Kebohongan

1091 Words
Kali ini Nayya benar-benar sudah tidak bsia menahannya lagi, hatinya benar sudah meleleh. Amarah dan kekecewaannya terhadap Riftan luruh dan mengalir begitu saja melihat pria tampan itu tampak begitu menyedihkan. Apakah sumudah itu ia meminta maf dengan mengandalkan wajah tampannya? Ini benar-benar tidak adil. Nayya beringsut dari tempat duduknya dan ikut duduk besimpuh di samping Riftan. Ia membingkai wajah tampan itu dan mengecup bibirnya sejenak, matanya berkaca-kaca. “Kau bisa dengan mudah mengambil hatiku dan mendapatkan maag begitu saja dariku dengan wajahmu ini, padahal aku benar-benar merasa kecewa dan sedih bahkan sampai sekarang. Tapi setelah melihatmu seperti ini, hatiku bahkan tidak bisa bertahan. Kau tahu kenapa? Karena aku sangat mencintaimu, aku bisa gila jika kehilanganmu, kau mengerti itu vampire jahat?!” Riftan memeluk Nayya dengan erat, ia benar-benar merasa bahagia telah mendapatkan maaf dari pasangan jiwanya. Nayya tidak tahu saja, dirinya akan jauh lebi hancur dan mungkin akan binasa jika Nayya tiada. “Terima kasih, Nayya. Aku juga sangat mencintaimu.” Mereka pun saling berpelukan, berciuman meluapkan kerinduan mereka dengan penuh kehangatan. Sementara itu, Gonzales terlihat duduk di sofa kegemarannya. Sebuah kursi besar yang berbentuk singgasana yang sengaja di buat khusus. Ia mengelus lembut bentuk kepala Naga yang ada di ujung lengan kursinya. Ia sedang memikirkan kekuatan cahaya biru yang melegenda itu ternyata sudah dikuasai oleh Riftan. Itu berarti jika ia hanya mengadalkan kekuatan biasa, bahkan jika di tambah dengan beribu pasukannya sekalipun, itu tidak akan ada apa-apanya. Riftan bahkan bisa menghanguskan seluruh wilayah kekuasaannya dengan kekuatannya itu seorang diri. Ia harus menemui seseorang untuk membantunya. Seseorang yang memiliki kekuatan untuk menandingi kekuatan biru itu. Seseorang yang mampu mengetahui kelemahan Riftan sehingga ia bisa menemukan celah yang tepat untuk melemahkan saingannya itu. Ia akan melakukan itu untuk kedua kalinya. Gonzales menyeringai membayangkan niatnya. Putri Adora tampak gelisah di kamarnya, ia mondar-mandir sejak tadi tanpa tahu apa yang harus ia lakukan. Sampai sekarang ia masih tidak berani keluar kamar dan menemui siapapaun kecuali Asoka. Tiba-tiba pintu diketuk, ia tersentak. Namun saat ia berpikir pasti hanya Asoka yang akan mengetuk pintu kamarnya, dengan cepat ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Namun, saat pintu terbuka, wajahnya berubah pucat pasi melihat siapa yang berdiri di hadapannya. “Ri…Riftan…!” ucapnya tergagap. Ia juga melihat Asoka yang berdiri kaku di belakang Riftan. “Apa aku bisa bicara denganmu?” tanya Riftan dengan wajah dinginnya. Putri tidak segera menajwab, ia melirik ke arah Asoka yang juga menatapnya. Asoka menganggukkan kepala memberi isyarat kepadanya agar mengiyakan Riftan. Ia lalu menatap Riftan yang masih berdiri menunggu jawabanya. “I..iya, bisa. Silakan masuk,” ucap putri Adora dengan gugup bercampur tegang. Ia benar-benar merasa takut berhadapan dengan Riftan sekarang, untunglah Asoka juga masuk sehingga kehadirannya bisa sedikit membuatnya merasa tenang. Riftan duduk di sofa diikuti oleh Asoka, putri Adora berusaha bersikap normal seakan kunjungan Riftan hanya kunjungan biasa mengingat ia dan Riftan adalah pasangan, meskipun awalnya ia sudah memperlihtkan sikap tegangnya. “Kau baru datang lagi kemari setelah sekian lama, Riftan.” ucap putri berbasa –basi berusaha bersikap normal. “Aku datang kemari karena ada hal penting yang ingin aku tanyakan. Meskipun aku sudah tahu jawabannya tapi aku ingin mendengar sendiri dari mulutmu,” ucap Riftan. “Kau mau menanyakan apa?” tanya putri Adora. “Apa benar kau sudah menjebak Nayya sampai ia tertangkap oleh Gonzales?” tanya Riftan. “Riftan, aku tidak percaya kau bisa memfitnahku seperti itu. Padahal kau tahu kan kalau aku menyukaimu. Aku juga tahu kalau Nayya adalah sumber makanan yang sangta penting untukmu. Apakah aku berani mencelakai sesuatu hal yang berharga untukmu? Kau pikir buat apa aku tetap berada di sini kalau bukan untuk merebut kepercaanmu. Aku bahkan rela meninggalkan segala kemewahan hidup di istana hanya karena mengharapakan kau juga memiliki rasa yang sama terhadapku. Aku tidak setega itu, Riftan.” Sangat tampak terlihat jelas Asoka tidak setuju terhadap apa yang dikatakan putri Adora. Ia menggeleng kecil tapi tampaknya putri Adora tidak menghiraukannya. Hatinya jadi terluka. Betapa pun ia berusaha untuk membela dan melakukan semuanya untuk putri Adora, pada kenyataannya, putri Adora masih sama sekali tidak menganggapnya. Mendengar sanggahan putri Adora, Riftan menghela nafas. Perempuan yang ada di hadapannya ini memang tidak pernah bia dipercaya. Ia masih saja berusaha menyangkal, padahal Riftan sudah memberinya peringatan jika ia menginginkan kejujurannya, meskipun begitu tetap saja ia menyanggah. “Kau mengharapkan apa dengan jawabanmu itu, putri Adora?”tanya Riftan. “Apa?” putri Adora terkejut. “Dengan jawabanmu itu apakah kau mengharapkan aku untuk mempercayaimu atau kau memiliki niat tersembunyi lain?”ucap Riftan memperjelas perkataannya. Putri Adora terdiam, ia menjadi serba salah dengan jawaban yang ia ungkapkan. Padahal sebelumnya ia sudah sangat yakin jika Riftan akan mempercayainya. Ia tidak menyangka respon Riftan akan semakin sinis. Jika sudah demikian, ia harus bertindak. Mungkin dengan ini Riftan akan luluh. Air matanya keluar, ia terisak. “Kau rupanya tidak pernah bisa mempercayaiku. Sejak awal aku ada di sini, aku sudah merasa kau memperlakukanku hanya sebatas seseorang yang menumpang hidup di kastilmu. Seseorang yang tidak tahu malu yang sangat merepotkan. Aku tidak menyangka kau akan melakukan ini padaku, Riftan.” Putri Adora berusaha kuat untuk terlihat menyedihkan di mata Riftan, ia ingin Riftan merasa bersalah atas sikapnya selama ini dan merasa kasihan padanya. Ia sama sekali tidak pernah sekalipun mendapatkan tatapan hangat olehnya padahal orang yang mendampinginya pada saat ritual penyatuan jiwa adalah Riftan. Tapi kenapa Riftan sama sekali tidak memiliki pengaruh sedikitpun. Dan itu semua karena perempuan yang telah menjadi sumber darahnya itu. Nayya. “Aku tahu, kau hanya mempedulikan Nayya. Aku tidak mengerti apakah isu yang aku dengar itu benar atau hanya omong kosong belaka. Aku berusaha keras untuk tidak mempercayainya tapi jika mengingat kenyataan jika kau sama sekali tidap pernah memperlakukanku seperti seorang pasangan, mau tidak mau aku akan mempercayainya,”ucap putri Adora di sela isak tangisnya. Ia menatap wajah Riftan mencari kemungkinan ada sedikit kepecayaan pria itu terhadap apa yang ia utarakan, tapi semakin ia berbicara banyak, wajah Riftan semakin kaku dan dingin. Riftan tidak mejawab, keheninganpun tercipta. Asoka yang sudah terlanjur kecewa terhadap putri Adora hanya terdiam. Sedangkan putri Adora menangis menunggu reaksi dari Riftan. “Apakah semua yang ingin kau katakan sudah habis?” tanya Rifta. Putri Adora hanya menatap Riftan sambil terus terisak. “Jujur saja aku tidak mengerti arah pembicaraanmu, aku mengingankan kejujuranmu dan pengakuan yang benar, tapi sepertinya kau masih suka berbohong. Kau tahu, aku semakin muak padamu, putri Adora. Aku mengharapkan pengakuanmu tapi sepertinya kau lebih menyukai tetap dalam ketidakjujuran. Jadi dengarkan keputusnku sekarang, Aku akan menceritakan semua perbuatanmu kepada raja dan akan mengembalikanmu ke istana.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD