TERJERAT CINTA WANITA PANGGILAN 9
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Mengetahui satu alasan yang membuat hati orang tercinta terluka pasti rasanya menyakitkan. Ibarat kata sudah tahu hujan, tetapi memaksa menerjangnya demi menuju tempat yang terlihat buram. Bukan hanya raga yang sakit, tetapi hati juga ikut merasa dingin dan beku.
Namun, sebagai seseorang yang pernah mengenal Keya dalam jangka waktu lama membuat hati bisa menerima keputusan anaknya. Hanya satu yang ia sesalkan, yakni kenapa harus Marvin yang menggeser anaknya.
Hati anaknya pasti hancur mengetahui semuanya. Persahabatan dengan Marvin pasti kemungkinan merenggang.
"Maaf, Tante ... aku salah tidak bercerita tentang Marvin sebelumnya. Mungkin Lian sekarang sudah tahu semuanya. Aku juga minta maaf karena menyerah dengan janji sendiri yang tidak bisa menetap pada Lian." Keya menunduk sebagai tanda kalau rasa penyesalan itu memang begitu dalam.
Tante Elsa menghela napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Semua sudah jelas alasan Keya kenapa membuat Lian kekeh ingin berpisah. Mungkin ini lebih baik daripada menjalani hubungan yang memang tidak sehat lagi.
Minuman di meja dihabiskan setengah dalam sekali tegukan. Karena dirinya sudah mengerti keadaan, perasaannya kini mengkhawatirkan Lian. Mendadak ada rasa ingin bertemu dengan anaknya.
"Tante mau ketemu Lian dulu ya? Tante juga akan menerima keputusan kalian. Semoga kamu bahagia sama Marvin. Tante pamit," ucap nya sambil tersenyum, lalu pergi meninggalkan Keya sendirian yang masih menikmati makan siang.
Ibunya Lian terus melangkah memasuki swalayan hingga menaiki tangga menuju lantai dua. Tujuannya adalah ruangan anaknya. Ia ingin memastikan keadaan Lian, takut tengah menangis sendirian dalam kesunyian.
Ruangan yang berdinding kaca membuat mata bisa melihat keadaan di dalam sana. Apalagi tirai dalam posisi terbuka. Tanpa mengetuk pintu, wanita yang baru bertemu Keya berjalan dan duduk di sofa. Hal itu membuat Lian terkejut.
Ya, Lian tidak menyadari kedatangan sang ibu karena tengah memikirkan Keya dan Mayasha. Mengingat pertemuan tadi seakan Keya begitu mengenal Mayasha. Namun, selama ini ia sendiri tidak pernah tahu siapa teman Keya. Lian hanya tahu waktu Keya dihabiskan untuk bekerja dan sesekali berdua menikmati waktu bersama.
Lian menepis semua prasangkanya sejenak, lalu menyambut kedatangan sang ibu. Merebahkan tubuh tepat di samping wanita yang wajahnya terlihat kecewa.
"Ibu, udah ketemu Keya? Kok, wajahnya begitu?" tanya Lian sambil menatap wajah sang ibu.
"Kamu tidak apa-apa, Li? Tidak marah sama Marvin?" Sang ibu malah balik bertanya. Membuat Lian menelan ludahnya sendiri. Lelaki mana yang tidak marah diduakan pasangan? Dirinya hanya berusaha berdamai dengan hatinya sendiri agar bisa mengendalikan emosi.
"Marah juga percuma, Bu ... mereka akan tetap menjalin hubungan. Lebih baik melepaskan dan berdoa mendapat ganti yang lebih memahami arti sebuah hubungan," terang Lian.
Sang ibu diam-diam merasa bangga dengan perubahan sikap anaknya. Ternyata kini lebih dewasa dan bisa bersikap profesional di tempat kerja meski berhadapan dengan Keya. Hatinya juga melega karena Lian tidak berusaha melupakan dengan cara yang salah.
"Ya sudah. Ibu ikut semua keputusanmu. Kalau memang harus berhenti semuanya, Ibu akan memahami. Tapi ingat! Kamu tidak boleh meluapkan rasa kecewa dengan cara yang salah," pesan sang ibu membuat wajah Lian menegang seketika.
Entah kenapa pesan yang terdengar seakan mencubit ginjalnya. Lian menyadari telah berusaha melupakan semuanya lewat Mayasha–wanita panggilan yang kini berhasil memikat hati dan pikirannya.
"Lian ... kamu dengar, kan? Ibu tidak mau kamu merusak tubuhmu hanya untuk melupakan seseorang," ucap sang ibu lagi.
Lian gelagapan menanggapi pertanyaan dari wanita di sebelahnya. Sebagai lelaki usia dewasa, Lian memang memiliki cara tersendiri meluapkan kekesalan akan kehidupan. Namun, tidak sampai hilang kesadaran dan merusak wanita lain demi memuaskan egonya.
Bersama Mayasha juga hanya sebatas ciu-man dan teman ngobrol. Meskipun tidak dapat dipungkiri kalau jiwa lelakinya mendamba sesuatu yang lebih.
Lian mencoba memegang tangan sang ibu, mengelusnya lembut untuk menenangkan pikiran buruknya. Ia tidak mau sang ibu tahu kalau pernah berurusan dengan wanita panggilan.
"Ibu tenang aja. Lian nggak akan nyentuh alko-hol dan merusak wanita," rayu Lian yang membuat sang ibu mengernyitkan dahinya.
Sorot kedua matanya seakan mencatat janjinya di buku kesalahan yang nantinya mungkin berakhir hukuman. Kenangan lalu sebisa mungkin tidak ingin terjadi lagi pada anak lelakinya.
Lian tahu arti sorot mata itu, bahkan kepalanya masih mengingat jelas ketika keluarganya harus hancur karena sang ayah yang kedapatan bermain api dengan wanita lain.
Sang ibu yang tidak suka pengkhianatan memilih berpisah. Selama proses perpisahan, sang ayah ternyata hanya dijadikan boneka oleh wanita keduanya. Sejak saat itu, Ayah sering lari dari kenyataan bersama alko-hol. Hingga akhirnya belum sampai keputusan sidang, Ayah berpulang terlebih dulu karena terjadi kerusakan pada salah satu organ tubuh. Hidup berteman alko-hol membuat sang ayah harus membayar hidupnya dengan kematian.
Tangis sang ibu kala itu memenuhi kamar saat Ayah mencoba minta maaf di sela napasnya yang mulai tersendat. Banyak kata andai memutari isi kepala saat itu. Namun, semua sudah terjadi karena memang begitu garis Tuhan yang harus dijalani.
Lian hanya bisa menemani sang ibu melewati harinya yang penuh rasa sakit dan penyesalan. Hingga akhirnya usaha yang ditinggalkan Ayah kini bertambah besar karena usaha tanpa henti. Satu hal yang disadari Lian, jika lelaki sudah memiliki kesuksesan, maka ujian terbesarnya adalah wanita dan harta. Semua itu menggerogoti hati dengan caranya sendiri.
Akan tetapi, dirinya kini justru terjerat oleh pesona Mayasha. Wanita yang memiliki cara sendiri untuk menantang kehidupan. Lian memaksakan senyumnya untuk membuat sang ibu tidak merasa khawatir tentang dirinya. Bahkan Lian memberi pelukan agar pikiran buruk ibunya tidak semakin menjadi.
"Ibu nggak usah khawatir. Lian udah gede, bisa jaga diri sendiri," bisik Lian di sela pelukannya.
"Ibu percaya sama kamu. Ya sudah, Ibu mau pulang." Sang ibu menarik diri agar terlepas dari pelukan anaknya, kemudian berdiri dan menghilang di balik pintu kaca.
Lian menatap pemilik punggung hebat itu diiringi air mata yang tanpa sadar menetes di kedua pipi. Entah kenapa mengingat kejadian lalu membuatnya lemah, apalagi bayangan Mayasha kini mulai ikut menumpuk dalam kenangan lalu. Sementara tentang Keya dan Marvin membuat dirinya harus melepaskan benang kusut yang menjerat hatinya. Ia benar-benar ingin terlepas secara bebas tanpa jejak hati yang melara.
