BAB 8

1410 Words
TERJERAT CINTA WANITA PANGGILAN 8 Oleh: Kenong Auliya Zhafira Melihat orang yang dulu pernah dekat lalu terpisah karena masalah rasanya pasti seperti jantung terbelah. Rasa bersalah akan kejadian lalu seakan berputar kembali dalam ingatan. Walaupun penampilan berbeda, namanya pernah dekat dan berteman pasti bisa mengenalinya. Air mata Keya menitik satu per satu melihat Yesha berada di sana. Wajahnya terlihat lebih cantik, apalagi senyum manis itu masih sama seperti dulu. Tidak ada perubahan yang berarti dalam dirinya. Keya berjalan tertatih menuju mereka. Ada rasa tidak percaya kalau Lian bisa mengenal Yesha. Entah takdir macam apa hingga membuat pertemuan ini. Melihat sorot mata Lian berbinar menyapa Yesha semakin membuat rasa penasaran menggebu. Tiba-tiba di kepalanya banyak pertanyaan tentang mereka. Bagaimana keduanya bisa saling kenal? Mereka terlihat akrab, bahkan obrolan dua manusia itu terdengar begitu bahagia di rungunya. Keya berjalan hingga kini berada di belakang mereka. Kebimbangan tiba-tiba datang ketika hati ingin menyapa. Namun, logikanya ingin memastikan bahwa wanita di depannya memang benar sahabat yang dulu dilukainya–Yesha Sasmaya. "Yesha ...," panggil Keya sembari menyentuh lengan wanita yang mirip Yesha. Semua orang menoleh, termasuk Lian dan Elena. Mereka menatap Keya dengan sorot mata yang entah. Mayasha menoleh, melihat wanita yang dulu pernah membuat hatinya hancur berkeping-keping. Setelah sekian lama bersembunyi, akhirnya dipertemukan lagi di tempat yang tidak terduga. Lebih baik berpura-pura tidak mengenalnya, daripada harus mengenang peristiwa dulu. "Maaf ... Anda salah orang. Saya bukan Yesha. Nama saya Mayasha Elena," jawab Mayasha dengan sorot mata tajam, seakan tengah berusaha menahan semua kesakitan. "Enggak mungkin salah, Yes ... aku tahu itu kamu. Aku Keya, Keya Olivia. Kamu lupa?" tanya Keya dengan rasa tak percaya kalau wanita di depannya bukan Yesha. "Maaf. Anda salah orang." Mayasha tetap menyangkal lalu menarik tangan Elena segera menjauh. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, Mayasha melirik Lian sekilas. Terlihat jelas wajahnya menyiratkan banyak pertanyaan. "Lian, saya belanja dulu. Senang bertemu denganmu di sini," pamit Mayasha lalu kembali berjalan mencari semua kebutuhan hidup. Keya yang melihat Yesha menjauh berusaha mengejarnya. "Yesha, tunggu! Aku pengen bicara! Dengerin dulu!" teriak Keya. Namun, Lian menahan tangannya, sementara Mayasha telah menghilang dalam kerumunan pengunjung. Lian yang sejak tadi diam dan melihat mulai geregetan dengan sikap wanita di depannya. "Cukup, Key! Bukankah Mayasha sudah bilang tidak mengenalmu? Tidak perlu kamu mengejarnya. Aku tidak tahu masalah apa yang kamu hadapi dengan wanita bernama Yesha, tapi tolong kendalikan sikapmu. Ini di tempat umum ... lihatlah mereka! Apa kamu tidak malu?" Lian memperlihatkan tatapan orang-orang sekitar dengan dagunya. Seketika Keya memandang orang-orang dengan hati linglung. Ia melupakan rasa malu untuk sebuah pertanyaan yang belum jelas. Namun, sisi hatinya meyakini kalau wanita itu adalah Yesha. "Apa kamu kenal dengannya?" tanya Keya sambil menatap Lian. "Mau aku kenal atau apa pun itu, bukan urusanmu," jelas Lian kemudian berlalu pergi meninggalkan Keya yang masih kebingungan. Keya melihat punggung pria yang dulu pernah mengisi hatinya setelah kepergian Marvin. Perbedaan sikap Lian yang terlalu kentara membuat dadanya sesak. Namun, rasa ini mungkin tidak sebanding dengan kecewanya. Bayang seperti inilah yang akan dihadapinya setiap malam. Berjalan berbalik dengan langkah lesu, Keya menuju tempat makan di area swalayan. Ia mengingat ada janji temu dengan Tante Elsa. Mungkin ini kesempatan untuk menyetujui keputusan Lian, sekalian mengatakan keputusan yang semalam baru diambil bersama Marvin. Ketika sampai di depan warung fried chicken, ponsel dalam saku berdering. Keya bergegas menerima panggilan telepon dari Tante Elsa–ibunya Lian. "Halo, Tante ...." "Kamu di mana, Key?" "Saya sudah di warung fried chicken, Tan." "Ya sudah ... kamu tunggu." Panggilan telepon berakhir. Keya masuk dan langsung memesan es jeruk ke warung minuman yang terletak bersebelahan dengan warung fried chicken. Hanya dinding kaca sebagai pemisah. Keya menatap sekeliling. Ada beberapa remaja dan keluarga yang sengaja singgah untuk menambah energi setelah puas berbelanja. Senyumnya merekah bisa melihat mereka semua ikut merasakan keuntungan dari pihak swalayan. Hatinya mendadak bangga bisa ikut menjadi bagian dari swalayan yang didirikan oleh keluarga Lian. Ketika tengah asyik membanggakan diri, ponsel di saku kembali bergetar. Ternyata ada pesan dari Marvin. Senyum manis itu kembali terukir di sudut bibirnya mendapat perhatian yang sempat menghilang. Marvin [Siang, Sayang ... jangan lupa makan siang. Calon Nyonya Marvin harus kuat sampai nanti datang hari bahagia.] Entah kenapa, setelah mengalami perpisahan, Marvin terasa lebih dewasa dalam bersikap. Ia mampu mengganti kesalahannya. Akan tetapi, kenapa harus butuh waktu selama itu. Hingga sampai membentuk hati baru dan menghancurkannya berkeping-keping. Keya menghela napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Mengingat dulu adalah hal yang tidak ingin ia lakukan saat ini. Baginya, Marvin menepati janjinya itu sudah sangat cukup. Sedangkan luka Lian akan menjadi penyesalan terbesar kedua dalam hidup. Alunan musik tiba-tiba terdengar di warung. Menambah suasana hati mulai membaik setelah syok melihat wanita yang mirip Yesha. Meskipun hati kecilnya meyakini kalau itu memang benar, tetapi kenyataannya bukan dia. Daripada memikirkan orang yang salah, Keya memilih menarikan ibu jarinya membalas pesan dari Marvin. Senyum terus menghiasi kedua sudut bibirnya. Keya [Siang juga ... ini lagi nunggu Tante Elsa buat makan siang. Mumpung ketemu, nanti sekalian mau bilang tentang kita.] Ponsel kembali diletakkan di meja, lalu jemarinya gesit mengaduk es jeruk yang berada di hadapan. Meminumnya sekali hingga cukup membasahi tenggorokannya yang kering. Dari balik kaca pintu masuk, Tante Elsa terlihat sedang berjalan menuju warung. Gaya pakaiannya selalu terlihat mengikuti fesyen layaknya ibu-ibu muda. Para penjaga warung membungkukkan badan melihat pemilik swalayan mendatangi warung mereka. Tante Elsa tersenyum pada mereka sebagai bentuk sopan santun. Bersikap saling menghormati selalu dipegang teguh olehnya untuk menjaga tali silaturahmi antar karyawan. Karena sikapnya lah, Keya menganggap Tante Elsa seperti ibunya sendiri. Keya melambaikan tangannya untuk memberi tahu keberadaan dirinya. Melihat Keya memberi kode, Tante Elsa bergegas menghampiri. Mereka saling mencium pipi kanan dan kiri. "Kamu sudah lama nunggunya?" tanya Tante Elsa setelah duduk saling berhadapan. "Belum, kok, Tan ... mau pesen minum nggak?" tawar Keya. "Boleh deh ... es jeruk saja, sama kayak kamu." Wanita yang pernah berkeinginan memiliki menantu seperti Keya terus memperhatikan gerak tubuhnya saat berbicara pada pelayan warung. Ada rasa menyesal kenapa Lian tidak mau memperjuangkan hubungan yang sudah mencapai tahap serius. Baginya Keya wanita cantik, ceria, cerdas, dan bisa memahami sifat anaknya, Lian. Namun, harapan itu akan sirna karena Lian memutuskan pertunangan. Kepalanya masih terus mencari alasan apa yang membuat Lian begitu marah. Sebagai wanita yang melahirkan Lian, dirinya tahu betul kalau Lian tidak pernah main-main dengan ucapannya. Sekeras apa pun berusaha meyakinkan, jika dirinya sudah tidak menginginkan, maka tidak ada yang bisa memaksanya. Menikmati waktu berdua bersama calon menantu hari ini mungkin akan menjadi yang terakhir. Tante Elsa terus menatap kekurangan apa yang membuat anaknya memutus hubungan. Ketika melihat Keya meminum es jeruknya, tiba-tiba raganya serasa dipukul puluhan kayu. Sebuah cincin emas melingkar jelas di jari manisnya. Cincin dengan model berbeda, bukan cincin yang dulu dipilihkan olehnya saat pertunangan. Tante Elsa merasa salah tingkah melihat kenyataan yang membuat Lian menyudahi hubungan. Sungguh sangat disayangkan jika Keya menduakan anaknya. Bahkan berani menerima pinangan orang lain setelah beberapa hari diputuskan Lian. Daripada menerka lebih dalam, Tante Elsa ingin menanyakan langsung pada orangnya. Agar hatinya bisa lega mendengar alasan Keya. "Key ... kamu sama Lian gimana?" tanya Tante Elsa pura-pura ingin tahu. "Seperti yang Lian mau, Tan. Semuanya berakhir." Tante Elsa menghirup napas dalam, lalu mengembuskannya kasar. Keya terus menikmati es jeruk sembari mengobrol. "Apa benar kamu menduakan Lian? Siapa yang telah memakaikan cincin emas itu di jari manismu?" tanya Tante Elsa dengan sorot mata tajam. Membuat Keya susah payah menelan ludahnya sendiri. "I--itu, Tan ... aku tahu, aku salah. Aku telah berkhianat pada Lian," jawab Keya dengan bibir bergetar. "Jadi benar kamu mendua? Dengan siapa?" Tante Elsa mulai tegang mengetahui orang yang telah menorehkan luka pada anaknya. Keya menggigit bibir bawah untuk menemukan jawaban yang tepat. Padahal tidak ada jawaban yang tepat untuk sebuah pengkhianatan. "Katakan, Key ... pria mana? Namanya siapa?" tanya Tante Elsa seolah tidak sabar. Kepala Keya mendongak. Sementara ibunya Lian menatapnya dengan sorot mata tak percaya. Bisa-bisanya wanita secantik Keya bisa menduakan cinta. Miris. "Ma--marvin, Tan." Keya menjawab terbata-bata, takut menyinggung perasaan Tante Elsa. "Jadi kamu main api sama Marvin? Temannya Lian?" tanya Tante Elsa sekali lagi memastikan pendengarannya salah. Keya mengangguk. "Maaf, Tan. Semoga menjadi saling pengertian antara aku sama Lian." Tubuh sudah tidak bertenaga mendengar penjelasan Keya. Bagaimana mungkin Lian tidak tahu kalau mereka punya hubungan. Namun, rasa percaya padanya menjadi minus. Hatinya bersorak karena dijauhkan dari menantu yang tidak bisa menghargai pasangan dengan menjadi satu-satunya cinta. "Jadi semua ini karena Marvin? Lalu bagaimana perasaan Lian saat tahu Keya akan menikah dengan sahabatnya sendiri?" -------***----- Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD