AKU BERSEDIA MENJAGANYA

2713 Words
"Bagaimana kalau Tuan tahu hubungan kita?" "Pastinya marah." ujar Cemara. "Tuan pasti membunuhku." lirih Jati. Cemara meliriknya, sebuah senyum pahit terukir di bibir Jati. Cemara melebarkan telapak tangannya yang di main-mainkan Jati. Jati menempelkan telapak tangannya di atas telapak tangan Cemara, lalu menggenggam erat. "Cintai aku sepenuh hatimu, aku akan berusaha membantu mendapatkan restu orang tuaku." ujar Cemara, tersenyum pada kekasihnya itu. Jati membalas tatapan itu, melihat kesungguhan di netra Cemara membuatnya mengangguk yakin. "Terima kasih, Nona." ucapnya. Membawa tangan yang ia genggam erat menuju bibirnya. Mengecup lembut dan meletakkan di dαdanya dimana hati nya berdegup kencang. ••••• PLAK! Sebuah tamparan mendarat mulus di wajah Rumi hingga wajah anak remaja itu menoleh kesamping. "Aku sudah bilang, ambil hatinya. Bila penting hancurkan masa depannya." Hardik pria setengah baya padanya, menatap murka putranya. Rumi bergeming, memegangi pipi yang berdenyut sakit. Ia gagal menyenangkan hati sang Ayah. Pria remaja ini diminta untuk mendekati Cemara dan menjalin hubungan emosional dengan putri pak Menteri. Rumi gagal, salahnya tergoda pada Monica teman sekelasnya. "Setelah dia berada di genggamanmu. Kau tidak perlu melibatkan hatimu. Kau bisa bebas memiliki perempuan lain yang kau inginkan." ucapnya, meremas rambutnya sendiri menahan emosi. "Maafin Rumi, Ayah." ujar anak itu, menunduk. Ayahnya ingin menjalin hubungan erat dengan Lamtoro untuk mendobrak namanya di pemerintahan. Tahun depan ia membutuhkan dukungan dari partai Lamtoro untuk menjadi orang nomor satu di ibukota. Tapi, putranya malah melepas gadis bodoh yang bila jatuh cinta akan kehilangan logika. "Siapa nama pria itu?" Tanya Ayahnya. Rumi mencoba mengingat nama pacar Cemara. "Jati." "Putra siapa? Dari kalangan mana?" "Aku kurang tahu, Ayah." "Kau memang sangat payah. Ayah lakukan ini juga untukmu." Ucapnya pada Rumi penuh penekanan. Drago meninggalkan kamar putranya, menyusuri lorong rumahnya dengan langkah panjang menuju ruang kerjanya. Menghubungi seseorang untuk menguntit Cemara. ••••• [Nona, aku di taman belakang rumah] Cemara membaca pesan dari Jati. Ia tersenyum meletakkan ponselnya. Beranjak dari meja belajarnya. Cemara seharian di dalam kamar, mempersiapkan diri mengikuti ujian akhir sekolah. Cemara melangkah menuju balkon, ia melihat Jati berdiri di dekat pohon maple. Jati melambaikan tangan dan dibalas Cemara. Cemara mengerutkan kening melihat Jati melakukan hal konyol. Pria itu merogoh sesuatu dari saku celana, lalu merobek dαdanya. Mengeluarkan hatinya dan melempar pada Cemara. Cemara menangkap lalu meletakkan di detakan dαdanya. Cemara membentuk hati dengan jari, mencium dan melempar pada Jati. Pria disana menangkap dan lalu meletakkan di hatinya. Mereka tertawa tanpa suara, menertawakan kebodohan yang mereka ciptakan. Jati mengeluarkan ponsel dari saku celana untuk menelpon Cemara. Cemara berlari masuk, mengangkat ponselnya. "Satu-satunya yang aku miliki di dunia ini hanya hatiku. Aku sudah memberikannya padamu. Tolong jaga dengan baik, kekasihku." ucap Jati, melambungkan hati Cemara. Cemara melangkah ke balkon dan melihat Jati berjalan ke balik pohon maple. "Aku mencintai, Mas. Aku bersedia menjaganya." "Aku juga sangat mencintaimu, Nona." balas Jati. Duduk di bawah pohon. "Mas," "Mmm?" "Kangen sama kamu." "Sama. Tapi, Nona harus fokus belajar. Supaya tuan tidak kecewa." "Mmm." "Supaya Nona bisa kuliah ke Toronto." ucap Jati. Cemara membisu. Nada suara Jati seolah tidak rela mengatakannya. Tersirat kesedihan pada nada itu. "Mas," "Iya, Nona." "Aku akan kuliah di Jakarta kalau ada yang menahanku." Hening …. Di balik pohon berdaun merah itu. Jati menekan dαdanya. Apa cintanya cukup menahan Cemara? Dia ragu. "Nona," "Iya." "Apa cintaku cukup untuk menahanmu tinggal?" Tanya Jati. "Akan aku pikirkan." Cemara tersenyum, memutus sambungan telepon. Menyentuh jantungnya yang berdegup. Jati muncul dari balik pohon, melihat Nona nya masuk kamar. "Aku benar-benar sayang kamu Ara. Tapi, aku sangat ragu kau bisa melepas keluargamu demi cinta kita." lirihnya. Masih menatap kamar kekasihnya. ••••• "Lakukan dengan benar, Ara. Papa sayang kamu." Lamtoro mengecup kening putrinya. "Iya, Papa." "Langsung pulang begitu selesai ujian." pesan Lamtoro seraya keluar dari mobil. "Baik, Pa." Jati menutup pintu mobil tempat tuannya duduk lalu kembali ke bangku kemudi. Cemara sudah duduk di depan mengejutkan Jati. "Aku sangat kangen, Nona." Jati memeluk Cemara. "Ara juga kangen," ujar Cemara begitu Jati melepas pelukannya. "Biasanya ujian cepat pulang, Kan?" "Dua jam." "Aku nggak usah pulang. Nunggu di parkiran aja." "Jangan, nanti bosan." "Lebih bosan tinggal di rumah, Nona. Apalagi pacar mas nggak ada disana." "Terserah, Mas deh." Cemara tersenyum kecil melihat Jati. Mobil itu memasuki parkiran sekolah, mencari tempat untuk parkir. Jati menginjak rem begitu mendapatkan tempat yang tepat. Jati melepas seat belt miliknya lalu mencondongkan tubuh memeluk Cemara. "Semoga berhasil." ucapnya, menyemangati. "Aku gugup." gumam Cemara. "Mas yakin Nona bisa." Jati melepas pelukannya pada Cemara. Hatinya merasa sedih lantaran dua kali pelukannya tidak terbalas. "Aku pergi ya, Mas." Cemara membuka pintu mobil. Jati segera menyusul melangkah lebar mengitari kepala mobil. Menarik tangan gadis itu dan membuatnya bersandar pada body mobil. Meraih dagu Cemara lalu melumat bibir gadis itu dengan lembut. Cemara memejam mengizinkan Jati menikmati manis bibirnya. Jati melepas ciumannya, "Ara." Membelai lembut bibir bawah Cemara yang ia cium. "Aku sangat mencintai, Nona. Jangan pergi ke Toronto." ucapnya. Itu yang ingin Cemara dengar dari Jati. Menahannya untuk tidak pergi. Ia mengangguk cepat, lalu berjinjit dan mengalungkan tangan di leher Jati. Membuka mulut kecil, minta dicium. Jati menelan saliva, menunduk dan melumat bibir kekasihnya, kali ini sedikit menekan dan kasar. Mengulum dan menarik bibir bawah Cemara dengan bibirnya. Degup jantung mereka berkejaran dan napas yang menipis memisahkan ciumannya. Ini ciuman panas pertama mereka. "Mas tunggu disini. Kerjakan ujiannya dengan benar." ucap Jati, menghapus bekas ciumannya di bibir merah Cemara yang semakin merah karena hisapannya. Cemara mengangguk. Memeluk Jati sebelum ia meninggalkan pria itu. Ruang tempat Cemara ujian sangat hening. Semua murid fokus ke layar komputer menjawab soal ujian kecuali Rumi. Pria yang duduk berjarak dua bangku di belakang Cemara. Sibuk mengawasi Cemara. Ia mencintai Cemara bukan karena alasan tertentu atau melancarkan rencana sang ayah. Sangat menyesal putus dari gadis itu. Andai saja Monica tidak menggodanya dan menciumnya mungkin Rumi tidak akan ketagihan nikmatnya ciuman hingga putus dari Cemara. Cemara berhasil mengakhiri ujiannya sebelum waktu yang ditentukan selesai. Bunyi bel terdengar dan mengakhiri ujian hari pertama mereka. Cemara mematikan komputer miliknya dan buru-buru keluar kelas begitu guru pengawas keluar kelas. Rumi berlari mengejarnya, " Ara." Panggil Rumi. Cemara menoleh dan berdecak saat tahu Rumi yang memanggilnya. Cemara melanjutkan melangkah menuju loker yang ada di lorong kelas mereka. "Pulang bareng aku ya." "Aku di jemput sama mas Jati." Cemara menutup lokernya begitu mengambil tas dari dalam dan membuka resleting tasnya. Mengeluarkan ponsel dari dalam. "Apa dia mencintaimu atau hanya memanfaatkanmu?" Tanya Jati. Cemara menyampirkan tas di pundaknya. Ia terdiam menatap wajah Rumi. Jati pria miskin yang tiba-tiba hadir dan membuatnya jatuh cinta. Cemara tidak pernah berpikir sampai ke tahap itu. "Dia tulus mencintaiku." ucap Cemara, mencoba yakin. "Kau benar-benar tidak memiliki perasaan lagi sama aku, Ra?" "Begitu kau menghianatiku, perasaan itu lenyap. Maaf Rumi. Kita bukan siapa-siapa lagi selain teman kelas." Cemara membawa langkahnya meninggalkan Rumi. "Ara, Ayahku menanyakan kabarmu." Seru Rumi. Mencoba menahan Cemara. Selama pacaran, Cemara kerap main ke rumah besar Rumi. Mereka memperlakukan Cemara dengan baik dan selalu berharap hubungan mereka terjalin menjadi keluarga. "Sampaikan salamku pada Om dan katakan kita sudah putus." Sahut Cemara seraya berlari kecil menuju parkiran. Jati segera keluar dari mobil begitu melihat Cemara datang. Gadis pemilik gigi kelinci itu berlari memeluknya. "Aku menyelesaikan pertanyaanya lima belas menit sebelum waktunya habis." ucapnya di pelukan Jati. "Aku yakin kau bisa mengerjakannya." Jati membalas pelukan itu, lalu mencium pucuk kepala Cemara dan membawanya masuk ke dalam mobil. "Langsung pulang, Nona?" Tanya Jati, menghidupkan mesin mobil. "Iya, Ara sudah janji sama Papa dan Mama pulang sekolah diam di rumah." "Baiklah." Jati mengemudikan mobilnya keluar parkiran sekolah. Rumi tersenyum miring melihat pasangan yang mengiris hatinya. Pasangan yang tidak sengaja ia lihat mesra. Dia mengepalkan tangan erat. Selama pacaran dengan Cemara dia seperti menjalin hubungan kakak dan adik. Tidak pernah semesra Jati dan Cemara. Jati menepikan mobilnya di tepi jalan. Ia melihat penjual durian di pinggir jalan. Jati merindukan buah itu. Buah kesukaanya. "Kenapa berhenti, Mas?" Tanya Cemara bingung. "Ikut aku Nona." Jati mengajak Cemara keluar mobil dan menggandeng tangan wanita itu menuju penjual durian. Cemara berhenti melangkah, ia menutup hidung dan menggeleng. Menolak mendekat. "Nona, nggak suka?" Tanya Jati. Cemara mengangguk, "Bau." ucapnya. "Tapi, enak. Nona pasti ketagihan kalau sudah mencobanya." "Nggak mau, Mas. Kalau mau makan, makan sendiri aja. Aku tunggu di mobil." ucap Cemara, melepas tangan Jati berniat kembali ke mobil. "Katanya cinta sama Mas." "Mas …, apa hubungannya sama buah itu?" Nada kesal dengan tatapan tajam. "Ya sudah kita pulang." Jati menipiskan bibir, mengalah. Cemara berdecak sebal melihat tumpukan buah itu. Selama hidup belum pernah menyentuh buah itu. Cemara tidak suka baunya."Ayo aku temenin makan." ajaknya pada Jati dengan nada lembut. Jati tertawa kecil, "Nggak pa-pa. Lain kali aja. Kita pulang aja, yo." ujarnya. "Maafin, Ara. Aku nggak pernah makan itu dan baunya nggak enak buat Ara." lirih Cemara. Menyesali kemarahannya. "Tapi, Ara mau kok temani mas Jati." Tambahnya. Jati kembali tertawa melihat tangannya ditarik Cemara menuju pedangan. Menutup lubang hidung dengan jarinya. Duduk di lesehan yang disediakan. Jati memilih durian dan minta di belah sama pedagangnya, kemudian membawa ke lesehan. Meletakkan di hadapan Cemara dan mulai menikmatinya. Jati mengambil daging durian dan iseng mengoleskan ke bibir Cemara. "Mas jangan." Cemara memukul lengan Jati. "Cobain, Nona." Cemara mengulum bibirnya dan merasakan manis buah itu. "Manis nggak? Enak kan?" Tanya Jati dan diangguki Cemara. "Mas," "Iya." "Panggil Ara saat kita berdua." ujar Cemara. Jati menyodorkan suapannya dan Cemara membuka mulutnya, mulai mengunyahnya dan ketagihan. "Aku nyaman panggil Nona. Anggap aja itu panggilan sayang aku sama Nona." "Padahal aku pengen dipanggil sayang." balas Cemara dengan nada kecil. Jati terkekeh, "Nanti setelah hubungan kita dapat restu. Aku akan memanggilmu sayang dengan mesra." "Kenapa nggak dimulai dari sekarang?" "Aku takut, memanggil sayang saat ada Tuan." Cemara menipiskan bibir, mengambil buah durian dan memakannya hingga bibirnya belepotan Jati terkekeh melihatnya, memiringkan kepala mencium bibir Cemara dan membersihkan dengan bibirnya sendiri. Cemara membisu dengan mata membelalak. Kekasihnya semakin nakal menciumnya di tempat terbuka. "Bersih." Bisik Jati, melihat wajah merah Cemara. Cemara meletakkan biji buah durian yang dagingnya belum habis ia makan. "Aku tunggu di mobil, Mas." lirihnya, beranjak meninggalkan Jati sambil tersipu. Cemara masuk mobil dan mendengar ponsel Jati berbunyi. Ia melihat sebuah nomor tanpa nama memanggilnya. Cemara berniat mengangkatnya tapi, Jati segera datang. "Ada yang nelpon, Mas." ujarnya. Jati mengabaikan ponselnya, ia justru sibuk mengambil botol minum dari bangku penumpang belakang. Memberikan pada Cemara setelah memutar tutup botol. "Kok nggak diangkat?" Cemara menerima botol minum dari Jati dan meneguknya. "Nggak usah." Cemara mengernyit, "siapa, Mas?" "Entahlah, tanpa nama." Ponsel itu kembali berdering untuk kedua kalinya," Angkat aja. Berisik, siapa tau penting."ujar Cemara. Jati mengambil ponselnya dan menerima panggilan itu. "Halo," sapa Jati, mengansurkan tangan membersihkan mulut Cemara dari bekas air minum. "Jati, aku sudah tanya dokter. Katanya enam belas juta bia—." Jati sengaja mematikan ponselnya dan mengatur ponselnya tanpa suara. Jati pusing memikirkan uang sebanyak itu untuk dikirim ke kampung. "Siapa, Mas." "Sepupuku di kampung, dia mau pinjam uang." jawab Jati. Meletakkan ponsel di dashboard. Menghidupkan mesin mobil dan mengemudi, mencoba menahan raut wajahnya tetap biasa di depan Cemara. "Untuk apa?" "Entahlah." "Mas nggak nanya. Kali aja butuh bangat." "Tapi, Mas nggak punya uang sebanyak enam belas juta, Nona." "Mas mau aku bantu?" "Jangan Nona. Aku nggak mau merepotkan Nona cuma untuk bantu orang." ujar Jati mengemudi membawa Cemara pulang. •••• Drago terbahak di dalam ruang kerjanya rumahnya. Begitu menerima hasil dari orang suruhannya mengikuti Cemara. Prai itu terpingkal-pingkal sampai wine dalam gelas yang ada di tangannya bergoyang. "Putrinya Lamtoro, seleranya sangat rendahan." Drago berjalan melangkah menuju balkon rumahnya. Menatap halaman luas dan indah. Jika dia bisa menikahkan putranya dengan putrinya Lamtoro. Pundi-pundinya akan semakin menebal dan ia juga bisa memanfaatkan partai Lamtoro mengusung namanya di dunia politik. "Hanya Rumi yang bisa menguasai keluarga Lamtoro. Sopir sialan itu akan aku singkirkan melalui tangan Lamtoro." ucapnya dengan senyum iblis, mengangkatnya gelas dan menikmati wine nya. ••••• Ujian akhir sekolah telah berakhir. Cemara merasa lega dan bisa santai dari buku-buku yang membuatnya kadang stres. Cemara menuruni anak tangga menuju ruang makan. Ia mendengar suara Jati dan Yanti tertawa di ruang masak. Ia mengurungkan niat memeriksa apa makan siang di meja itu lebih tertarik apa yang membuat dua orang itu tertawa senang. Cemara membawa langkahnya ke ruang masak. Jati duduk di bangku merekam Yanti berjoget t****k. Cemara ikut tersenyum, melihat b****g Yanti bergoyang-goyang mengikuti musik t****k yang lagi viral. Cemara berdehem mengejutkan keduanya. Jati buru-buru mematikan ponsel dan beranjak dari duduknya. Begitu juga dengan Yanti. Gadis itu menghidupkan air di wastafel untuk mencuci piring. "Kalian menyebalkan. Aku datang langsung sibuk." Cemara cemberut menarik tempat duduk untuknya. Ia meleletkan lidah melihat Jati. "Apa?" Tanya Jati tanpa suara. "Duduk." Perintah Cemara, ia juga melihat Yanti. Gadis disana patuh, mereka duduk di hadapan Cemara. Hening .... Yanti menunduk begitu juga dengan Jati. Tidak berani menatap Nona mereka. Mereka keheranan melihat Cemara duduk di meja makan pembantu. Bisa dibilang ini pemandangan langka. Mengingat Cemara tidak pernah masuk ke ruang masak. Kaki gadis ini terbiasa melangkah sampai ruang makan, jika tidak menemukan apa yang ia inginkan lalu teriak memanggil Yanti. "Aku mau es jeruk, Mbak. Buatin antar ke halaman belakang. Mas Jati temani Ara." ucap Cemara. Ia beranjak dari tempat duduknya. "Iya Nona," Yanti melakukan apa yang di minta Cemara. Sementara Jati mengekori Cemara ke halaman rumah. "Semenjak kerja sama Nona, aku jarang melihat Nona mαin ke halaman belakang ini." ujar Jati. "Dulu waktu kecil aku sering main disini." Cemara melihat danau itu, ia segera menggeleng kecil dan berbalik meninggalkan tempat itu membuat Jati bingung. Jati mengejar menahan tangan Cemara. "Kenapa Nona?" Cemara melihat ke arah danau lalu menunjuk." Di sana aku pernah hampir mati. Ditenggelamkan sama pengasuh, saat usiaku lima tahun." Jati membeliak, ia melihat danau itu. Danau yang memanjakan mata. Tempat Ia beristirahat dan terkekeh-kekeh bersama Yanti, ternyata punya kenangan pahit bagi kekasihnya ini. "Karena apa?" Tanya Jati penasaran. "Karena Ara susah makan, terus dia mengancamku supaya tutup mulut." Yanti datang membawakan es jeruk, Jati segera melepas tangan Cemara. "Ini minumannya, Nona." Cemara mengambil gelas dari tangan Yanti, lalu mencicipinya. "Nona pasti ketakutan saat itu." ujar Jati, membuat Yanti bingung. Dia belum paham apa yang mereka bicarakan. "Waktu itu kata Tuan. Nona juga pernah diancam sama pembantu." "Papa yang cerita?" Tanya Cemara. Ia mendudukkan diri duduk di rumput hijau. Jati dan Yanti ikutan duduk. "Dia sangat galak. Suka cubit Ara kalau nggak mau makan. Mama dan Papa sibuk kerja sementara Opah hanya bisa mengawasi dari dari kursi roda." Cemara memainkan es jeruknya di dalam gelas. Mengingat kisah mengerikan saat dia masih kecil. Diancam dengan pisau, dipaksa mengambil kotak perhiasan Rasamala. Opahnya hanya bisa melihat dari kursi rodanya. Perempuan tua itu mencoba menelpon polisi tetapi, pembantu menjatuhkan Opah Cemara dari kursi roda. Membawa Cemara ke gudang dan mengikatnya di sana dengan mulut dilakban. Hujan deras bersama kilat dan petir membuat Cemara ketakutan hingga mengalami fobia. Cemara tertahan di gudang selama lima jam sampai Lamtoro menemukannya dengan keadaan ketakutan. Cemas berlebihan sampai sekarang Cemara belum bisa pulih. "Papa sudah minta danau itu ditutup. Tapi, Ara nggak mau. Aku suka melihatnya dari balkon kamar tanpa harus dekat." ujar Cemara menarik napas panjang, melihat ke arah danau. "Kami sempat nggak pakai pembantu. Tapi, Mama nggak sanggup kerjain semua. Jadi cari yang bisa dipercaya. Rekomendasi orang. Seperti Mas dari Mang Kasmin dan Mbak Yanti dari tante Olbert." ujar Cemara. "Aku dipercaya kan, Nona?" Tanya Yanti penasaran. Janti terkekeh melihat pembantu yang butuh pengakuan itu. Cemara mengangguk melihat Yanti. Pembantu yang langsung diantar tantenya ke rumah Lamtoro. "Itu sebabnya aku nggak ramah sama kalian. Tapi, saat melihat kalian menjauh dan seolah takut sama Ara. Aku tersinggung." ujar Cemara. "Aku nggak menjauh kok Nona, malah semakin mendekat." ucap Jati. "Eh nggak sopan." Yanti menimpali. Ketiganya terkekeh, tiba-tiba Cemara cemberut, melihat Yanti sangat dekat dengan Jati. "Mbak Yanti." "Iya, Nona." "Kamu suka sama mas Jati?" "Eh?" Jati menggelengkan kepala pada Cemara. Sementara Yanti merona. "Jangan suka sama dia." "Kenapa, Nona?" Sahut Yanti. "Dia sudah punya pacar." Yanti melihat Jati dengan tatapan kecewa. "Benar, Mas?" Tanya Yanti. Jati mengangguk mematahkan hati Yanti. "Pembantu sebelah ya." "Eh? Siapa? Nggak kok." Sahut Jati cepat. Cemara berdecak. " Nggak Nona, aku justru nggak kenal pembantu sebelah." ujar Jati. "Terus siapa dong?" Tanya Yanti dengan nada lemah. Jati melihat Cemara, gadis itu memalingkan wajahnya ke arah danau yang berjarak lima belas meter dari mereka. Menunggu Jati mengatakan sesuatu. . . . See you tomorrow ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD