TERJERAT CINTA WANITA PANGGILAN 10
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Hati yang pernah terluka karena satu ikatan akan selalu meninggalkan bekas luka. Rasa perih dari keringnya luka bisa saja masih terasa, hingga membuat kebimbangan saat kehadiran rasa baru.
Menyadari hatinya bukan matahari, yang selalu berusaha menepati janji untuk bersinar meski cuaca dalam keadaan buruk sekali pun. Hati Mayasha belum sehebat dan sekuat itu. Menerobos awan hitam seakan melawan kekuatannya sendiri yang jelas masih rapuh. Pasti rasanya akan sakit sebelum maju berperang.
Mayasha terus mencari alasan untuk menjawab pertanyaan dari Elena. Memastikan hatinya bergetar kembali masih membutuhkan waktu lebih banyak. Karena yang memberi getaran itu belum tentu mempunyai rasa yang sama.
"Kalau kamu tidak bisa jawab, aku anggap kamu memang memiliki rasa. Aku hanya ingin berpesan untuk hati-hati. Karena kesadaran tentang asal usul kita akan cukup meminimalisir semuanya. Jika kamu yakin, maka perjuangkanlah!" terang Elena sambil mengelus lembut lengan sahabatnya yang masih mematung.
"Aku pulang dulu. Nanti malam jangan lupa ketemu yang gantiin tamunya. Nanti biar aku suruh ke sini aja. Biar kamu nggak ngeluarin tenaga lagi setelah kejadian tadi," imbuh Elena lalu mengetik pesan pada tamu yang membatalkan janjinya agar menyuruh penggantinya untuk menemui Mayasha di rumah.
Mayasha mengangguk, lalu mengantar Elena hingga ke teras depan. Melambaikan tangan padanya dengan pikiran tentang Lian yang menari di kepalanya. Sungguh kejadian ini seakan memukul dinding hatinya. Bertemu Keya yang bisa menjalani harinya dan juga mempertanyakan hatinya pada Lian–pria yang pernah memanggilnya.
Kadang dirinya masih menganggap garis hidupnya tidak adil. Kenapa beban hidup yang ia rasakan membawa jalannya menyusuri jalan gelap tanpa penerangan cahaya satu pun. Kehilangan sabahat sekaligus kekasih dalam satu waktu sungguh menjadi pukulan hebat selama dirinya berjuang keras menghadapi dunia seorang diri.
Hampir setiap malam, Mayasha merintih dalam tidur memanggil 'ibu' yang meninggalkannya tanpa kabar dalam kesendirian. Sang ayah yang harusnya menjadi panutan juga ikut pergi untuk selamanya setelah kepergian istrinya entah kemana. Rasa ingin mengakhiri hidup kadang menghampiri.
Akan tetapi, semua itu perlahan membaik karena kehadiran Kai Marvin. Perlahan hatinya mulai kembali terisi oleh perhatiannya. Namun, dirinya harus terluka kedua kali karena ditinggalkan kekasih dengan cara paling hi-na, yakni bermain api dengan sahabat sendiri. Sampai hatinya tercabik pedih dan berdarah.
Mayasha menghela napas dalam mengingat semua hal yang telah berlalu. Kepalanya mendadak berdenyut hebat. Dengan tertatih, ia melangkah ke kamar untuk memejamkan matanya sejenak. Melupakan semua sisa sakit yang masih tertinggal.
Suasana rumah yang sepi mempermudah Mayasha untuk tidur terlelap. Dengan harapan setelah bangun nanti semua sakit yang masih tersisa bisa menghilang. Apalagi bayangan bertemu Lian di swalayan menemani sampai mata terpejam. Membuat suasana hatinya sedikit tenang dari kekacauan pikirannya.
Dua jam berlalu, kedua mata Mayasha perlahan terbuka. Melirik sekilas jam di layar ponsel yang menunjukkan pukul 15.30 WIB. Jemari lentiknya mengucek kedua matanya, lalu bergegas duduk untuk mengumpulkan seluruh nyawa. Sinar matahari sore yang menembus lewat celah kaca jendela membuat kecantikan seorang Mayasha terpancar alami.
Menghirup segarnya angin sore dengan mata terpejam seakan memberi energi baru untuk raganya. Pikirannya pun mulai tertata di tempat yang seharusnya. Ketika tengah berusaha mengumpulkan tenaganya, suara dering ponsel mengalihkan perhatiannya.
Tangan kanannya lekas mengambil ponsel yang tergeletak di tempat tidur. Dahinya mengernyit membaca pesan dari Lian sesore ini. Namun, hatinya berbunga menerima pesan tersebut.
Lian
[Sampai jumpa nanti malam, May. Saya yakin akan ada banyak hal yang ingin kita ceritakan.]
Mayasha menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mencoba memahami arti pesan dari Lian. Mungkin dirinya teringat hutang lalu yang belum lunas karena waktunya terpotong gara-gara panggilan telepon.
Mengingat ada janji temu dengan tamu yang menggantikan sebelumnya, Mayasha membalas pesan dengan menolak secara halus.
Mayasha
[Sorry, Li ... malam ini saya tidak bisa. Ada tamu lain. Mungkin lain waktu saya akan bayar sisa waktu yang kemarin. Tolong jangan hubungi saya sampai nanti malam. Saya tidak ingin ada yang menganggu pekerjaanku.]
Setelah membalas pesan Lian dengan hati berwujud ketidakenakan pada tamu lain, Mayasha memilih membuat mi instan untuk mengganjal perutnya. Berjalan menuju dapur tanpa alas kaki disertai rambut yang acak-acakan, Mayasha menuang air ke panci kecil dan meletakkan di atas kompor.
Sambil menunggu air mendidih, tangannya sibuk mencari teman lain untuk melengkapi makanannya. Mayasha menambakan telur dan sedikit sayuran. Setelah semuanya matang, Mayasha lalu memakannya ditemani segelas air putih. Mangkuk kotor pun langsung dicucinya.
Membersihkan diri menjadi kegiatan Mayasha selanjutnya. Karena akan bertemu tamu malam ini, Mayasha sengaja menggunakan lulur terlebih dulu, biar tubuhnya wangi. Setelah menghabiskan hampir tiga puluh menit lebih, ia memilih pakaian terbaiknya.
Mayasha mengingat tamu ini hanya butuh teman cerita, jadi ia memilih hanya menggunakan singlet dan kardigan berwarna hitam. Rok panjang selutut tidak lupa membalut tubuh rampingnya. Selama melakukan pekerjaan ini, Mayasha memang menjaga tubuhnya dengan pola makan empat sehat lima sempurna yang diimbangi dengan olah raga.
Riasan wajah juga terlihat natural, lipstik merah muda menjadi sentuhan akhir jemari lentiknya. Rambut panjangnya sengaja digelung dengan tusuk konde yang baru dibeli di swalayan tadi siang. Leher jenjangnya terlihat menjadi lebih sempurna.
Mayasha menatap cermin sekali lagi. Memastikan dirinya sudah cantik sempurna meski tampilan sederhana. Parfum dengan wangi white musk tak lupa disemprotkan di area leher dan tangan. Wangi yang cukup menenangkan suasana hatinya.
Setelah selesai, Mayasha mengambil ponsel dan mengirim pesan pada Elena. Karena setengah jam lagi waktu yang telah disepakati hampir tiba.
Mayasha
[El, orang yang gantiin jadi dateng, kan?]
Semenit menunggu akhirnya ada pesan balasan.
Elena
[Jadi. Kamu tunggu aja. Orangnya udah transfer ke aku. Besok atau kapan aku kasih ke kamu.]
Mayasha
[Boleh tahu nama yang gantiin?]
Elena
[Orangnya nggak kasih tahu namanya. Kamu tunggu aja. Tanya aja nanti yang gantiin Gavin, bukan.]
Mayasha
[Oke, deh.]
Elena
[Good luck.]
Mayasha mengembuskan napasnya kasar karena tamu malam ini tidak begitu tahu identitasnya. Sembari menunggu tamunya datang, ia merapikan tempat tidur yang sedikit berantakan. Setalah itu berlanjut ke ruang tamu. Menyingkirkan beberapa kaleng bekas minuman bersama Elena tadi siang, lalu membetulkan bantal sofa pada tempatnya. Kemudian duduk manis sambil melihat drama di televisi.
~~
Di tempat lain, Lian tengah terburu-buru untuk mempersiapkan janji temunya dengan Mayasha. Kedua matanya melirik jam dinding di ruangannya yang menunjukan pukul 18.35 petang. Dengan sedikit berlari, Lian meninggalkan swalayan yang masih dalam keadaan ramai.
Semua pekerjaan yang tadi pagi diperiksa sudah ia beri catatan. Langkahnya terus menjauh melewati para pengunjung. Keya yang kebetulan melihatnya terpaksa memanggilnya. Tidak biasanya Lian pulang lebih awal.
"Lian!"
Lian berhenti dan berbalik.
"Apa?"
"Kamu mau ke mana? Pulang kerja masih beberapa jam lagi," tanya Keya seolah mengingatkan.
"Aku ada urusan."
Pria yang sudah dikejar waktu itu bergegas berlari lagi, hingga sampai di parkiran. Rasa gugup membuatnya memacu kendaraannya lebih cepat. Setelah keluar dari area swalayan, Lian memfokuskan pandangan agar cepat sampai di rumah.
Karena jarak memang tidak terlalu jauh, sepuluh menit Lian sudah sampai. Ia memarkir motornya di halaman rumah, lalu bergegas masuk kamar dan membersihkan diri.
Memilih pakaian kaos dan jaket dengan warna sedana, Lian mematut dirinya di depan cermin. Rambut pendeknya disisir menggunakan jari, lalu menyemprotkan parfum dengan aroma yang sama dengan Mayasha.
Setelah pertemuan pertama kemarin, Lian sengaja mencari parfum yang aromanya hampir mirip dengan punya Mayasha. Ketika semua terlihat sempurna, ia kembali bergegas keluar rumah. Namun, panggilan sang ibu membuat langkahnya terhenti.
"Mau ke mana, Li?" tanya sang ibu heran melihat penampilan anaknya, seperti akan bepergian. Apalagi jam segini sudah berada di rumah.
"Lian ada perlu sama temen, Bu. Mungkin pulang agak malam. Ibu nggak usah nunggu," pesan Lian lalu meninggalkan sang ibu yang masih mematung.
Sang ibu menatap punggung anaknya yang mulai menghilang bersama suara deru mesin yang membawanya entah ke mana. Ia percaya kalau Lian tidak akan melakukan hal yang merugikan dirinya sendiri.
Sepuluh menit membelah jalanan malam, akhirnya Lian sampai di rumah Mayasha. Tangannya memencet tombol bel berbentuk lonceng yang terletak di dekat pintu.
Benar saja, satu kali pencet pintu rumah itu terbuka. Di depannya berdiri seorang wanita dengan dandanan seadanya tapi cukup menggoda. Bela-han d**a yang terbuka membuat Lian menelan ludahnya sendiri.
Sementara Mayasha berdiri mematung menatap tamunya malam ini. Kepalanya masih terus berpikir bagaimana mungkin Lian yang datang.
"Li-lian?! Ada apa kau kemari? Saya sedang menunggu tamu, kau pulanglah. Saya akan membayar hutang lain waktu. Bukan hari ini," ujar Mayasha sembari merapikan kardigannya agar lebih merapat membungkus tubuhnya. Ia berdandan malam ini bukan untuknya, tetapi untuk tamu lain.
"Tamumu malam ini adalah saya. Jadi, bolehkah saya masuk?" pinta Lian yang masih berdiri menunggu tuan rumah mempersilakan masuk.
Mayasha tidak mungkin percaya begitu saja. Bagaimana mungkin Lian adalah orang yang menggantikan Gavin. Ini bukan kebetulan seperti dalam serial drama.
"Haish! Kenapa rasa ingin mengusir tapi hati justru ingin menyuruhnya masuk."
-----***------
Bersambung