya ke mulut Riftan. “Ini minumlah darahku,” ucapnya sembari tertunduk. “Kau selalu menjadi pengawalku yang penuh perhatian, Asyaq. Darahmu juga selalu membantuku meredam semua emosi yang menguasaiku. Kemarilah, aku butuh darahmu. Aku ingin menyembuhkan rasa sakit hati ini, aku benar-benar merasa sangat sakit dan lemah sekarang,” ucap Riftan dengan suara lemah. Asyaq memajukan tubuhnya sehingga lengannya menyentuh mulut Riftan. Begitu lengan Asyak menyentuh mulut Riftan, seketika taring panjang Riftan keluar dan dengan hitungan detik, taring tajam itu sudah tertancap di lengan Asyaq. “Slurp…slurp…” Suara tegukan darah terdengar, seiring dengan derasnya darah yang keluar dari tubuh Asyaq akibat hisapan agresif Riftan. Semakin lama wajah Asyaq semakin pucat, hawa panas pun berangsur normal hingga tidak terasa lagi. Riftan melepas cengkeraman dari tubuh Asyaq, pria malang itu pun terkulai lemah tak sadarkan diri. Riftan menatap pengawalnya itu dengan seringai meninggalkannya begitu saja dan melangkah pergi. Sementara itu di saat yang sama, Nayya tampak begitu kesakitan. Ia bahkan terduduk di muka kelas sambil memegangi dadanya. “Nayya, kau kemana, hah? ke..kenapa kau tiba-tiba kesakitan seperti ini?” Sonia semakin panik. Orang –orang sudah berkerumun di sekitar mereka menatap dengan tatapan bingung. “Kenapa kalian diam saja, tolong Nayya.” Teriak Sonia histeris. Beberapa di antara mereka pun dengan cepat berlari meninggalkan tempat itu dan kembali membawa tandu. Nayya lalu di bawa ke ruang kesehatan untuk di berikan pertolongan pertama. Semua orang menuggu di luar, hanya Sonia yang di perbolehkan ikut masuk ke dalam. “Bagaiman keadaannya, Dok?” tanya Sonia diliputi rasa khawatir. Ia baru pertama kali melihat sahabatnya itu kesakitan seperti ini. sepengetahuannya, nayya tidak memiliki riwayat penyakit tertentu sebelumnya. “Tekanan darahnya sudah mulai normal, kelihatannya tidak ada kondisi serius. Semuanya baik-baik saja. Tapi saya masih belum bisa memastikan. Perlu pemeriksaan lebih lanjut jika ingin mengetahui secara pasti kondisinya.” Dokter memberikan penjelasan. “Maksud dokter, Nayya harus ke rumah sakit, begitu?” tanya Sonia lagi. “Iya, jika ingin memastikan penyebab rasa sakit di dadanya itu. kemungkinan penyebabnya karena jantung atau infeksi paru-paru dan semacamnya. Saya belum bisa menyimpulkan secara pasti,” ucap dokter wanita itu lagi. Sonia menatap Nayya yang tertidur pulas, nafasnya masih terdengar tidak teratur, keningnya yang berkerut menandakan kalau sahabatnya itu masih merasakan kesakitan bahkan saat dalam kondisi tidur sekalipun. Sonia menitikkan air mata, ia merasa sedih melihat sahabat yang begitu ia sayangi terkulai lemas tak berdaya. “Jangan khawatir, saya sudah resepkan obat mereda nyeri untuk sementara waktu. Saya sarankan, besok Nayya harus ke rumah sakit untuk cek kondisi kesehatannya,” ucap sang Dokter. “Baik, terima kasih Dokter," ucap Sonia. Riftan berjalan dengan langkah panjang, ia bisa merasakan Nayya yang kesakitan. Ia tahu saat hawa panas keluar dari tubuhnya akibat rasa sakit dan emosi yang ia rasakan, Nayya juga akan merasakan dampaknya. Rasa sakit yang sama walau tidak separah yang Riftan rasakan. Hanya saja, jika rasa sakit itu di biarkan, akan membuat energi tubuh Nayya habis. Riftan tahu obat dokter jenis apa pun tidak akan bisa menyembuhkan rasa sakit itu, karena pengaruhnya bukan pada fisik Nayya, melainkan pada mental dan jiwanya. Tidak mempedulikan orang-orang yang berkerumun di depan ruangan UKS, Riftan menerobos dan memasuki ruangan. Sonia tentu saja terkejut bukan main melihat Riftan, dosennya tiba-tiba masuk dan menghampiri Nayya yang sedang tertidur. “P..Pak Riftan? Kenapa Bapak kemari?” tanya Sonia bingung. Riftan tidak menjawab, ia hanya menatap Sonia sekilas dan terus menghampiri Nayya. Riftan menyentuh puncak kepala Nayya dengan tangannya lalu mendekatkan wajahnya perlahan. “Apa yang Bapak lakukan…?!” bukan main terkejutnya Sonia saat Abizar tiba-tiba saja menempelkan bibirnya ke bibir Nayya. Ia ingin berteriak, mencegah apa yang Riftan lakukan pada sahabatnya itu, tapi suaranya tidak bisa keluar. Ia juga berusaha menggerakkan tangan dan kakinya tapi sama sekali tidak bisa di gerakkan. Ia ingin berteriak minta tolong, tapi lagi-lagi dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya ia hanya bisa menyaksikan kejadian itu dengan tatapan tidak percaya. Sonia tidak pernah membayangkan, Riftan akan berbuat kurang ajar pada sahabatnya itu. Bisa-bisanya seorang dosen yang di anggapnya terhormat itu tega berbuat tidak senonoh kepada mahasiswa yang sedang sakit tidak berdaya. Hanya air matanya yang keluar, mengutuk dirinya yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong sahabatnya. Setelah beberapa lama, Rifan melepas ciumannya di bibir Nayya dan kembali menyentuk puncak kepalanya. Sonia menyaksikan semua itu. Ia hanya bisa menggeleng tanpa mampu berbuat apa-apa. Riftan meninggalkan Nayya dan menghampiri Sonia. “Kau akan melupakan semua yang kau lihat,” ucap Riftan lalu keluar dari ruangan meninggalkan Sonia yang masih berdiri kebingungan. “Sonia…” suara lemah Nayya menyadarkan Sonia. “Nayya, kau sudah bangun?” Sonia bergegas menghampiri sahabatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD