JADI PACAR SUNGGUHAN

3224 Words
Hubungan mereka berjalan baik. Saling perhatian, jalan bersama dan makan bersama. Jati tidak sungkan lagi menggenggam tangan Nona nya kala mereka berjalan bersama begitu juga dengan Cemara. Gadis itu kerap menyandarkan kepala di bahu Jati. Mulai bercanda dan saling menggoda. Pacar pura-pura masih tetap berlangsung saat berhadapan dengan Rumi. Cemara terkadang kesal melihat Jati bercanda dengan Yanti. Seperti saat ini, Cemara melihat dua orang itu dari atas balkon kamarnya saling menggoda di halaman belakang rumah. Di bawah pohon maple merah. Kejar-kejaran seperti sepasang kekasih yang sedang memadu kasih. Rasa cemburu muncul di hatinya. Tidak rela. Bila Jati memberikan senyum pada gadis lain. Bila Jati perhatian pada Yanti. Huff, yang benar saja. Seorang putri cemburu pada pesuruhnya. Cemara mendengus melihat dua orang yang terkekeh-kekeh menikmati masa istirahat kerja mereka. "Mereka memang serasi." gumamnya, meninggalkan balkon tepat saat Jati menoleh ke Balkon itu. Sejak tadi ia belum melihat Cemara. Gadis manja itu selalu betah di kamarnya saat berada di rumah. "Mas, lihat apa sih?" tanya Yanti mengikuti tatapan Jati ke arah balkon. "Nggak ada, Yan. Aku pikir tadi ada yang manggil." ujar Jati. Jati merasa kecewa. Duduk di rumput hijau. Menatap danau buatan yang ada disana. Empat angsa berenang bebas menikmati segarnya air. Jati tersenyum, membayangkan angsa itu dirinya bersama Cemara. Sementara dua angsa yang lain adalah putra putri mereka. Bercengkrama, mesra dan hidup bahagia. Sempurna. Astaga, berlebihan. Hatinya terasa sesak. Kenapa jatuh cinta pada putri raja sementara dirinya hanya rakyat jelαta. Jati tersenyum sedih, "Bagai pungguk merindukan bulan." lirihnya. "Siapa yang merindukan bulan, Mas?" Yanti kebingungan melihat Jati yang memasang air muka sedih. Yanti duduk di samping Jati sangat dekat hanya berjarak satu jengkal tangan dewasa. "Eh, aa tidak ada, Yan." balas Jati. "Oh, kau sudah punya pacar?" tanya Jati. Berusaha mengalihkan dan menyingkirkan lamunan konyol dari pikirannya. Yanti tersipu lalu menggeleng kecil."Nggak ada yang mau Mas sama aku." ujarnya malu-malu. "Padahal kau cantik." Yanti semakin merah. Pria ini tidak tahu kalau gadis kelahiran lampung itu menyukainya. "Bercanda aja nih, Mas." Yanti mendorong bahu Jati hingga pria itu miring ke samping. "Serius, Yan. Aku nggak bercanda. Kau itu seksi dan bohai. Kulit kuning lan —" Perhatian mereka beralih, saat ponsel Yanti berdering. Gadis itu merogoh dari saku celana. "Nona nelpon. Pasti minta makan siang. Aku masuk ya." ujar Yanti bangun dari duduknya. Membersihkan bo'kongnya dari rumput yang menempel seraya menerima panggilan Cemara. "Nona," sapanya. "Suruh Jati kesini!" Ketus dan langsung memutus sambungan telepon. Yanti melihat Jati dengan kening mengernyit. "Apa?" Tanya Jati penasaran. "Biasa tanduknya muncul. Mas diminta kesana." ujar Yanti. Jati segera beranjak dan berlari kecil meninggalkan Yanti disana. Masuk ke dalam kamar dan merapikan diri di depan cermin. Menyemprot tubuhnya dengan parfum murahan harga tujuh ribu yang ia beli di konter ponsel saat Jati mengisi pulsanya. Lalu meninggalkan kamarnya menuju ruang tamu. Cemara menunggu dengan raut kesal. "Nona mau keluar." "Iya. Biar kamu nggak makan gaji buta." Sahut Cemara ketus, melempar tas pada Jati. Pria itu menangkap cepat. Nona nya kumat. Jati mengikuti langkah Cemara ke luar rumah dan berlari kecil mendahului untuk buka pintu mobil untuk Cemara. Jati mengerutkan kening, semalam mereka baik-baik saja. Tidak ada masalah atau Jati tidak melakukan kesalahan. "Mau kemana, Nona?" Jati bertanya, melihat dari kaca spion. "Terserah." Ketus. "Eh?" Jati menelan ludah. Menggaruk tengkuk, pelan mengemudikan mobil keluar rumah. Kata terserah membuatnya berpikir keras. Melihat wajah suram Cemara. Membuat Jati enggan bicara. Gadis itupun tidak bicara, sibuk dengan ponselnya. Jati mengemudi terus tanpa tujuan. Cukup. Ini tidak benar. Jati menepikan mobil setelah mengemudi satu jam. Ia menolehkan kepala melihat Cemara. "Nona, apa aku melakukan kesalahan?" Tanya Jati. "Nggak!" Nada ketus. "Kenapa berhenti? Jalan!" Perintahnya. "Tapi, kemana Nona?" "Kemana aja." Jati menggeleng kepala. Dia tidak melakukan kesalahan tetapi, wajah itu kenapa kesal melihatnya. Jati keluar mobil dan membuka pintu penumpang. Naik duduk di samping Cemara. "Aku tahu, Nona marah sama Jati. Katakan apa kesalahan yang aku buat sampai Nona semarah ini." "Nggak ada! Aku bilang nggak a—."Ucapannya terhenti. Mendadak sebuah ciuman mendarat di benda kenyal yang sejak tadi berucap kesal. Jati melihat kelopak mata Cemara yang sempat membeliak perlahan menutup. Jati melumat bibir tipis milik Nona nya dengan mata terpejam. Cemara melepas ponselnya dan perlahan mengangkat tangan menyentuh dαda Jati. Ciuman yang Jati berikan sangat lembut dan hati-hati, tidak menuntut atau bernafsu liar. Menggerakkan bibirnya menggoda bibir tipis Nona nya. Menikmati rasa manis dari bibir ranum yang selalu terlihat menggoda di matanya. Cemara mendorong pelan dαda Jati, meminta jeda. Jati melepas ciuman itu dan menjauhkan wajahnya dari wajah Cemara. Melihat rona merah muda di wajah Cemara. Gadis itu menunduk. "Nona." lirih Jati, mengangkat dagu Cemara untuk mereka bersitatap kemudian ibu jarinya membelai bibir Cemara yang berwarna cerah bekas ciumannya. "Aku ragu mengatakannya tapi, walaupun hasilnya mengecewakan aku akan tetap jujur." ujar Jati, menatap intens manik mata Cemara. "Aku menyukaimu. Aku mencintaimu, Nona. Maafkan aku karena tidak tahu diri mencintai Nona." ucapnya dengan sungguh-sungguh lalu melepas dagu Cemara. Jati menunduk, tidak menyesal mencium Cemara. Pasrah kalau gadis itu mengadu pada Lamtoro. Lalu menghukumnya, tentu saja Lamtoro melakukan itu. Putrinya yang berharga dilecehkan sopirnya sendiri. Jati siap menerimanya. Sekalipun dilempar ke kandang buaya dan menjadi santapan para buaya, yang pasti Jati sudah mengungkapkan isi hatinya pada Cemara. Baginya mengenal Cemara adalah momen indah. Baginya Cemara adalah cinta pertama. Dia menyukai gadis ini sejak kecupan pertama mereka di cafe. "Bukannya kau pacaran sama Mbak Yanti?" Jati mengangkat wajah yang menunduk, melihat Cemara disampingnya. Jati menggelengkan kepala. "Kau sangat mesra dengannya." lirih Cemara. Jati mengerutkan kening tebal. "Yanti rekan kerja aku, Nona. Kami berusaha kompak." "Bohong! Kau mencubit pipinya seperti kau mencubit pipiku." Cemara memukul lengan Jati, lalu mencebikkan bibir. "Kapan? Kapan aku mencubit pipi Yanti?" Membatin. Jati mencoba mengingat. Tadi di halaman belakang rumah Lamtoro. Bukan mencubit tapi, lebih tepatnya menyingkirkan anak rambut yang menempel di wajah gadis lampung itu. Jati tersenyum kecil. "Aku melihatnya dari balkon kamarku." Tukas Cemara kembali memukul lengan Jati. Jati menahan tawa. Jadi itu yang membuat Nona nya marah? Apa ini bisa disebut cemburu? Hah, semoga saja. "Kau juga senang bersamanya. Ara kesal melihatnya." ujarnya, memalingkan wajah melihat ke arah lain. Jati menarik kedua bahu Cemara membuat mereka berhadapan. Bibir Nona nya masih mencebik. Jati memiringkan kepala lalu mengecup singkat. "Aku mencintaimu, Nona." ulangnya. Ara menatap pria itu dan menimbang apa yang akan ia katakan, lalu pelan ia berucap. "Ara ... juga mencintai, Mas Jati. Sedikit." lirihnya. Mengukur di jarinya. Jati terkekeh mendengar kata terakhir Cemara. "Tidak masalah meski sedikit. Aku akan berusaha supaya cinta Nona semakin banyak padaku." Jati menarik Cemara menuju pelukannya. Selama tiga bulan mereka akrab dan tampak seperti orang pacaran. Melewati hari dengan canda, tawa tanpa status pasti. Membuat Jati bingung, ragu dan berpikir kalau perhatian dan kebaikan Nona nya hanya sebatas antara sopir dan majikan. "Aku berhenti jadi pacar pura-pura, Nona. Tapi, Jati ingin menjadi pacar sungguhan Nona." ujar Jati, masih memeluk Cemara. Cemara mendongak, "jangan perlakukan Yanti seperti kamu memperlakukan aku. Aku nggak mau pembantu jadi rivalku." "Artinya kita pacaran sungguhan, Nona?" Cemara mengangguk melihat Jati yang menunjukkan binar bahagia. "Terimakasih, Nona." Jati semakin mempererat pelukan itu. Lama mereka berdiam dalam posisi pelukan, nyaman dan damai. "Nona, mau pulang atau mau ke suatu tempat?" Tanya Jati. "Kita main dulu." "Eh?" Jati menggaruk tengkuk. 'Kita baru pacaran Nona. Baru hitungan menit.' Membatin menutup mata. "Ayo cepetan." Cemara bersemangat. "Disini?" Jati gugup. "Kita mau main apa disini?" Cemara bingung. Deg! Jati mengutuk dirinya. Astaga. Sangat m***m. Pikirannya negatif. Definisi main di dalam pikirannya sebuah fantasi liar. "Kemana?" Akhirnya pikirannya pulih. "Kemana aja." "Baiklah." Jati mengecup kening Cemara penuh kelembutan. Hati gadis itu terbang ke angkasa, bahagia. Jati keluar dari sana menuju bangku kemudi. Cemara juga berpindah tempat, duduk di depan. Jati mengemudikan mobil menuju taman. Mereka pernah kesini beberapa waktu lalu. Menemani Cemara mengerjakan tugas sekolahnya. Percayalah, itu hanya alibi. Cemara hanya ingin berlama-lama bersama Jati. Jati menggandeng tangan Cemara meninggalkan mobil di parkiran. Di depan sana ada sebuah bale menghadap danau. Biasanya hari weekend tempat ini akan ramai dipenuhi pengunjung. Tapi, ini bukan hari libur jadi rasanya nyaman dan taman ini serasa milik sendiri. Jati melepas sandalnya, lalu membantu melepas sneakers Cemara. Amboi, yakinlah. Pacaran dengan gadis manja ini akan merepotkan. Lihatlah, Jati seperti ayah melepas sepatu putrinya yang masih belia. Setelah berhasil melepas dua benda itu dari kaki Cemara. Jati mengajaknya duduk di tengah bale. Duduk lama memandang ke danau. Sampai bosan lalu pulang tanpa melakukan apapun. Kencan pertama yang buruk. Jati menyedihkan dan payah. "Aku ngantuk, Mas." ujar Cemara setibanya di dalam mobil. "Ya sudah tidur, nanti aku bangunkan begitu sampai rumah." Jati mencondongkan tubuhnya, memasang seatbelt Cemara. "Ara bosan menatap danau. Matanya lelah." ujar Cemara, lalu memiringkan wajahnya ke arah pintu mobil dan memejamkan mata. Jati mengusap kepala Cemara lembut. Jari panjangnya membelai lembaran rambut panjang itu pelan-pelan. Memastikan Cemara tidur sebelum ia mengemudi. Memperhatikan gadis mungil. Bahagia, saat cintanya terbalas. Putri seorang menteri ia pacari. Jantungnya berdegup kencang. Berpikir, apa ia sanggup melawan dunia untuk mendapatkan Cemara. Jati menggeleng, untuk saat ini. Biarkan hubungan mereka rahasia, sampai ia mengasah mentalnya berhadapan dengan Lamtoro, majikannya sendiri. •••• "Kapan ujian, Ara?" Tanya Lamtoro, saat mereka menikmati sarapan pagi. "Senin." "Kau sudah siap?" Tanya Rasamala, melihat putrinya. "Sudah. " "Atau kita bayar tutor untuk mendampingimu selama ujian ini." Tanya Rasamala. "Nggak usah. Ara sudah siap kok. Kalau misalkan nggak bisa jawab. Ara punya trik sendiri." Lamtoro dan Rasamala saling lihat, lalu tatapan mereka beralih pada Cemara. "Trik apa?" "Itungin kancing kemeja Ara." Cemara nyengir pamer gigi kelincinya. "Ara …." "Cemara." Kedua orangtuanya menyakut bersamaan. "Papa mau yang terbaik. Jangan bikin malu." ujar Lamtoro. "Pulang sekolah langsung balik rumah Ara. Belajar dan siapkan diri kamu." Rasamala menimpali. "Mmm. Iya." Mereka melanjutkan makan sambil berbincang kecil masalah kenaikan bisnis yang dikelola Rasamala. "Ma, Pa." Cemara menarik perhatian kedua orang tuanya. "Apa sayang?" Tanya Rasamala. "Aku main hari ini sampai puas. Besok dan sampai ujian sekolah berlangsung aku janji diam di rumah." ujarnya, mengakhiri sarapannya. "Main kemana?" Tanya Lamtoro. "Palingan menjelajah Mall." sahut Rasamala. "Iya bener. Papa boleh ya?" Lamtoro meletakkan peralatan makan dan mendesah panjang. " Janji kau harus mendapatkan nilai bagus." "Ara usahakan." "Pastikan!" "Ck, Baiklah Papa. Aku akan peras isi pikiranku." ujar Cemara. ••••• Jati mengerlingkan mata lewat spion saat tatapan mereka bersiborok. Cemara tersenyum. Cemara ikut mengantar Lamtoro berangkat kerja. "Nanti sore di jemput nggak, Tuan?" tanya Jati begitu mobil berhenti di depan gedung tempat Lamtoro bekerja. "Tidak usah, seperti biasa sopir dinas akan mengantar pulang." ujar Lamtoro. "Ara jangan kelamaan mainnya. Jati awasi dia." Pesan Lamtoro. "Baik Tuan." Jati keluar dari mobil, buka pintu untuk majikannya. Begitu Lamtoro keluar Cemara segera berpindah tempat ke depan. "Kenapa pinda, Nona?" Tanya Jati, memasukkan setengah badan ke dalam mobil dan memasang sabuk pengaman untuk Cemara. "Kangen sama, Mas." Bisik Cemara di wajah Jati. Hawa panas menerpa kulit wajah pria itu. "Aku juga kangen sama, Nona." Menarik hidung Cemara pelan. Jati menarik dirinya keluar mobil, menutup pintu dan berlari kecil menuju bangku kemudi. "Jadi, mau diantar kemana?" Jati mengemudikan mobil keluar dari depan kantor Lamtoro membaur ke jalanan padat. "Kencan."ujar Cemara. "Kemana, Nona?" "Mmm, kita ke PIM." "Baiklah." Jati mengambil tangan Cemara, menggenggamnya seraya mengemudi menggunakan satu tangan menuju Mall pondok indah. Setibanya di tempat, keduanya terkekeh. Jam delapan pagi, Mall mana yang buka. "Kita tungguin atau—" "Ketempat lain." Sahut Cemara. "Mas nggak banyak tahu tentang Jakarta, Nona. Kalau tahu dimana saja letak tempat indah buat kencan. Pasti Mas ajak Nona kesana."ujar Jati. Meletakkan telapak tangan di wajah Cemara dan ibu jarinya lembut membelai pipi pacarnya itu. "Ara juga, sekalinya liburan pasti jauh. Bali, singapore, Belanda, Prancis. Kalau Jakarta, mainnya di sekitar ini saja. Itupun karena dekat rumah." "Kalau begitu, bagaimana kalau kita ngebolang aja, Nona." "Maksudnya?" "Kita parkir mobil di suatu tempat terus jalan kemana aja kita mau." Cemara tampak berpikir, selama ini banyak hal yang ingin ia lakukan tetapi, tidak pernah kesampaian. Seperti makan di tenda pecel lele, warteg dan banyak lagi. "Boleh. Mas aku mau naik Busway." lirihnya dan diakhiri kekehan ringan. "Maksudnya, transjakarta?" "Iya, aku belum pernah naik itu." ujarnya tertawa menutup mata dengan kedua telapak tangan. "Mas juga belum pernah naik, ayo kita coba." ajak Jati. Jati memarkirkan mobil di area parkiran terminal. Matahari mulai terik ketika keduanya keluar dari mobil. Cukup membakar kulit lengan Cemara yang tanpa sehelai benang. Suara klakson mobil sahut menyahut, menyakiti telinga. Orang-orang lalu lalang. Banyak pedagang jalanan, mencari rupiah demi sesuap nasi. Cemara menerima uluran tangan Jati. Pria itu tersenyum, melihat wajah keheranan Cemara. "Nona nyaman?" "Berisik, Mas." Jati terkekeh, mengusap kepala Cemara lembut. Tentu saja pemandangan ini hal asing bagi Cemara. Ia terbiasa di cekoki dengan kemewahan. Kesana-kemari di antar jemput. Hanya dengan menjentikkan jari semua kebutuhannya terpenuhi. Tidak pernah merasa kekurangan bahkan Cemara kerap menghamburkan uang Lamtoro pada hal-hal yang tidak perlu. "Yah, beginilah isi dunia sesungguhnya, Nona." ujar Jati. Berbeda dengan Jati yang sudah terbiasa hidup susah. Selain menarik angkutan, Jati juga mencari kerja tambahan. Menyadap getah milik juragan di kampungnya. "Tapi, Ara mau naik Bus." ujar Cemara, sejak tadi itu yang menarik perhatiannya. Cemara sering melihat lewat jendela mobilnya penumpang berdiri di dalam Busway. Gadis aneh ini, ingin merasakan sesaknya berada disana. "Baiklah, ayo." Jati berjalan di depan dan ... BRAK! "Nona." Jati terkejut dan dengan cekatan Jati membantu Cemara bangun. "Aduh" Lenguh Cemara, kakinya menginjak tali sepatunya sendiri yang tidak Ia ikat dengan benar. "Sakit." Menahan perih di telapak tangan dan lutut yang mencium aspal. Jati membantu Cemara berdiri, "kenapa bisa jatuh?" tanya Jati. Ia berjongkok melihat luka di lutut Cemara. "Tali sepatunya." Cemara meringis. Jati melihat tali sepatu Cemara berantakan. Jati tersenyum kecil. Ia melepas simpulnya dan mengikat kembali dengan rapi. Meniup luka di lutut Cemara mencoba mengurangi rasa nyeri. "Lain kali, ikat yang benar, Nona." "Mas Jati yang buka ikatannya waktu itu. Mama sudah simpul