~~
Angin sepoi-sepoi yang berembus perlahan menerpa rambut kecokelatan Mayasha. Kedua wanita itu masih tidak membahas kejadian di swalayan. Elena pun tidak berani bertanya karena melihat perubahan sikap sahabatnya. Hatinya tahu kalau Mayasha tengah berpura-pura kuat dan tidak menangis.
Sepuluh menit berlalu begitu cepat, keduanya sudah sampai di rumah Mayasha. Elena membawa semua kantong belanjaan yang isinya kebanyakan minuman kaleng dan beberapa buah juga cemilan.
Mereka menata semuanya di lemari pendingin tanpa banyak kata. Sebagai seorang teman yang pernah melewati hari paling buruk bersama, Elena memberanikan diri bertanya tentang kejadian di swalayan. Ia tidak mau kalau Mayasha mengenang peristiwa dulu.
"May ... kamu nggak apa-apa? Kok, melamun sih?" tanya Elena sambil membuka satu kaleng coca cola lalu merebahkan diri di sofa.
Mayasha ikut duduk di sebelahnya, lalu meneguk minuman dalam kaleng. Tangannya meletakkan kaleng di meja, lalu menatap Elena dengan wajah yang entah apa.
"Aku nggak apa-apa, El. Kamu nggak usah khawatir."
"Apa wanita yang tadi bertemu di swalayan adalah teman yang membuatmu kecewa?" tanya Elena ingin tahu.
Mayasha menatap Elena sejenak, lalu mengangguk membenarkan semuanya. Hati yang dulu ia sembuhkan susah payah, kini harus kembali perih. Mayasha sadar, meski selama ini berusaha melupakan, nyatanya bekas luka itu masih terasa.
"Terus kenapa tadi kamu pura-pura nggak kenal?" tanya Elena lagi. Ia menatap wajah sahabatnya yang terlihat menahan semua rasa. Hati ingin melupakan, tetapi kenyataan malah kembali mengingatkan.
Walaupun hati terasa ingin meledak, sebisa mungkin Mayasha bersikap biasa saja. Ia hanya belum menyiapkan mentalnya bertemu kembali dengan Keya. Itu saja.
"Lebih baik tidak mengenalnya, El. Daripada harus hidup dalam kepura-puraan seperti ini," jawab Mayasha sembari meneguk minuman kaleng hingga tak tersisa.
"Apa kamu masih memiliki rasa sama Kai?"
Seketika tawa Mayasha mengudara mengisi kesunyian ruang tamu rumahnya. Menertawakan dirinya sendiri dan juga nasibnya.
"Hahaha ... aku? Masih memiliki rasa sama pria itu?" tunjuk Mayasha pada dirinya sendiri. "Rasa itu udah mati sejak kejadian itu," imbuhnya lagi.
Elena merasa nyeri mendengar penuturan wanita di sebelahnya. Karena kesalahan dua orang, Mayasha harus hidup tanpa pijakan tidak tentu arah. Bahkan sampai tersesat tanpa tujuan yang pasti.
Akan tetapi, sejak bertemu tamu yang bernama Lian, senyum itu kembali murni terukir di bibirnya. Meskipun belum merekah sempurna. Tiba-tiba Elena ingin memancing tanggapan Mayasha tentang pria yang tadi bertemu di swalayan–Lian.
Jika memang Lian bukan lelaki pemain hati, maka ia akan senang hati mendukung hubungan mereka. Perkataan untuk tidak bermain hati dengan Lian akan ia tarik kembali. Asal bisa membebaskan Mayasha dari jurang dosa.
"Syukurlah kalau rasa untuk Kai sudah mati. Kalau untuk Lian, gimana?"
Pertanyaan Elena sukses membungkam logikanya. Mayasha sadar sejak pertemuan pertama hingga beberapa jam yang lalu dengan Lian meninggalkan jejak hati baru. Namun, hatinya belum menyiapkan jika nanti hubungannya memberi luka kedua kali.
"Kenapa diam, May? Kamu jatuh hati sama dia, kan?" ulang Elena lagi.
"A-aku ...."
-----***-----
Bersambung