"Makanan kalengan itu praktis, Ezra," balasku. “Selain untuk efisiensi waktu, rasanya juga lumayan enak,” lanjutku menambahkan.
"Iya, tapi nggak bagus untuk kesehatan karena punya zat karsinogenik yang bisa jadi penyebab kanker, Lun, dan kemungkinan adanya toksin Clostridium botulinum di dalam kaleng itu bisa buat kamu keracunan," balas Ezra dengan penjelasan ilmiah yang panjang dan lebar. Tangan pria itu kemudian mengambil tiga kaleng ikan tuna yang ada di dalam keranjangku dan meletakkannya kembali ke tempat semula.
Aku hanya bisa mendelik pada Ezra ketika pria itu memberikan senyum jumawanya ke arahku dan bersikap seolah nggak bersalah setelah mengembalikan tiga kalengan ikan tunaku.
Namun, kembali lagi pada alasan karena nggak ingin memancing keributan, maka aku memilih untuk diam dan menuruti ucapan Ezra saja. "Iya, iya, Pak Guru," cibirku menyindir pria, tetapi orang yang aku sindir itu malah cuek saja dan nggak mengindahkan ucapanku dengan serius.
Atensiku kini beralih dari lorong makanan kalengan pada lorong makanan instan dan berbagai jenis camilan ringan seperti keripik dan kawan-kawan sejenisnya. Aku menyusuri lorong ini dan meneliti satu per satu produk yang terpampang di rak sepanjang lorong. Bukan hanya produk Indonesia saja yang ada di sana, melainkan produk impor dari luar negeri juga nggak kalah banyak.
Tanganku mengambil sepuluh bungkus mi instan dengan berbagai rasa dan memasukkannya ke dalam keranjang yang sudah hampir penuh ini.
"Persediaan!" kataku sebelum Ezra sempat melontarkan protes dari mulutnya. "Untuk sebulan ke depan. Janji!" lanjutku meyakinkan pria itu. Mendengar ucapanku, Ezra pun merotasikan bola matanya sembari mendengus ke arahku, meskipun nggak mengeluarkan suaranya.
Beralih dari mi instan, kini tanganku aku memasukkan tiga bungkus keripik kentang buatan Indonesia dengan rasa yang berbeda-beda. Alasan utama aku memilih produk Indonesia adalah karena selain harganya yang jauh lebih terjangkau oleh dompetku, rasanya juga lebih cocok di lidahku daripada produk impor yang harganya selangit itu.
"Makanan kamu jangan yang processed food terus kenapa, sih?!" tanya Ezra gemas. Namun, pria itu nggak mengembalikan belanjaan yang aku ambil seperti yang dilakukannya pada makanan kalenganku sebelumnya.
"Enam puluh lima persen dari isi keranjang kamu ini semua makanan nggak sehat yang ada MSG-nya, Lun," lanjut Ezra menjelaskan.
“Aku jadi penasaran, deh. Sebenarnya dulu kamu belajarnya tentang tekstil dan manajemen atau malah belajar food tech, ya?” balasku bertanya dengan nada menyindir Ezra. "Udahlah, toh aku nggak makanan itu juga setiap hari,” lanjutku beralasan.
Ezra tampak menghela napas, sepertinya pria itu sedang mengisi tangki kesabaran yang sudah hampir habis karena menghadapiku yang keras kepala ini. Mendapati hal tersebut, aku pun terseyum selebar mungkin pada Ezra, berharap kekesalan pria itu padaku luntur seketika.
"Ayo, ke kasir," ajakku kemudian menyatukan tanganku dengan milik Ezra dan menarik pria itu untuk mengikuti langkahku menuju kasir.
Meskipun waktu semakin malam, tetapi supermarket ini nggak semakin sepi, malah sebaliknya. Pengunjung yang datang ke supermarket ini malah semakin banyak, bahkan sampai setiap loket kasir dipenuhi oleh pengunjung yang berbaris dan hendak melakukan p********n. Begitu juga dengan aku dan Ezra.
Kini tiba giliranku untuk melakukan p********n. Saat pegawai kasir menyebutkan nominal yang harus aku bayar, Ezra tampak hendak mengeluarkan dompetnya dari saku celana. Namun, aku sudah lebih dulu menahan tangan pria itu dan segera menyodorkan kartu debitku yang berwarna biru muda pada pegawai kasir.
Seperti biasanya, Ezra kekeuh ingin membayarkan belanjaanku, tetapi aku selalu menolaknya dan memberikan delikan pada pria itu seakan-akan berkata 'jangan berani-beraninya melakukan itu!'
Aku bersyukur karena Ayah sempat membukakan satu rekening tabungan untukku, meskipun saat itu aku masih belum genap berusia 15 tahun. Ayah membuatkan rekening ini beberapa bulan sebelum kepergian beliau.
Ayah bukakan rekening untuk kamu supaya bisa open art commision. Kamu 'kan suka gambar sama edit-edit.
Kira-kira begitulah yang Ayah katakan padaku saat itu. Aku memang sudah suka menggambar sejak kecil, bahkan ada gambar-gambar hasil dari coretan tanganku yang masih terpampang di beberapa bagian dinding kamarku.
Seiring dengan bertambah usiaku, aku pun mulai menjelajahi aplikasi Photoshop dengan laptop milik Ayah. Namun, nggak jarang aku mencebik kesal karena laptop Ayah nggak beroperasi dengan baik ketika menjalankan aplikasi Photoshop. Pada akhirnya, Ayah pun membelikanku sebuah laptop baru yang harganya nggak tergolong murah dan benda itu masih aku gunakan sampai saat ini.
Sejak saat itu, aku pun mulai sering menerima komisi untuk desain logo, poster, bahkan sampai ilustrasi animasi perorangan. Dari uang-uang yang nggak terlalu banyak itulah aku menyambung bisa hidup setelah kepergian kedua orang tuaku. Namun, dengan catatan aku harus meminimalisir pengeluaranku dengan sehemat mungkin.
Lamunanku yang berisi kejadian-kejadian di masa lalu lantas buyar seketika saat pegawai kasir yang ada di hadapanku menyodorkan kartu debit milikku beserta satu lembar struk yang cukup panjang ke tanganku.
Tanganku menerima kedua benda berbentuk lembaran itu dan menyimpannya di belakang sarung ponselku. Tentu saja setelah aku melipat kertas struk belanjaan tadi terlebih dahulu agar muat untuk masuk ke dalam sana.
Ezra membantuku membawakan salah satu kantung belanja berwarna putih. Sementara itu, aku membawa satunya lagi yang berbobot lebih ringan.
Saat kami hendak berjalan keluar dari area supermarket, Ezra menghentikan langkahnya dan memutar tubuh ke belakang. Mau nggak mau, aku pun mengikuti gerakan pria itu dan berbalik ke belakang juga.
Mataku lantas menangkap sosok seorang wanita cantik yang sedang berdiri di hadapan kami. Wanita itu tampak modis dengan pakaian yang dapat aku pastikan harganya menguras isi dompet itu, terlebih lagi ketika menemukan tasnya yang berasal dari salah satu merek desainer Prancis ternama.
Beralih dari penampilan wanita itu, kini aku fokus pada wajahnya yang jelita. Siapapun yang melihat rupa wanita di hadapanku ini pasti akan menyetujui kalimatku sebelumnya yang mengatakan bahwa dia ayu dan cantik.
Apa Ezra juga berpikir demikian? batinku menerka dan bermonolog di dalam hati.
Aku memilih untuk mengabaikan itu karena hal terpenting yang ingin aku ketahui saat ini adalah siapa wanita itu dan apa hubungannya dengan Ezra. Tentu saja wanita itu mengenal Ezra karena Ezra sendirilah yang membalikkan tubuhnya ke belakang, mungkin karena wanita itu memberikan tepukan pada pundak pria itu.
"Ju ... lia?" gumam Ezra dengan eksprei ketidakpercayaan yang tergambar jelas di wajah pria itu.
"Halo, Zra!" balas wanita bernama Julia itu dengan lambaian tangan dan senyum lebar yang terpatri di bibirnya. Wanita itu juga memberikan senyum sebagai sapaan padaku, meskipun nggak selebar yang dia berikan pada Ezra.
Tanpa aba-aba, Julia menubruk tubuh Ezra dan membawa pria itu ke dalam pelukannya. Aku hanya bisa menjadi penonton yang melihat adengan dua insan manusia itu sambil melongo dan bergeming di tempat
Apa-apaan itu? batinku bertanya pada diri sendiri di dalam hati. Namun, aku nggak menyuarakannya pada Ezra dan Julia, melainkan membiarkan saja apa yang sedang mereka lakukan.
Awalnya, Ezra terkesiap kaget ketika mendapati perlakuan yang sangat mendadak itu dari Julia, tetapi pria itu pada akhirnya membalas pelukan wanita itu juga. Hal itu sukses membuat keningku berkerut dalam dan mencibir nggak suka di dalam hati.
Bisa-bisanya pria ini memeluk wanita lain di hadapanku, batinku merutuk kesal di dalam hati. Terlebih lagi ini di tempat umum, lanjutku membatin.
"Kamu kapan sampai Indo?" tanya Ezra yang sudah mengurai pelukannya dan Julia.
"Kemarin malam baru sampai sini," jawab Julia. Wanita itu sepertinya tampak kecewa dengan ulah Ezra yang memberikan jarak di antara tubuh mereka tadi.
"Ini siapa, Zra?" lanjut Clara bertanya dengan mata yang kini mengarah padaku.
Ezra terkekeh dengan tangannya yang menarikku untuk semakin merapat padanya. Tangan pria itu kemudian merangkul pundakku.
"Pacar aku," jawab Ezra ringan.
Sejenak, aku bergeming ketika mendengar ucapan yang baru saja keluar dari mulut Ezra. Ini adalah pertama kalinya pria itu mengenalkanku pada kenalannya dan hal itu sukses membuatku takjub.
Maksudku ... aku berekspetasi bahwa pria itu nggak akan secara gamblang mengatakan mengenai status hubungan kami, tetapi sepertinya pemikiranku salah besar. Ezra malah tampak percaya diri ketika mengenalkanku sebagai pacaranya pada wanita yang sedang berdiri di hadapan kami saat ini.
Hanya orang bodoh yang nggak mampu membaca adanya ketertarikan di mata Julia yang ditujukan untuk Ezra. Meskipun aku baru pertama kali memiliki hubungan yang spesial dengan lawan jenis, tetapi aku tahu persis bahwa wanita bernama Julia itu menaruh hati pada pacarku. Namun, hubungan keduanya masih menjadi tanda tanya yang besar untukku.
"Kamu udah main ke rumah, Jul?" tanya Ezra melanjutkan.
"Belum, tapi besok aku rencana mau ke sana kok. Mau ketemu Tante Sari juga," jawab Julia yang sudah merubah ekspresi wajahnya dengan cepat menjadi raut antusias.
"Oke. See you then ...," ujar Ezra. "Kalau gitu, kami duluan, ya," lanjut pria itu yang sudah membawa tanganku ke dalam genggamannya.
Sebelum Ezra benar-benar menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya, aku memberikan seulas senyum tipis pada Julia sebagai bentuk kesopanan sebelum berbalik dan meninggalkan wanita itu di belakang sana tanpa menoleh lagi.
Setelah beberapa langkah menjauh dari Julia dan memastikan bahwa aku dan Ezra sudah benar-benar nggak tertangkap oleh indra penglihatannya, aku pun meringsut menjauh dari Ezra. Tanganku mengurai tautan tangan kami dan sukses membuat Ezra mengerutkan keningnya.
Nggak memberikan kesempatan bagi Ezra untuk bertanya atau hanya sekadar membuka mulutnya, aku pun berjalan mendahului pria itu menuju mobilnya, sementara dia sendiri mengekoriku dari belakang.
Seolah mengerti dengan suasana hatiku yang sedang menurun drastis, Ezra lantas membuka kunci pada pintu mobilnya dengan cepat. Tanpa berkata apapun, aku langsung masuk ke dalam mobil Ezra dan meletakkan kantung plastik yang ada di tanganku ke kursi penumpang belakang.
"Hei, kamu kenapa?" tanya Ezra dengan lembut sementara tangannya meraih wajahku agar menatap ke arahnya. Mata pria itu mengunci mataku sehingga tatapanku nggak bisa beralih ke mana-mana.
"Kamu masih bisa tanya aku kenapa?!" balasku bertanya dengan nada yang sarat akan ketidakpercayaan dalam kalimatku. "Kamu masih waras, 'kan, Ezra?" cecarku melanjutkan.