erat." "Kapan?" "Waktu di taman." "Kan bisa di simpul lagi, Nona." "Ara nggak bisa." lirihnya. Jati berhenti meniup lutut Cemara. Merasa lucu. Berapa usia kekasihnya ini? Astaga. Ini bukan pekerjaan yang rumit. Anak sekolah dasar saja mampu melakukan ini. Jati mengingat, betapa eratnya simpul sepatu Cemara saat dia membantu melepas sepatu itu di taman beberapa hari lalu. Ia berpikir Cemara yang melakukan, ternyata Rasamala, ibu gadis itu. Jati berdiri tersenyum menatap wajah Cemara. Pria dewasa ini berdecak, lalu menarik gadis itu menuju dekapannya. "Kau harus belajar mandiri, Nona." "Ara sudah belajar mengikatnya tapi, cepat lepas." Jati melepas pelukan itu, dan melihat wajah Cemara. "Kapan-kapan Mas ajarin ya?" Cemara mengangguk. "Iya." "Jadi naik Busway?" Tanya Jati. "Jadi, Mas." "Ayo." Jati menggenggam tangan Cemara dan menariknya menuju Halte. Membeli e- ticketing. Cemara mengeluarkan kartu debit dari dompet lalu menyerahkan pada Jati. Jati menerima benda itu dan menggenggamnya. Sementara kartu yang ia beli dibayar dengan uang tunai miliknya. "Terima kasih." ujar Jati begitu transaksi selesai. Ia menarik tangan Cemara dan menscan kartu untuk membuka barrier. Cemara masuk duluan dan disusul Jati setelah tap- in untuk dirinya sendiri. "Mas, nggak pakai kartu aku?" Tanya Cemara begitu mereka melangkah antri menunggu Busway. "Kencan kali ini, aku yang bayar. Uang hasil pura-pura jadi pacar masih ada. Sebagian aku transfer ke kampung dan sisain lima ratus ribu untuk pegangan. Tapi, maaf Nona. Kencan kita nggak bisa mewah." ujar Jati. Mengembalikan kartu ke tangan Cemara. Cemara setuju lalu menyimpan benda itu ke dalam tas nya. Bus yang mereka tunggu tiba dan pintunya terbuka lebar. Jati membawa Cemara masuk dan mencari tempat duduk yang kosong. Namun, tidak ada satupun. "Nona kita berdiri." "Nggak pa-pa," Jati berpegangan pada Handle grip busway sementara tangan Cemara tidak sampai menggapainya. Jati terkekeh, melihat wajah cemberut Cemara. Jati mengambil tangan Cemara dan melingkarkan di pinggang nya. "Berlindung sama aku aja, Nona. Lebih nyaman." ujar Jati. "Blee, maunya kamu. Kamu senang kan aku peluk?" Jati menjawil hidung Cemara dan mengangguk setuju. Cemara mendongak memejamkan mata, minta di cium. Jati mengusap kepala Cemara. Ia enggan melakukan itu di tempat umum. Jati menunduk kecil berbisik di telinga Cemara. "Jangan nakal, banyak orang." bisiknya lalu menegapkan tubuhnya. Cemara semakin mempererat pelukannya di pinggang Jati, meletakkan kepala di dαda pria itu sambil menatap keluar jendela. Merasakan apa yang selama ini ingin ia lakukan. Bus berhenti di Halte ada yang masuk dan Bus semakin penuh. Cemara semakin mengeratkan pelukan di pinggang pria itu. "Kita turun di pemberhentian berikutnya ya Nona." ujar Jati dan Cemara mengangguk. Pemberhentian berikutnya tiba, Jati melepas pegangannya pada Handle grip dan menarik asal tangan Cemara. Menerobos orang-orang yang berdiri menuju pintu keluar. "Mas. Tungguin." Cemara mencoba memanggil, sementara Jati sudah keluar pintu Bus dan menggenggam tangan wanita lain. "Maaf." Jati tersentak, melepas tangan seorang Ibu-ibu. Bingung melihat sekitarnya, mencari Cemara. Ia salah menarik tangan orang. Bus yang ditumpangi berjalan. Cemara masih di dalam Bus tidak bisa keluar karena padatnya penumpang hingga ia kesulitan keluar. Cemara kebingungan di dalam, ia menahan tangis. Ponselnya berdering di dalam tas. Susah payah ia mengeluarkan ponsel itu dan mengangkatnya. "Nona." "Dasar bodoh, kau meninggalkan aku." ucapnya dengan nada sedih. "Aku akan naik bus berikutnya. Nona turun di halte berikutnya ya." "Dimana, Ara nggak tahu." "Pokoknya turun aja saat Busnya berhenti. Aku susul Nona kesana." "Iya. Banyak orang aku nggak bisa cepat-cepat." Jati mendengar pengeras suara memberitahukan halte yang akan segera dilalui lewat ponselnya. "Siap-siap, Nona. Ayo sambil jalan pelan-pelan maju ke dekat pintu." ujar Jati. Cemara melakukan apa yang dikatakan Jati. Mencoba melewati penumpang yang berdiri dan menghalangi jalannya. Bus berhenti tepat saat ia berada di depan pintu. Cemara cepat melangkah keluar. "Sudah keluar Bus, Nona?" "Mmm, cepat datang." "Iya. Cari tempat duduk disana. Aku segera menyusul." Jati memutus sambungan telepon dan menunggu bus yang akan membawanya kesana. Tidak lama kemudian ia tiba dan melihat Cemara duduk di bangku panjang. Pria itu tersenyum menghampiri. Berjongkok di depan Cemara sambil tersenyum melihat wajah bo'doh kekasihnya. "Bagaimana kalau aku hilang." ucapnya memberengut. "Maka aku akan lenyap di tangan Tuan." balas Jati. Mengusap kepala Cemara. "Kau sangat bo'doh." ujar Cemara seraya menunduk, menjatuhkan cairan bening di dari netranya. "Maafin aku Nona." Jati mengangkat wajah itu dan menghapus air mata Cemara. "Aku pikir tangan kamu yang aku tarik." ucapnya. Lalu bangun dan menarik Cemara berdiri dan memeluk gadis itu. "Kita pulang atau lanjut?" "Masih ada yang mau aku lakukan selain naik Bus." "Apa?" Jati melepas pelukannya. "Menyeberangi jembatan itu." Cemara menunjuk jembatan penyebrangan yang tersambung ke halte bus di seberang jalan. "Ayo." Jati menarik tangan Cemara dan membawanya keluar halte. Berjalan menuju jembatan untuk menyebrang. Di tengah jembatan Cemara berhenti dan mengeluarkan ponsel, ia meminta Jati memotretnya dengan latar belakang jalanan padat di bawah. Jati mengambil gambar Cemara kemudian gadis itu mengajak Jati foto berdua menggunakan kamera depan. Mengambil beberapa foto dengan pose berbeda. Foto terakhir, Cemara mengecup pipi Jati sementara pria itu tersenyum hingga kedua manik matanya membentuk sabit. . "Coba, Mas lihat." ujar Jati. Cemara menunjukkan hasilnya, "aku kirim ke ponsel Mas?" tanya Cemara. "Boleh, Nona." Cemara mengirim ke ponsel Jati lewat Wa. Jati melihat hasilnya dan menjadikan gambar layar ponselnya. "kita mau kemana lagi?" Tanya Jati, menyimpan ponsel ke dalam saku celana. Mengambil tangan Cemara dan mengecupnya. "Pulang aja, Mas. Ara haus." "Ya sudah, kita ke Mall tempat Nona nongkrong biasa?" "Boleh." Mereka meninggalkan tempat itu menuju halte Bus yang akan membawa mereka kembali ke tujuan. Kali ini Bus tampak sepi hingga keduanya bisa duduk. Jati memainkan jemari Cemara, sementara gadis itu bersandar di lengannya. "Nona," "Mmm," "Bagaimana kalau Tuan tahu hubungan kita?" . . . Thank you ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD