Thread Madness - Part 11a

1576 Words
Seperti janji Ezra yang mengatakan akan menemaniku berbelanja bahan makanan untuk mengisi kulkasku, pria itu pun menepati ucapannya dan membawaku ke salah satu supermarket terbesar di kota ini. "Wah, rame banget," celetukku ketika mobil yang dikendarai oleh Ezra baru saja memasuki area parkiran supermarket setelah mengambil karcis dari loket parkir. Suasana di lobi dan parkiran supermarket tampak padat merayap dan masih ada beberapa mobil di depan sana yang sibuk berkeliling untuk mencari tempat parkir mereka. “Kita pulang aja, yuk," lanjutku mengusulkan karena sudah pasti kami akan sulit mendapatkan tempat parkir di saat sedang ramai-ramainya begini. "Ngapain?" tanya Ezra dengan sebelah alis yang terangkat. “Kenapa malah ajak pulang?” lanjut pria itu bertanya karena nggak mengerti. "Ini rame banget loh. Itu mobilnya sampai pada antri di lobi padahal cuma untuk drop penumpang aja," balasku sembari menunjuk area lobi yang kami lewati dengan jariku. “Pasti nggak ada tempat parkir lagi, deh,” lanjutku berujar pada Ezra. "Udahlah. Kamu cuma perlu duduk tenang aja di tempat," titah Ezra membalas. "Kita putar-putar cari tempat parkir dulu, oke?" tanya pria itu melanjutkan. Aku pun menganggukkan kepala pada akhirnya dan nggak lagi membalas ucapan Ezra, apalagi membantah pria itu. Namun, setelah kami sudah berputar satu putaran mengelilingi seluruh lapangan parkir, nggak ada satu pun tempat kosong yang tersedia, sementara mobil yang berada di depan dan belakang kami masih banyak yang juga belum mendapatkan tempat parkir. "Kita pulang aja, deh. Udah mutar satu kali juga nggak dapat-dapat, 'kan?" bujukku pada Ezra. “Lagi pula, kamu ‘kan baru pulang kerja juga. Mendingan istirahat aja di rumah,” lanjutku menambahkan. Ezra menggelengkan kepalanya, menolak dan nggak setuju dengan ucapanku. "Itu di depan ada yang mau keluar," celutuk pria itu setelah menjalankan mobilnya beberapa meter ke depan. Ezra meminggirkan mobilnya ke arah kiri agar nggak menjadi penghambat laju mobil-mobil di belakang sana. Pria yang sedang duduk di sebelahku ini juga nggak lupa menghidupkan lampu sen kiri sebagai tanda bahwa dia sudah mereservasi tempat parkir yang ada di depan kami. "Nah 'kan, dapat juga. Makanya jadi orang itu yang sabar, ya, Sayangku," kata Ezra dengan nada gurau setelah mobilnya sudah terparkir sempurna di tempat yang kami tunggu-tunggu sedari tadi. Tangan pria itu nggak lupa mendarat pada pipiku dan memberikan cubitan kecil di sana. "Iya, iya, tapi dapatnya 'kan lama juga," balasku mencibir pada Ezra. Pria itu terkekeh ketika mendapati ekspresi wajahku yang mencebik padanya. "Semua butuh perjuangan, Lunaku Sayang ...,” kata Ezra dengan gemas sebelum membuka pintu mobil dan keluar dari kendaraan beroda empat ini. Aku lantas mengikuti gerakan Ezra dan keluar dari mobilnya. Pria itu langsung merangkul pundakku ketika aku berdiri di sisinya. Aku dan Ezra menyebrangi jalan dari tempat mobil pria itu terparkir untuk menuju ke pintu masuk supermarket yang berjarak lumayan jauh. Benar saja dugaanku, saat aku dan Ezra memasuki area supermarket, suasana ramailah yang pertama kali menyapa kami. Indra penglihatan kami langsung disuguhkan oleh banyaknya pembeli yang berlalu lalang ke sana ke mari layaknya sekelompk semut yang bergotong-royong untuk mengangkut makanan mereka. Baiklah, memang perumpamaan tadi cukup berlebihan, tetapi memang seperti itulah faktanya. Bahkan sampai ada ibu-ibu yang mengomel di tengah jalan karena bokongnya ditabrak oleh seorang bapak-bapak dari arah belakang. Ibu dengan rambut keriting itu pun lantas sewot, sementara si penabrak malah cuek bebek dan merasa nggak bersalah sedikit pun. Si Ibu itu pun lantas mengomel panjang lebar dengan jari yang menunjuk pada wajah si Bapak penabrak tadi. Atensiku kini beralih dari keributan antar dua pengunjung supermarket itu pada Ezra. "Mau pakai troli atau keranjang?" tanya Ezra membuka suara. Sementara itu, tangannya masih setia merangkul pundakku tanpa menjauhkan sedikit pun. Belum sempat aku menjawab pertanyaan Ezra, pria itu sudah hendak meraih sebuah troli yang bersatu dengan troli lainnya, tetapi tanganku sudah lebih dulu menahannya sehingga pergerakan pria itu menjadi urung. Ezra melayangkan tatapan penuh tanya ke arahku dengan kening yang mengerut. "Pakai keranjang aja. Repot kalau pakai troli, apalagi pas ramai-ramai begini. Jalanan di dalam sana pasti sempit," jelasku menyarankan. Tanpa berkata apapun, Ezra lantas menyetujui ucapanku dengan anggukan kepala dan meraih sebuah keranjang berwarna merah yang terletak di sebelah deretan troli yang terparkir rapi. Saat kami sampai di koridor supermarket yang berada di deretan yang sama dengan loket kasir, seorang pria paruh baya berpakaian sekuriti menyapa kami dengan senyum kecil di bibirnya. Aku langsung disambut oleh udara dingin ketika kakiku sudah benar-benar melangkah masuk ke dalam area supermarket, terlebih lagi ketika mendapati adanya tempat pendingin besar yang berada di dekat koridor masuk. Tujuan pertamaku dan Ezra adalah bagian buah dan sayur. Aku mengambil sebuah buah semangka yang cukup besar dan berbentuk lonjong. Melihatku yang cukup kesusahan mengangkat buah semangka itu, Ezra pun berinisiatif mengangkatkannya untukku, sementara aku yang menggantikannya untuk memegang keranjang. Ezra membawa buah itu menuju tempat penimbangan, sementara aku memilih beberapa biji buah apel sebelum memasukkannya dalam kantung plastik kemudian membawanya menuju tempat penimbangan yang sama dengan Ezra. Setelah dua jenis buah yang aku pilih tadi sudah masuk ke dalam keranjang, kini destinasi selanjutnya adalah bagian sayur-sayuran yang hanya bersebelahan dengan bagian buah tadi. Tangan Ezra meraih beberapa bungkus sayuran seperti bayam, selada air, sawi, asparagus, dan memasukkannya ke dalam keranjang yang kini sudah berpindah kembali ke tangan pria itu. Aku bergidik ngeri saat menemukan keranjang belanjaan itu hampir dipenuhi oleh sayuran berdaun yang berwarna hijau. Ketika Ezra hendak mengambil sayuran lain, aku pun segera menahan tangan pria itu. “Jangan sebanyak itu!" tegurku sembari menangkap tangan pria itu dan menghentikan gerakannya. "Udah cukup. Aku nggak terlalu suka sayur, Ezra," lanjutku mengingatkan Ezra. "Sayur itu bagus, Lun," ujar Ezra memberi nasihat. Namun, tangannya sudah berhenti meraih sayuran berdaun dari lemari pendingin supermarket. "Seratnya tinggi dan bagus untuk pencernaan," lanjut pria itu menjelaskan. Aku menggeleng dan nggak mengindahkan penjelasan yang baru saja keluar dari mulut Ezra. Bodo amat! Toh, aku ‘kan ada makan sayuran, kecuali aku nggak memakannya sama sekali! gerutuku pada diri sendiri di dalam hati. "Iya, aku tau, tapi aku memang dari dulu nggak terlalu suka sayur, Ezra,” balasku. “Lagi pula, aku ‘kan juga ada makan sayur. Beda ceritanya kalau aku nggak makan sayur sama sekali,” lanjutku menjelaskan. “Oke. You win,” cibir Ezra dengan nada guraunya. Setelah itu, Ezra nggak lagi membalas ucapanku, pria itu hanya menganggukkan kepalanya tanpa mengurangi sayuran yang sebelumnya sudah dia masukkan ke dalam keranjang dan berjalan beberapa langkah di depanku. Aku membiarkannya saja tanpa berniat untuk meminta Ezra agar mengurangi sayuran-sayuran itu. Setidaknya dengan pria itu nggak menambahkannya lagi saja sudah membuatku bersyukur. Beranjak dari area sayur dan buah, kini aku dan Ezra berhenti di area perdagingan. Aku mengambil satu pak d**a ayam fillet dan dua bungkus daging ikan fillet dari lemari pendingin yang terbuka. Melihat diriku yang baru saja memasukkan daging-daging itu ke dalam keranjang, Ezra pun lantas bertanya. "Yakin segini aja?" tanya Ezra memastikan sembari menunjuk ke arah bungkusan-bungkusan yang baru saja aku letakkan di dalam keranjang belanjaan. Pertanyaan pria itu lantas aku jawab dengan sebuah anggukan kepala. "Kenapa?" balasku bertanya kemudian. "Pantas aja kamu nggak tumbuh ke atas," cibir Ezra lagi-lagi dengan nada guraunya. Mendengar ucapan pria itu, aku pun lantas mendelik dengan tangan yang memukul pelan lengannya. Bisa-bisanya dia mengejeknya di depan umum seperti ini! gerutuku pada diri sendiri di dalam hati. Untung aja pacar sendiri, lanjutku membatin. "Iya, ejek aja terus," balasku menyindir Ezra sebelum berlalu dari hadapan pria itu untuk menuju ke area lain di supermarket ini. Di belakang sana, aku bisa mendengar kekehan yang keluar dari mulut Ezra. Pria itu tanpa aba-aba sudah berdiri di sebelahku dan meletakkan dua pak ayam kampung ke dalam keranjangku. Ulah Ezra itu sukses membuatku menatap ke arahnya sebelum menghela napas kecil. "Mau protes apa lagi? Nggak suka ayam?" tanya Ezra dengan alisnya yang terangkat sebelah. "Bohong banget kalau kamu bilang gitu. Jelas-jelas kamu sendiri yang bilang kalau ayam itu kesukaanmu," imbuh pria itu melanjutkan. Aku menggeleng kecil dan mendesah setelah mendengar ucapan yang lebih cocok disebut dengan tuduhan dari Ezra tadi. "Bukan itu masalahnya sekarang," balasku dengan nada tenang. Lebih tepatnya berusaha tenang karena aku nggak mau menjadi pusat perhatian jika aku mendebat Ezra di depan umum seperti ini. "Kulkas aku cuma punya sepetak kecil freezer, Ezra! Kulkas di rumahhku itu satu pintu aja kalau-kalau kamu lupa," lanjutku sebelum mendengus. Ezra nggak lagi membalas ucapanku, sepertinya pria itu memang lupa dengan fakta yang sudah aku beberkan sebelum-sebelumnya itu. Memang terkadang otaknya yang pelupa itu sering sekali membuatku menggelengkan kepala. Kayak kamu sendiri nggak pelupa aja, Lun, dengusku pada diri sendiri di dalam hati. "Now, please put it back again," titahku pada Ezra dan langsung dituruti oleh pria itu tanpa bantahan. Nggak berapa lama setelah kepergiannya, Ezra sudah kembali dan berdiri di sisiku padahal aku sudah berpindah beberapa lorong dari tempatku berada sebelumnya. Namun, pria itu masih tetap bisa menemukanku dengan mudahnya di antara keramaian supermarket ini. Kira-kira bagaimana pria itu bisa menemukan diriku, terlebih lagi tubuhku yang kecil ini pasti tampak seperti tenggelam di antara lautan manusia di sini. Aku nggak menyusuri lorong di mana tempat bumbu dan bahan dapur berada. Selain karena untuk menghemat waktu dan nggak ingin berdesakkan dengan pengunjung yang berada di lorong itu, bumbu dapur di rumahku juga masih tersisa lumayan banyak karena minggu lalu aku baru saja mengisinya satu per satu sampai penuh. Kakiku kini sedang menyusuri lorong bagian makanan kalengan dengan Ezra yang setia berdiri di sebelahku. "Jangan kebanyakan makan makanan kalengan," tegur Ezra ketika tanganku baru saja memasukkan lima kaleng ikan tuna ke dalam keranjang yang berada tepat di sebelah kakiku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD