Menghayal

1213 Words
Riftan mengeram, berusaha menekan hasratnya kepada Nayya. Ia benar-benar tidak berdaya sekarang, bahkan kekuatan untuk menahan keinginan untuk menyentuh Nayya secara seksual tidak mampu ia bendung karena kekuatannya masih dalam proses pemulihan. Dan sekarang, gadis bodoh ini malah tidak mau pergi. Apakah ia tidak tahu kalau yang ada di hadapannya sekarang adalah monster yang seharusnya ia takuti? “Pak, kau terlihat menyedihkan sekali. Apakah aku bisa membantumu untuk mengurangi rasa sakit? aku tidak keberatan jika kau menginginkan darahku lagi. Aku bisa memberikannya sebanyak yang kau butuhkan,” ucap Nayya, ia terlihat sangat khawatir melihat Riftan dengan kondisinya sekarang. “Nayya, kau rupanya belum mengenalku dengan baik. Aku adalah makhluk yang bisa membuatmu mati kehabisan darah bahkan lebih dari itu. Aku akan menjadi makhluk yang lebih mengerikan dari para serigala itu, apa kau takut sekarang? Seharusnya kau takut…!” ucap Riftan dengan mata tajam dan taring yang mulai semakin memanjang. Nayya tersenyum dan menatap Riftan dengan dalam. Kenapa hatinya merasa sesak melihatnya kesakitan seperti itu? ia sama sekali tidak terpengaruh dengan ucapan Riftan. “Iya, seharusnya aku takut dan melarikan diri dari tempat ini setelah apa yang kau katakan barusan. Tapi entah kenapa, hatiku tidak ingin meninggalkanmu. Dadaku terasa sesak melihatmu seperti ini, Pak. aku mohon, jangan tahan dirimu. Aku ingin menolongmu.” Nayya bahkan sampai memperlihatkan leher putihnya dan mendekatkan tubuhnya kepada Riftan. Tak pelak lagi, Riftan langsung meraih tubuh Nayya mendekat ke tubuhnya. Begitu taring Riftan terbenam ke leher Nayya, tubuh lemas Riftan seketika menjadi segar dan bugar. Nayya memejamkan mata dan merasakan perih di bagian yang digigit Riftan. Kali ini ia merasa kesakitan, Riftan yang terlihat agresif menghisap darahnya, membuat tubuhnya lemas. Kepalanya mulai terasa pusing. Tapi sekuat tenaga ia berusaha untuk tidak mengganggu Riftan, Nayya bahkan tidak keberatan jika ia harus kehabisan darah. Riftan tersentak, setelah sadar jika ia sudah kelewat batas, Kenikmatan darah Nayya hampir membuatnya kehilangan kendali. Riftan sangat terkejut setelah saat menyadari jika Nayya sudah tidak sadarkan diri. “Nayya…!” serunya panik. Ia langsung membopong tubuh Nayya keluar dari ruang penyembuhannya dan membawanya masuk ke ruangannya. Ia meletakkan tubuh lemas Nayya di atas ranjangnya. Membuka laci dan mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan berwarna merah. Riftan kemudian membuka botol itu dan dengan ujung jarinya ia menempelkan cairan itu ke dahi Nayya. Tidak beberapa lama, tubuh Nayya bergerak. Nayya membuka mata dan melihat Riftan menatapnya dengan penuh kekhawatiran. “Pak Dosen…” lirihnya dengan lemah. “Kau tidak apa-apa?” tanya Riftan khawatir. “Bapak sudah sembuh?” “Gadis bodoh, kau yang hampir mati karena diriku. Kenapa malah menanyakan keadaannku? aku peringatkan padamu, jangan pernah lagi melakukan hal berbahaya seperti itu lagi. Tugasmu hanya jika aku mengunjungi kamarmu saat bulan purnama. Selain itu, kau dilarang menyelinap di mana-mana karena tempat ini sangat berbahaya. Kau mengerti?” ucap Riftan dengan tegas. Akan tetapi, bukannya mendengarkan, Nayya justru hanya menatap sekelilingnya. “Ruangan apa ini Pak?” tanya sambil bangun dari rebahnya. “Hei, apa kau mendengarkanku?” Riftan mulai kesal. “Wah, ruangan ini sangat mewah tapi juga menakutkan. Aku pikir kamarku lah yang paling indah, tapi setelah melihat ruangan ini, aku berpikir untuk pindah ke sini saja.” ucap Nayya asal. Ia sama sekali tidak menghiraukan ucapan Riftan. “Apa kau bilang, ini adalah kamarku. Kau ingin tinggal bersamaku di raungan ini?” sanggah Riftan. “Oh, maaf, Pak. Saya tidak tahu kalau ini kamar tuan Vampir yang terhormat,” ucap Nayya sambil kembali duduk di sisi ranjang. Ia menatap Riftan lalu tersenyum. “Senang sekali rasanya bisa membantumu sehat kembali, Pak. aku berjanji, akan selalu ada saat kau membutuhkanmu. Jadi jangan pernah berpikir untuk menyembuhkan diri sendiri saat aku masih ada. Karena walaupun kau menolak untuk itu, kau tidak akan bisa menahan diri dari darahku ,” ucap Nayya dengan penuh percaya diri. “Kau memang keras kepala, sebaiknya kau keluar dari sini sebelum aku benar-benar akan menghabiskan darahmu sampai kau mati,”Riftan pura-pura mengancam. “Kau tidak akan mampu melakukan itu padaku walaupun kau bisa dengan sangat mudah melakukannya." Nayya menatap wajah Riftan, menatap dalam ke arah mata hitam pria tampan itu. Mereka saling pandang, nayya menggerakkan pandangannya ke bibir Riftan yang indah. Bibir pria yang tidak begitu tipis dan juga tidak bisa dikatakan tebal. Ukuran yang sangat pas untuk melumat bibirnya yang kecil itu. Nayya jadi membayangkan bagiamana rasanya bibir Riftan menempel di bibirnya dan mengisapnya dengan lembut. Meraih kepalanya agar tidak bergeser, membingkai wajahnya sembari memberikan kuluman hangat dan menggairahkan. “Hei sadarlah!” Nayya tersentak dari lamunannya. Apa yang baru sja ia pikirkan? Membayangkan di cium oleh Riftan si Vampir? Yang benar saja. ia pasti sudah tidak waras. “Sebaiknya kau keluar dati kamar ini sekarang juga.” Riftan mengulangi titahnya. Nayya hanya mengangguk, ia bisa merasakan wajahnya yang merona. Pintu kamar terbuka dan ia melihat Asyaq sudah berdiri di ambang pintu menunggunya. “Asyaq, antarkan dia ke kamarnya. lain kali, kau akan aku hukum jika membiarkan dia berkeliaran di sekitar kastil,” ucap Riftan memberi perintah. Asyaq hanya membukukan tubuhnya lalu berjalan meninggalkan tempat itu. Tapi Nayya tidak bergerak di tempatnya. Ia malah menoleh kearah Riftan. “Pak, aku mau kuliah lagi.” ucap Nayya dengan wajah murung. “Baiklah, kau bisa kuliah. Tapi di kawal oleh Asyaq.” Sahut Riftan datar. “Baik Tuan,” ucap Asyaq. “Terima kasih, Pak,” ucap Nayya sambil membalikkan badannya dan mengikuti langkah Asyaq meninggalkan Riftan yang menatapnya tanpa kedip. Riftan memejamkan mata, berusaha menormalkan gemuruh di dalam dadanya. Ini akan menjadi bencana bagi dirinya kalau sampai ia menginginkan Nayya melebihi yang seharusnya. Darah gadis itu harus tetap suci dari apapun, termasuk dirinya. Jika tidak ia tidak akan berguna lagi untuknya. Tidak, ia tidak boleh sampai menyukai Nayya dan menginginkan tubuhnya. “Hah…” Riftan menghela nafas dalam lalu menutup pintu kamar dan menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Penciumannya yang tajam masih bisa merasakan sisa aroma tubuh nayya yang ada di kasurnya. Mencium itu saja bisa membangkitkan gairahnya, apalagi jika Nayya di dekatnya. Bisa dibayangkan bagiamana ia dengan susah payah, menahan segalanya agar ia tidak hilang kendali. *** Reno membuka mata, ia mendapati dirinya terbaring di atas rumput taman. Ia bangkit dan melihat sekeliling. sudah gelap dan tidak ada satu orang pun ada di tempat itu. Ia melihat jam tangannya, ternyata sudah jam 2 dini hari. Ia berdiri, tubuhnya terasa segar dan ringan. Tidak seperti biasanya. Tiba-tiba ia merasa sangat haus, ia melangkah menuju motornya dan meminum habis sebotol air mineral yang ia bawa. Akan tetapi, rasa hausnya tidak hilang, ia justru semakin merasakan kehausan yang luar biasa. Ia tersentak, saat tanpa sengaja mendengar suara gresek rumput di sekitarnya. Ia refleks melihat kearah asal suara itu. Lagi-lagi ia terkejut karena matanya bisa melihat benda yang ada di kegelapan malam dengan sangat jelas. Ternyata itu seekor kucing berwarna putih yang sedang mengincar tikus. Dengan refleks Reno menangkap kucing itu dan langsung menggigit lehernya. Rasa haus yang ia rasakan perlahan sirna. Setelah merasa puas, ia melempar mayat kucing itu sambil membersihkan sisa darah di bibirnya dengan tangan. Ketika sadar apa yang sudah ia lakukan, Reno tersentak. Ia melihat mayat kucing dan sisa darah yang ada di tangannya. “Apa? apa yang telah terjadi? Kenapa aku membunuh kucing itu. Dan…dan kenapa ada darah di mulutku?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD