Hening. Dingin.

1395 Words
Aku membuka mata perlahan. Ada selang infus di tangan. Ruangan ini bukan di kamarku. Kenapa harus di sini? Denyut itu terasa lagi. Nyeri dan pedih. Aku ingin mengingat semuanya tapi kepalaku sakit. Tak ada tenaga dan kekuatan bahkan untuk menggerakan tangan. Semuanya kembali berputar-putar. Aku tidak pernah merasa selemah ini sebelumnya. Apa karena suara lenguhan mereka saat bercinta? Itu sangat memualkan bagiku. Mereka? Siapa? Kunang-kunang di mataku semakin banyak. Setelah itu kesadaranku kembali pergi. Setelahnya aku tidak tau apa yang terjadi. Dan tidak tau sudah berapa lama aku terkulai tanpa daya. Terkadang aku bisa mendengar suara-suara di samping tempatku berbaring. Ada yang mengganti infusan. Ada yang berbisik pelan, ada juga yang menyebut namaku berulang-ulang. Kemudian hening dan gelap. Mataku sulit dibuka. Kesadaranku tak lagi sempurna, kadang datang lalu hilang. Tubuhku serasa tak bertulang. Tak ada kekuatan bahkan tak mampu untuk membuka mata. Apa yang terjadi, Tuhan? “Bangunlah, Khayra. Kamu itu wanita kuat. Aku memang tidak mengenalmu tapi dari ceritanya kau adalah perempuan istimewa. Bangunlah. Apa kau tak ingin melihatnya?” Suara itu. Suara yang kini tak asing lagi di telingaku. Suara yang begitu lembut dan selalu menyuruhku bangun. Apa dia seorang dokter? Apa dia perawat yang mengurusku? Aku ingin melihat wajahnya. Tidak bisa, mataku sulit terbuka dan tubuhku tak berdaya. Hanya air mata yang mampu mengalir sebagai isyarat aku merespon dan mendengar kata-katanya. Hening. Dingin. Setelahnya yang kudengar adalah bunyi sepatu yang menjauh. *** “Khayra, kumohon bangunlah. Jangan siksa dia terlalu dalam. Dia sudah cukup depresi selama ini. Bangunlah ….” Suara itu lagi. Suara lembut perempuan yang lagi-lagi membangunkanku. ‘Jangan siksa dia terlalu dalam?’ Siapa? Aku tidak pernah menyiksa seseorang. ‘Aku ingin bangun. Membuka mata dan menyaksikan dunia kembali tersenyum. Aku rindu lelaki yang selama ini kucintai, tapi aku lupa namanya juga lupa wajahnya. Kemana dia? Kenapa tidak kudengar suaranya?’ tanyaku dalam hati, sebab mulutku terkunci. Hening. Lama. Setelah itu seseorang mengganti pakainku. Tangan yang lembut, yang begitu hati-hati menyentuh tubuhku. Tangan malaikatkah? Setiap menggantikan bajuku tak pernah sekalipun kudengar suaranya. Hanya harum tubuhnya yang akrab di hidungku. Aroma greentea dan melati. Aku pernah mencium aroma ini selepas bangun tidur. Tapi di mana? Aku tak lagi mengingatnya. *** “Khayra … Dengarkan aku. Hari ini orang yang kamu cintai akan pergi. Dia berjanji tak akan kembali. Dia sudah pulang ke tempat semestinya. Kau tidak akan bisa menemuinya lagi. Apa kau masih tak mau bangun? Setidaknya bukalah matamu, untuk kepergiannya.” Bisikan itu terdengar lirih dan pedih. Siapa? Siapa orang itu? Aku bahkan lupa orang yang kucintai selama ini. Hening. Dingin. Suara sepatu mulai menjauh pergi. *** “Khayra, seseorang akan datang padamu. Orang yang selama ini kau cintai dalam diam. Orang yang selama ini kau cintai dengan kesabaran.” Suara lembut itu menggema pelan di telinga. Benarkah? Orang yang kucintai? Aku merindukannya. Sungguh. Namun aku lupa nama dan wajahnya. Beritahu aku siapa namanya? Hening. Aku menanti dia melanjutkan kata-katanya. Berharap suara lembut itu menyebutkan nama orang itu sekali saja. “Khayra … Bangunlah. Aku ingin melihatmu bangkit lagi.” Hening. Dingin. Suara sepatu itu menjauh pergi. *** Terdengar suara gaduh di ruangan dan satu suara yang menyebut-nyebut namaku. Bunyi roda yang di seret, suara bip bip bip dari monitor yang berubah lengkingan tak lagi terdengar di telinga. Lalu kurasakan ada kejutan berkali-kali di dadaku. Tubuhku menggigil. Rasanya begitu dingin. Kesadaranku tumbang tidak kudengar suara apapun lagi, semua terasa sunyi. Sesaat. Beberapa detik kemudian. Kesadaranku kembali. Suara suara asing yang mengucap hamdalah kudengar berkali-kali. Ada apa? Apa yang terjadi? Tuhan, aku ingin bangun. *** Suara langkah kaki terdengar begitu dekat. Saat ini aku merasa lebih baik, meski mata belum bisa terbuka. Langkah itu berhenti tepat di sampingku. Tidak ada suara. Lama. Hening. Siapa? Jika perempuan bersuara lembut itu yang datang, dia pasti akan menyebut namaku dan menyuruhku bangun. “Khayra. Apa kau belum ingin bangun? Apakah tidurmu begitu nyaman?” Pertanyaan dan suara itu lagi. Ah suara lembut itu ternyata. Terimakasih sudah menyapaku lagi. Hening beberapa saat. Aku mendengar ada isak kecil yang tertangkap oleh indra pendengaran. Ada apa? Kenapa dia begitu peduli dan menangisiku? Siapa perempuan bersuara lembut ini? “Selama ini aku selalu bertindak hati-hati. Tidak ingin menyakiti orang lain. Tapi aku sadar, diri ini hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah. Jika malam itu aku tidak menuruti kemauannya untuk bersandiwara, mungkin kau tidak selemah ini Khayra. Maafkan aku. Sungguh maafkan.” Suara tangisnya pecah di ruangan. Aku tidak mengerti dengan kata-kata yang barusan diucapkannya. Malam itu? Perempuan bersuara lembut ini minta maaf padaku? Apa salahnya? Aku bahkan tidak mengenalinya, bukan?” Hening. Dingin. Suara sepatu menjauh pergi. *** “Assalamualaikum, Khayra.” Suara itu? Suara berat yang sedikit parau. Aku mengenalinya. Suara yang kurindukan setengah mati. Kenapa begitu lama? Dan baru kali ini menyapaku. Setetes bening itu kubiarkan mengalir, agar dia tau aku mendengarnya. “Sayang, kenapa tidurmu begitu lama? Tidak rindukan denganku? Aku di sini, buka matamu lalu makilah aku.” Isaknya terdengar jelas di telingaku. Memakinya? Itu tidak mungkin. Aku sangat mencintai suara itu. Sayang? Dia memanggilku Sayang? Bulir itu kembali meluncur. Aku bersyukur, Tuhan. Diberi kesempatan untuk mendengar kembali suaranya. “Monster di rumah besar itu sudah kubunuh. Kamu jangan takut, Sayang. Ada aku, ada aku yang akan terus menjagamu. Bangunlah Khayra Sayang. Aku rindu dunia yang bersinar dari matamu.” Apa maksudmu bicara begitu? Aku tidak mengerti. Monster? Kamu lucu, padahal selama ini aku tidak pernah bertemu dengan monster. Rumah besar? Apa itu tempat tinggalku? Untuk pertama kalinya aku merasakan detak di d**a sendiri. Detaknya begitu cepat seperti jantung kolibri. Hening. Dingin. Suaramu tidak terdengar lagi. Aku merasakan bibir itu mendarat di kening. Lama. Aku menangis bahagia. Aku ingin bangun, Tuhan. *** Kelopak mataku berkedut merasakan cahaya mengenai wajahku. Warna orange keemasan. Perlahan-lahan kelopak mataku bergerak. Sedikit-demi sedikit mulai terbuka. Buram. Beberapa orang ada di sampingku. Aku kembali terpejam. Menarik napas tiga kali atas instruksi sebuah suara yang tak asing di telinga. “Dia masih butuh beradaptasi pelan-pelan saat membuka mata. Aku harap anda bisa sabar untuk tidak terburu-buru menanyakan banyak hal. Lagi pula kita tidak tau saat Khayra sadar apa kondosinya masih seperti semula atau tidak. Kepalanya terbentur sangat keras. Jangan kaget jika kemungkinan ada beberapa fungsi memorinya yang tak bisa berfungsi. ” Suara lembut itu menggema. Beberapa suara setelahnya menyahut. Ada yang bernada sedih, ada yang berintonasi lirih. Apa yang terjadi? “Khayra. Buka matamu pelan-pelan.” Aku membuka mata, mengerjap perlahan. Setelah beberapa detik buram penglihatan berubah semakin jelas. Terimakasih Tuhan akhirnya Kau izinkan aku untuk membuka mata. Ruangan serba putih, ada monitor, dan beberapa alat yang terpasang di tubuhku. Tiga orang asing berdiri mengelilingiku dengan berbagai tatapan. Ada yang menatapku sedih tapi bibirnya tersenyum. Ada yang hanya menitikkan air mata lalu cepat-cepat mengusapnya. Perempuan berjas putih itu dia tersenyum dengan binar mata purna ke arahku. “Khayra, syukurlah akhirnya kau sadar setelah sekian lama.” Wajah yang selalu natural dan tetap cantik di usianya yang tak lagi muda, sosok dengan garis wajah mirip denganku. Mama. Lelaki di sampingnya. Yang terus menunduk dalam diam. Bertubuh tinggi dengan wajah oriental. Wajah dengan dua alis tebal yang hampir bertaut. Hidung bangir dan sepasang mata yang menatapku begitu dalam. Tampan dan menawan. Sayang aku tak mengenalinya. Dia asing bagiku. *** Aku hanya mengingat namaku adalah Khayra Putri Tanoto. Putri tunggal dari pasangan Ambarwati dan Dewa Tanoto. Dibesarkan di tengah keluarga yang utuh dan penuh cinta. Mama dan ayah memanggilku Key. Sangat dekat dengan ayah. Beliau adalah lelaki pertama yang membuatku jatuh cinta. Setelah itu hadirlah cinta kedua dari sosok lelaki selain ayah. Seno namanya, kami telah menjalin cinta sangat lama. Rencananya akan menikah dalam waktu dekat ini. Dia laki-laki biasa yang memiliki cinta sempurna. Aku tidak ingat lagi peristiwa setelahnya. Kepalaku berdenyut. Sakit dan sangat nyeri. Kedua tangan memegangi kepala saat seorang perempuan bersuara lembut mendatangiku dan membaringkan tubuhku. “Jangan dipaksakan mengingat banyak hal. Kepalamu sakit. Pelan-pelan saja, Khayra.” “Apa kau yang selalu membisikan kata-kata di telingaku agar aku bangun selama koma?” “Itu tugasku, agar pasien bisa merespon dengan baik. Ketika aku berbisik di telingamu dan air matamu mengalir aku yakin kau mendengarnya.” Ya, aku koma enam bulan lamanya. Menurut penjelasan dokter Raina yang selama ini menanganiku. Aku mengalami kecelakan akibat tabrak lari. Kepala mengalami beberapa benturan hingga mengenai syaraf dan tubuhku terluka. Aku lumpuh dan sebagian memori ingatanku hilang. Menyedihkan, bukan? Inilah hidup dengan segala peristiwanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD