Titik Terendah

1114 Words
Aku menghidangkan botok udang sambal rujak dan sayur lodeh. Resep ini kupelajari dari mama. Semoga lelakiku menyukainya. Ayas hanya diam memandangi menu yang terhidang. Tak menyentuhnya sama sekali. Kenapa? Apa dia tak menyukainya? “Sayur lodehnya aku bikin dengen resep dari Mama.” Aku membuka suara. Dia tak menoleh. Menatap tajam lalu sedetik kemudian meraih mangkuk itu dan menumpahkannya di depanku.  “Jangan pernah menghidangkan sayur ini untukku.” Suaranya bergetar. Apa yang salah? Kukira Ayas akan menyukainya tapi ternyata malah sebaliknya. *** “Khayra kemarilah.”  Aku tertegun. Dia memanggilku, ini obrolan pertama setelah dia membisu beberapa lama. “Kemari.” Nada itu sudah tidak meninggi.  Perlahan langkahku mendekat. Duduk di sebelahnya setelah matanya memberikan kode. “Maaf aku tidak tau, jika kau tidak suka sayuran itu.” Aku menunduk. “Aku tidak akan membahas soal sayuran tadi pagi,” ucapnya dengan pandangan keluar jendela. “Aku hanya ingin bertanya satu hal.”  “Apa?” “Katakan padaku cara apa yang harus kulakukan agar kamu menyerah.”  “Menyerah? Apa maksudmu?” Aku menatap wajah pongahnya yang menyunggingkan senyum sinis. “Mintalah cerai padaku. Lalu pergi dari rumah ini. Agar aku tidak menyakitimu lebih dalam.”  Langit di atasku serasa runtuh. Apa  tidak salah dengar? Meninggalkannya dalam keadaan yang masih sama itu artinya aku gagal. Gagal memenuhi permintaan terakhir dari Ayah. Mengembalikan jiwa Ayas untuk pulang.  Aku masih ingat segala wasiatnya ketika itu. “Dia lelaki baik. Hanya saja jiwanya tengah mengembara dan tersesat. Itu karena ambisi dan cinta yang selama ini tertolak. Dia mencintaimu, tapi Ayah melarangnya. Dia sudah berpuluh kali datang untuk meminangmu tapi Ayah menolaknya berulang-ulang. Dia sosok yang tak pernah menyerah dalam segala hal. Dia berani, keras, tapi jiwa empatinya telah mati. Itu sebabnya Ayah tak merestui. Hingga satu peristiwa akhirnya membuat Ayah menantangnya. Suatu hal yang sulit. Bahkan Ayah mengira dia tidak akan mampu mencapainya.”  “Berdo'alah pada-Nya. Hanya dia yang mampu mengetuk hati dan mengembalikan jiwa-jiwa untuk kembali pulang.”  Pulang. Bukan hanya kembali tapi lebih pada jiwa yang mendekat dengan Ilahii. Jiwa yang damai dan tak lagi menyediakan tempat untuk membenci. Itulah jiwa-jiwa yang paling bangun. Jiwa kecintaan Tuhan. Begitu penjelasannya. Dan aku mulai mengerti. *** “Katakan padaku Khayra. Kenapa kau diam saja?”  “Aku tidak akan pernah meminta itu darimu,” tegasku. “Kenapa? Apa kau tidak benci setiap kali kusakiti? Apa kau tidak sakit setiap kali aku mendaratkan pukulan padamu, hah?” Intonasinya meninggi. Api di matanya kembali menyala, tapi telaga bening itu selalu memadamkannya. Mata itu merah dan basah. Aku menatap manik hitamnya menembus hingga ke dalam. Betapa dia sangat menyakitkan. Betapa dia sangat tersiksa menutupi luka dan menepis rasa cinta untuk sebuah harga diri. Harga diri yang selama ini ia tanggalkan dan  jatuh di hadapanku.  Ayas  mencintaiku sejak lama. Aku tau dia akan menyiksa dirinya sendiri setelah memukulku. Dia membenturkan kepalanya setelah menampar pipiku. Dia menangis dan terisak di ruangan kecil itu. Ruangan rahasia yang tak boleh dimasuki oleh siapa pun. Termasuk aku. Dan aku diam-diam mengawasinya dari balik pintu kaca tanpa sepengetahuannya. Benar. Dia melakukan semuanya agar aku pergi dan menyerah. Agar aku tidak belajar mencintainya. Agar aku kembali pada Seno, lelaki yang pernah mengisi hatiku sebelum hadirnya.   Itu sudah masa lalu. Ayas masa depanku. Aku bersikeras untuk tetap bertahan. Untuk bisa menunjukkan bahwa dirinya layak dicintai. “Aku baik-baik saja. Justru kamu yang sakit. Tidak ada penjahat yang menangis setiap kali dia memukul dan menyakiti. Tidak ada orang bodoh yang memukul dirinya berulang-ulang hanya untuk merasakan sakit dari kesalahan yang telah diperbuatnya. Tidak ada-” “Stop. Kau kira aku mencintaimu, hah? Tidak Khayra. Aku membencimu atas nama Dewa Tanoto. Ayahmu.” Gelegar suara itu tak membuatku takut. Sorotnya kembali menyala seakan tak suka aku mengetahui banyak hal tentangnya, tetapi cinta itu? Jelas terbaca dari binar yang selalu terpancar.  Sadar yang kuhadapi kini hanyalah singa berhati lembut. Aku bisa membacanya dari bening mata yang tak pernah berbohong. Dia ingin aku pergi karena sudah tak kuat lagi melihat perempuannya tersalkiti. Dia depresi. Ayolah Ayas, buka hatimu sedikit saja. Untuk cinta. Untuk kembali pulang pada jiwamu yang sebenarnya. Maka kau akan sembuh. *** “Khayra ….” Aku terbangun saat terdengar suara Ayas memanggil di luar rumah. Tergopoh-gopoh menghampirinya. Saat membuka pintu dia datang dengan perempuan berbaju seksi. Hujan di luar begitu deras. Udara dingin menembus hingga ke bilik hati. Dua orang di hadapanku berlalu masuk tanpa permisi. Meninggalkan jejak-jejak sepatu dan kaki kotor yang menempel di ubin. Aku harus mengepelnya hingga bersih. Kalo tidak Ayas akan memarahiku habis-habisan. Bukan, bukan kemarahannya yang aku takuti. Ini lebih ke hatiku yang berusaha tetap kuat menjalani. “Khayra …,” panggilnya dari lantai atas. Kaki telanjangku menaiki tangga melingkar lalu diam mematung tepat di kamar besar milik kami. Menyaksikan pemandangan yang mampu mengiris setiap inci daging di dalam dadaku. Lelakiku memeluk perempuan itu, mengendus pipinya dengan rakus, dan berhenti saat aku sudah berdiri di sini. Di pintu kamar yang dibiarkannya terbuka. “Kau memanggilku?” tanyaku datar tanpa ekspresi, padahal di dalam sini ada yang teremas dan rasanya sakit sekali.  “Bawa barang-barangmu. Mulai sekarang, ini bukan lagi kamarmu. Kau boleh tidur di lantai bawah saja. Ada dua kamar di sana, kau boleh pilih salah satunya. Jangan pernah menginjakkan kaki lagi ke lantai ini tanpa aku suruh. Mengerti?” “Mengerti.” Aku mengemasi semuanya. Baju-baju di lemari dan foto-foto pernikahan yang tergantung di dinding kamar besar milik kami. Untuk pertama kalinya hatiku hancur berkeping-keping, menerima perlakuannya yang sesakit ini.  Pukulan itu, tamparan itu, dan tinjunya yang kadang meninggalkan lebam biru di bahu. Semuanya tak sesakit seperti malam ini. Malam dingin yang membuatku terusir dari kamar milik kami. Dan di sana akan menjadi tempat bercinta bagi pasangan laknat yang membuatku sekarat. Aku menuruni anak tangga dengan kaki gemetar. Bulir bening menggenang. Mendengar lenguhan, desah napas yang tersenggal dari mereka lalu ranjang yang berderit nyatanya membuat hatiku tercabik. Bulir tirani akhirnya jatuh tanpa permisi. Untuk pertama kalinya aku menangisi lelakiku. Tabah macam apa yang selama ini aku pertahankan, Tuhan? Jika dengan kekerasan fisik hatiku tidak sehancur ini, kenapa dengan perempuan itu pertahananku runtuh? Suara guntur mengelegar. Aku menembus hujan ke luar. Menyatukan basah air mata dengan air langit yang merupa jarum patah jatuh ke bumi. Seperti halnya hatiku yang jatuh menggelepar lalu mati. Setiap orang akan menemui titik terendah dalam hidupnya. Mungkin saat ini aku mengalami titik terendah itu dalam hidupku. Inilah saat-saat yang membuat iman di dadaku goyah dan pertahananku nyaris runtuh. Tubuhku menggigil. Kelebatan-kelebatan itu. Deru napas yang memburu semuanya seperti pedang yang tengah menghunus jantungku. Semuanya berputar-putar dan berkunang-kunang. Tubuhku terhantam keras oleh sesuatu lalu jatuh terhempas. Kemudian dingin menembus hingga ke tulang hingga akhirnya kesadaranku tumbang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD