Kemarahan

1101 Words
Asoka dan putri Adora terbang dan melompat ke satu pohon ke pohon lain. hatinya begitu bahagia bisa bersama Asoka. Meskipun situasi ini bukan termasuk kondisi yang bisa di anggap sebagai kencan atau sejenisnya, tapi putri Adora menikmatinya. Ia terbang mengiringi Asoka yang berada di sisinya. Jubahnya terlihat berkibar diterpa angin malam yang dingin. Tangannya yang kokoh dan besar menggenggam erat tangan kecilnya. Putri Adora tersenyum. Ia merasa bahagia. “Kwaaaakkkkk!!!” tiba-tiba segerombol gagak terbang ke arah mereka. “Tuan Asoka awas…!” putri Adora memperingatkan Asoka, mereka pun terbang menghindari gagak-gagak itu. tapi burung-burung itu memiliki kecepatan terbang yangs sangat cepat. “Gagak-gagak itu adalah zombi yang berbahaya. Jangan sampai kau terkena patuknya. Ayo, terbang lebih cepat! kita harus mengindari mereka. ucap Asoka sambil meraih tangan Putri Adora mendekat ke tubuhnya dan membawanya terbang lebih cepat. Akan tetapi gagak itu terus mengikuti mereka, bahkan ada salah satu gagak yang sangat agresif terbang dengan sangat cepat sehingga membuat mereka terpisah. Gagak itu mengejar putri Adora sedangkan gagak yang lain berusaha mengejar Asoka. Kedua terbang akhirnya terbang terpisah, putri Adora menghindari serangan gagak itu dengan meningkatkan kecepatan terbangnya. Matanya mulai memerah, seiring dengan kuku dan taringnya yang mulai memanjang. Gagak itu terus mengejarnya, dia tidak bisa menghindari terus-terusan sehingga ia pun menghadang gagak itu dan bersiap menghadapinya. "Kwaaakkk….!” Gagak itu terbang cepat ke arahnya dan mencoba melukainya. Dengan cepat putri Adora menghindar, gagak itu kembali terbang ke arahnya dan kali ini mencoba menyerang dengan kedua cakarnya. Putri Adora kembali menghindar dengan melompat tinggi ke udara lalu ia memanjangkan tangannya, tangannya terulur dan terus memanjang hingga berhasil menangkap gagak itu. "Kwaaakkk…" Gagak itu meronta dan berusaha lepas. Putri Adora menyeringai, lalu ia menarik leher gagak itu hingga putus dari tubuhnya. Darah mengucur deras di tangannya. Putri Adora pun menengadahkan wajahnya untuk meminum darah burung itu tapi dengan cepat Asoka menepis tangannya sehingga bangkai burung yang ada di tangan putri Adora terlempar jauh. “Apa yang kau lakukan? darah Zombi sangat berbahaya. Bukankah sudah aku katakan, jangan melakukan apapun tanpa sepengatahuan dan seizin ku. Tapi belum apa-apa kau sudah mulai berulah. Kau hanya perlu membunuh musuhmu saja, jangan memangsanya, kau mengerti!?” Asoka memarahi putri Adora, sedangkan sang putri hanya tertunduk diam. “Maafkan aku,” ucapnya lirih. Sudahlah, lain kali kau jangan melakukannya lag. Ingat! Ini bukan perburunlan tapi pertarungan. Bisa saja kau merasakan darah mereka sangat lezat tapi ternyata itu hanya tipuan yang beracun. Jadi kau harus tetap waspada.” Kembali Asoka memberikan peringatan. “Iya, aku akan ingat, tuan Asoka,” ucap putri Adora. Kemudian Asoka kembali menggenggam jemari putri Adora lalu membawanya terbang meninggalkan tempat itu. Sementara itu Riftan terlihat mencoba mengalihkan perhatian penjaga itu dengan membuat kegaduhan di salah satu sudut ruangan. Penjaga itu langsung memeriksa dan meninggalkan tempatnya berjaga. Riftan kemudian menghampiri lemari itu dan menyentuh semua yang memungkinkan bisa membuka lemari itu. Dan benar saja, ia tanpa sengaja menyentuh sebuah buku dan menjatuhkannya. Seketika lemari besar itu bergeser ke samping dengan sendirinya. Riftan melihat sebuah pintu rahasia. Pintu itu tertutup, ia melangkah menghampiri pintu itu dan membukanya tapi tidak bisa. Tapi dengan kekuatannya ia berhasil melelehkan gagang pintu itu beserta kuncinya sehingga pintu itu pun terbuka. Seketika hawa pengap dan kegelapan tampak. Hatinya semakin sesak melihat kondisi ruangan itu. Tempatnya pengap karena hanya ada satu ventilasi kecil. Ia segera menyalakan api kecil melalui jari telunjuknya sehingga ia bisa melihat sekitar. Riftan semkin mencium bau Nayya di sekitar ruangan itu. “Nayya…” panggilnya perlahan. Tidak ada jawaban, Riftan terus mencari sampai matanya tertuju pada sebuah sudut ruangan “Nayya….” panggilnya sambil berlari menghampiri tempat itu. Perasaan Riftan hancur , dadanya semakin sesak melihat kondisi Nayya yang sangat memperihatinkan. Nayya tertunduk lemas dan hampir tidak sadarkan diri. Riftan hanya bisa menelan kecamuk emosinya melihat keadaan wanita yang sangat ia cintai sangat menyedihkan. “Nayya….!” Riftan memeluknya erat. “Hmm…mmm” Nayya merespon dengan lemah. “Maafkan aku, maafkan aku…” air mata Riftan menetes. Hatinya begitu sakit, perlahan ia melepas ikatan tali di tangan Nayya dan melepas lakban yang melekat kuat pada mulutnya. “Ah…” Nayya meringis kesakitan saat perban itu di lepas dari mulutnya. Tangannya kecilnya lebam karena bekas ikatan tali yang cukup kuat, tubuhnya lemas karena tidak mendapatkan makan dan minum padahal ia sudah di sekap sehari semalam. ‘”Riftan ….to…tolong aku…!” Nayya berguman lemah. "Iya, sayang. Aku di sini. jangan khawatir. Kita akan pulang sekarang,” ucap Riftan lalu menggendong tubuh lemah Nayya. Akan tetapi, saat ia hendak melangkah ke arah pintu. Seorang pria bertubuh besar itu menghadangnya. “Ah, sial,” uapnya. "Mau ke mana kau membawa tawananku?” ucap pria bertubuh tinggi itu dengan suara yang tidak bersahabat. “Pergi kau dari hadapanku kalau tidak ingin terpanggang,” ucap Riftan berusaha menahan amarahnya yang semakin membuncah. Ditambah karena kondisi Nayya semakin lama semakin lemah. “Kau adalah penyusup jadi kau lah harus pergi dan tinggalkan tawananku di tempatnya. Dia harus mati,” ucap pria itu. Mendengar ucapan p[ria itu, amarah Riftan melesak, matanya berubah merah dan wajahnya menghitam. Ia lalu meletakkan Nayya di lantai dan berdiri di hadapan pria itu. “Kau sudah membuat marah bersiaplah untuk lenyap dan menjadi abu,” Riftan mengangkat tangannya dan m mengarahkan pada pria itu. Tapi dengan cepat pria itu menangkis seragamnya dengan menggunakan cahaya yang kuning yang juga hampir sepadan kekuatannya dengan cahaya biru Riftan. Riftan dengan cepat melompat ke udara dan melayangkan tendangannya ke arah pria itu tapi lagi-lagi pria itu bisa menangkisnya dengan baik. Kini giliran pria itu yang menyerang. Dengan bobot tepung yang jauh lebih besar dari bobot tubuh Riftan, tentu saja kekuatan yang terkandung di dalam serangannya juga kana jauh lebih kuat. Ia melanyangkan pukulan ke arah wajah Riftan tapi Riftan bisa menghindarinya dengan memiringkan tubuh, ia membuat tubuhnya dan balas menyerang menggunakan kaki panjangnya dan berhasil mengenai pelipis pria itu. Terlihat mulutnya berdarah, pria itu marah. Ia menghapus darah di mulutnya dengan kasar dan berdiri tegak. Ia pun menyerbu Riftan dan menghajar membabi buta Riftan pun dengan segara kemampuannya berusaha menangkis dan menghindari serangan-serangan mematikannya. Tapi di tengah kegentingan itu Asoka muncul dan membantunya. “Kau pergi saja dan urus Nayya. serahkan dia padaku,” ucap Asoka pada telepatinya. Riftan mengangguk dan menghentikan serangan lalu membawa Nayya pergi. Riftan terbang dengan sangat cepat keluar dari tempat itu. menembus hutan di kegelapan malam yang dingin. Tubuh Nayya yang menghangat akibat demam menggigil. Perasaan Riftan semakin sedih. Ia benar-benar menyesali apa yang terjadi terlebih merutuk dirinya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD