Aku tidak sepenuhnya paham apa yang telah dijelaskan dokter terhadap kondisiku. Aku hanya sedang berusaha mengingat banyak hal tapi nyatanya tidak bisa. Seperti ada sekat yang tak bisa kutembus, seperti ada batas yang tak bisa kujangkau dan entah itu apa namanya.
Seno, oh iya ke mana dia? Kenapa sejak aku sadar dia tak menjengukku sama sekali? Malah yang sering aku lihat adalah lelaki pendiam berambut gondrong yang setiap harinya menjengukku. Aku tidak tahu dia siapa tapi mungkin itu salah satu orang yang bekerja dengan Ayah. Namun entah lah aku juga tidak tahu pastinya, tapi dia tak pernah absen menjenguk dan membawakan bunga.
"Selamat pagi Khayra, semoga lekas sembuh," ucapan yang sama setiap harinya saat di meletakkan bunga anggrek atau beberapa jenis bunga lainnya di atas meja tak jauh dariku. Hanya itu kalimat sapaanya, dan dia akan menungguiku di kursi itu tanpa banyak bicara tetapi begitu sering menatap. Aku pernah bertanya pada Mamah siapa dia?
Mamah bilang dia bagian dari keluarga kita. Sialnya aku tak ingat apa pun tentangnya. Dan pagi ini dia datang lagi, membawa sebuket bunga, tersenyum menyapa lalu kembali duduk di kursi itu, kursi yang jaraknya hanya tujuh langkah dari bangsal tempat aku berbaring.
"Bunga darimu bahkan sudah bertumpuk-tumpuk. Jadi berhentilah membawakan bunga untukku, Bung."
Ya, aku tidak tahu harus memanggilnya apa, jadi kupanggil saja dia 'Bung.'
"Jadi aku harus membawa apa, Nona?" Matanya yang setajam elang itu menatapku.
"Aku tidak akan menyuruhmu membawa apa-apa. Kalau berkenan dan tidak keberatan, aku hanya ingin meminta tolong ajaklah Ayahku ke sini untuk menjenguk. Aku rindu Ayah tapi mungkin dia sibuk dengan kerjaannya. Kamu salah satu pegawainya Ayah kan?"
"Ayahmu tak akan kemari, Nona. Jangan tanyakan kenapa. Semoga kamu lekas sembuh. Permisi." Lelaki itu beranjak berdiri dari kursi lalu ia pergi. Entah kenapa hari ini dia tak mau berlama-lama duduk di sana menungguiku seperti biasanya. Ah mungkin ia juga punya kesibukan lain, lagi pula aku tidak tahu siapa dia. Dia hanya lelaki pendiam yang sejak aku sadar selalu datang menjengukku, setiap pagi.
Dokter dan dua orang suster datang, mereka memeriksa kondisiku. Tak lama, Mamah juga datang dan ia yang lebih sibuk menanyai ba tak hal terkait kondisiku setiap harinya.
"Keadannya sudah lebih baik, hari ini pasien sudah bisa pulang tapi seminggu sekali harus cek dan kontrol lagi ya. Terutama untuk kakinya, dia harus menjalani terapi supaya bisa sedikit demi sedikit berjalan lagi. Dia bukan lumpuh total jadi masih ada harapan untuk kembali berjalan normal."
Penjelasan dokter membuat Mama tersenyum lega dan mengucapkan terima kasih. Setelah itu Mama menyiapkan kepulanganku.
Ya, hari ini aku senang karena akan pulang ke rumah. Apa sambutan Ayah terhadapku nanti? Apa dia akan memelukku dan mengucap kata maaf karena beliau tak sempat menjenguk putrinya ini di rumah sakit?
"Mah, Ayah ada di rumah kan?" tanyaku antusias.
Mama tertegun sesaat lalu ia tersenyum.
"Ayah ada, tapi dia istirahat. Nanti kamu juga akan tahu dia istirahat di mana."
Aku mengernyitkan dahi tak mengerti dengan kalimat Mama yang membingungkan itu.
"Memangnya Ayah istirahat di mana? Bukan kah di rumah?"
"Enggak, Sayang. Ayah tidak di rumah. Mamah minta kamu jangan banyak bertanya tentang Ayah ya. Fokus lah terhadap kesehatan ku, Mama ingin ingatanmu segera pulih dan kamu akan baik-baik saja."
Aku dibantu dua orang perawat untuk di dudukkan di kursi roda, setelah itu Mamah mendorong hingga sampai ke dekat parkiran rumah sakit. Lelaki pendiam itu menghampiriku bahkan tanpa kat ia membopong tubuhku hingga ke dalam mobil. Mamah duduk di jok sebelahku, menutup pintu mobil dan aku hanya diam saat mobil bergerak hingga membelah jalanan kota menuju ke rumah.
Yang ada di pikiranku adalah rumah berlantai dua dengan ayunan di bawah pohon mangga besar, bunga-bunga hias warna warni dan kolam ikan koi yang ada di halaman.
Sepanjang jalan kami hanya saling diam, sedangkan Mama tak pernah melepaskan genggaman tangannya dari tanganku.
"Key … kamu mau makan apa di rumah?" tanya Mamah membuka percakapan setelah hanya deru mesin mobil dan juga lagu klasik yang mengalun.
"Sup ayam buatan Mamah dan telur dadar buatan Bi Ijah."
"Kamu ingat Bi Ijah?" Mama tersenyum.
"Ya, tentu saja. Kenapa aku harus lupa? Dia sudah bekerja di rumah sejak aku kecil, kan?"
"Betul sekali."
"Terus apanlagi yang kamu ingat?"
"Hmmm … Seno ke mana Mah? Dia gak jenguk aku?"
Tiba-tiba saja Mama terbatuk-batuk, lelaki pendiam yang sedang menyetir mobil memberikan air mineral dan juga tisu untuk Mamah. Dia menatapku sekilas tapi kemudian kembali fokus menyertir.
Tak berapa lama kami sudah tiba di rumah. Mamah turun terlebih dahulu dengan membawakan tas cukup besar. Sedangkan aku dibantu turun oleh lelaki pendiam yang tadi menyetir mobil. Ia membopong tubuhku dan mendudukkan di kursi roda. Dia juga mendorong kursi roda yang kudufuki memasuki halaman rumah.
"Aku ingin duduk di kolam itu dulu, melihat ikan koi."
"Tenang saja, aku akan mengantarmu ke sana, Nona."
Aku meminta bantuan padanya agar kakiku masuk ke dalam air dan bisa melihat ikan-ikan itu mendekat.
"Hei … Bung, duduk lah di sini." Aku memintanya untuk duduk di sebelahku. Lelaki itu manut tanpa bicara apa-apa.
"Kamu pekerjanya Ayah kan? Aku tanya kenapa Ayahku begitu sibuk bekerja? Tidak kah dia menghawatirkan kondisiku sejak dirawat di rumah sakit?"
"Aku tidak bisa menjawabnya Nona."
Aku mengangguk dan mencoba mengerti, mungkin dia pekerja baru yang belum begitu mengenal Ayahku.
"Tapi kamu tahu tidak kenapa aku bisa di rumah sakit dan mengalami koma sekian lama?"
"Kecelakaan," jawabnya singkat.
"Apakah aku sedang mengendarai motor ketika kecelakaan itu?" tanyaku lagi.
"Tidak, kamu kecelakaan karena keteledoran seseorang," jawabnya parau.
"Hah, apa?"
"Eh … tidak, bukan begitu. Aku juga tidak tahu kronologinya seperti apa. Mungkin nanti Mamahmu bisa menjelaskan," tuturnya sedikit terbata.
"Ya nanti akan aku tanyakan pada Mama. Hmmm tapi aku ingin bertanya lagi padamu, Bung."
"Apa lagi?"
"Kalau pacaramu sedang sakit misalnya, apa kamu akan menjenguknya?"
"Ya, kenapa tidak? Sesibuk apa pun untuk orang terkasih lelaki akan selalu ada dan akan menjenguknya."
"Hmmm ya harusnya seperti itu kalau memang benar-benar cinta. Tapi kok Seno nggak ya? Padahal sebentar lagi kita akan tunangan," tuturku menyedihkan. Aku tidak tahu kenapa Seno tak menjenguk selama aku dirawat di rumah sakit.
"Siapa yang akan tunangan?" Lelaki itu menoleh dan menatapku.
"Aku dan Seno."