"Orientasi?" Latte membeliak sebelum akhirnya berbisik lirih, "Bukankah kau sudah terpilih menjadi salah satu Ksatria di Kekaisaran, Felix?"
Felix mengangguk dengan santainya, "Ya, aku merangkap kedua-duanya. Kurasa pendidikan juga penting untukku."
Latte menggeleng tidak percaya, "Apakah semua ini karena aku?"
Kening Felix berkerut samar dengan seraut wajah datar, "Bukankah sebelumnya aku pernah berkata jika percaya diri juga harus ada batasnya?"
Latte mendecih sambil tergelak, "Oh astaga! Jujur saja. Kau tak perlu mengelak. Aku tahu jika kau begitu peduli padaku. Atau mungkin kau justru telah terjerat oleh pesonaku?" Latte mengerlingkan sebelah mata, bersikap sombong untuk menggoda Felix. Gadis yang awalnya terlihat jengah mendadak sumringah karena kedatangan sahabatnya.
Felix masih tetap memperlihatkan seraut wajah malas, tanpa minat, "Rasa percaya dirimu benar-benar membuatku ingin mual."
Latte semakin terkekeh-kekeh dengan guyonannya sendiri hingga seorang pria yang duduk di belakang Latte dan Felix tiba-tiba berbisik, "Hei, diam. Acaranya mau dimulai."
Latte mengatupkan bibir rapat-rapat dengan pandangan lurus ke depan. Sedangkan Felix diam-diam menarik sudut bibirnya, tersenyum tipis. Pria itu merasa cukup senang hanya karena melihat sebuah tawa yang menghiasi wajah cantik itu. Namun, terdapat sepasang mata laser seorang gadis berambut hitam panjang bergelombang yang duduk di bangku paling depan yang sedang mengawasi mereka berdua. Dia adalah Sofia dengan rasa cemburu yang bercokol di d**a.
"Ehm, perhatian! Aku ucapkan selamat datang kembali di Sekolah Hoover." Prof Magdalena, seorang wanita tambun berambut pendek ikal sudah berdiri di atas mimbar dan berceloteh dengan bantuan sihir pengeras suara. Sontak, semua perhatian pun tertuju padanya. Prof Magdalena melakukan salam penyambutan dan mulai berbicara tentang segala macam kegiatan hebat yang bisa diikuti para siswa di tahun terakhir akademi.
Sekian menit telah terlewati. Felix merasa bosan dan tiba-tiba mendekatkan kepala di daun telinga Latte, "Pergi." Felix berbisik lirih, "Sekarang."
Latte yang sedang mendengar pidato Prof Magdalena dengan wajah mengantuk seolah mendengar sebuah dongeng tidur seketika melebarkan mata dan menoleh ke samping, ke arah Felix, "Apa? Ah! Maksudku—kenapa?"
Felix mengangkat bahu tidak acuh, "Sangat membosankan."
Latte mengangguk setuju, "Ya, aku juga berpikir seperti itu." Latte menoleh sedikit ke belakang kemudian kembali menatap Felix, "Tapi di belakang ada guru-guru dan mereka bisa melihat kita. Jika kita pergi, mereka akan bertanya-tanya apa yang salah."
Felix tersenyum miring, "Mengapa kau mendadak menjadi penakut? Bukankah kita sering melakukannya? Kita hanya perlu beralasan jika kau sedang sakit perut atau bisulmu mau pecah. Aku hanya ikut untuk membantu mengambil mata di bisulmu."
Latte tercengang dan memberikan seraut wajah datar, "Mengapa harus aku yang selalu menjadi korban, Felix?"
"Karena mereka tidak akan percaya jika seorang lelaki tampan dan berprestasi sepertiku memiliki bisul." Felix berujar lempeng dan bersikap narsistik, sementara Latte memutar bola mata jengah. Ayolah, bisul tidak memandang siapapun untuk bersarang. Namun, kenapa membahas tentang bisul?
Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk berdiri dan mengendap-ngendap kala Prof Magdalena masih berbicara. Latte mendorong-dorong untuk mendapatkan jalan ke tepi bangku penonton, mengabaikan para guru yang mengerutkan kening, dan gerutuan anak-anak yang diinjaknya. Jantung gadis itu berdebar-debar. Sedangkan Felix hanya memberikan seraut wajah santai dan sedikit senyuman jahil.
Saat berada di tepi bangku penonton, Latte tiba-tiba menabrak d**a bidang seseorang. Kepala gadis itu terangkat dan melihat seraut wajah tampan seorang pria dengan mata birunya yang dingin. Rambutnya berwarna golden blonde dengan tubuh tinggi menjulang. Latte mengernyit karena belum pernah melihat wajah itu di akademi sebelumnya. Namun, Latte seketika de jave karena merasa pernah melihat tatapan dingin dari mata biru itu.
Pria itu menatap Latte dengan ekspresi datar dan lanjut berjalan meninggalkan gadis yang tercenung sembari memandanginya. Tujuan pria itu adalah mimbar di mana Prof Magdalena sudah menunggunya dengan wajah berbinar cerah. Latte yang berdiri di ujung bangku penonton sejenak memaku dengan pandangan yang terus tertuju pada pria yang sedang naiki di atas mimbar.
"Ya, dia adalah seorang guru baru yang akan menjadi salah satu pengajar kalian. Di usia muda, ia sudah menjadi ahli sihir dengan kehebatan setara bahkan melebihi ahli sihir terbaik di Kekaisaran Deltora. Dan, yang tidak kalah penting, pria tampan di sampingku ini memiliki sihir abadi." Prof Magdalena mengulum senyum dengan wajah merona. "Selamat datang dan selamat bergabung, Tuan Alex. Hoover School sangat beruntung karena Anda bersedia bergabung."
Suara tepuk tangan seketika menggema dengan wajah terkesiap yang ditunjukkan murid-murid di bangku penonton. Para gadis sontak menganga karena terpana dengan ketampanan serta kemampuan yang baru saja dikatakan oleh Prof Magdalena.
Kelly yang duduk di bangku paling depan dan di sebelah Sofia membeliakkan mata bulat-bulat, "Apa? Sihir abadi?" Kelly beralih menatap Sofia masih dengan seraut wajah heboh, "Apa kau dengar kata si ikan puff?" Kelly menyebut Prof Magdalena yang bertubuh tambun dengan sebutan 'ikan puff'. Rasis memang.
Tidak mendapat jawaban dari Sofia, gadis itu melanjutkan kehebohannya, "Bukankah hanya satu dari ratusan ribu keturunan penyihir yang memiliki kemampuan sihir abadi? Dan lihat wajahnya itu! Oh astaga! Aku bahkan tidak percaya dengan apa yang kulihat saat ini, Sofia. Dia sangat tampan! Benar-benar tampan!" cecar Kelly panjang lebar masih dengan mata membola, enggan untuk berkedip.
Sofia mengerutkan kening dengan tingkah heboh seorang gadis yang duduk di sebelahnya, "Diamlah dan dengarkan Prof Magdalena berbicara, Kelly!" Sofia mengembuskan napas pendek dan kasar. Namun, iris mata hitamnya diam-diam menatap dalam seorang pria yang berdiri di atas mimbar.
Latte yang masih berdiri di tempat menautkan kedua alis, "Tuan Alex? Seorang guru baru?" gumamnya lirih. Saat masih bergumam dan tercenung, tiba-tiba sebelah tangannya ditarik oleh Felix. Mereka berdua meninggalkan aula di tengah kehebohan yang ada. Sedangkan Alex, seorang pria bermata biru yang tidak lain adalah guru baru dan berdiri di atas mimbar menangkap pandangan dua orang murid yang melenggang pergi. Sudut bibirnya tertarik dan memberikan senyuman tipis.
Felix dan Latte berjalan menuju ruang band. Latte terduduk di sebuah bangku sudut ruangan sementara Felix duduk di balik sebuah piano kuno. Jemari panjang Felix menari-nari di tuts piano hingga menghasilkan alunan nada classical dan vintage yang ramah di telinga. Namun, pikiran Latte justru terbang mengelana. Gadis itu yakin pernah melihat seraut wajah tampan seorang pria yang menjadi guru barunya, Alex. Akan tetapi, seseorang yang ia terka sangat mustahil berada di tempat ini, lebih tepatnya di Hoover School dan menjadi seorang guru.
Felix menghentikan jemarinya di atas tuts piano saat ia menyelesaikan beberapa lagu. Pandangan pria itu tertuju pada Latte yang hanya bergeming sembari melamun. Beranjak berdiri, ia kemudian menghampiri gadis tersebut. "Apakah kau sedang memikirkan guru baru itu? Siapa namanya tadi?" Felix meletakan jemarinya di dagu dan berpose mengingat-ingat, "Hmm ... Tuan Alex."
Latte membeliak, "Apa yang kau katakan, Felix? Untuk apa aku memikirkannya." Gadis itu memanyunkan bibir, tidak terima dikatakan memikirkan pria asing itu meskipun nyatanya iya.
Felix tergelak, "Kau memang pandai bersandiwara, tetapi sandiwaramu tidak akan pernah berhasil padaku."
Latte mengerutkan kening dan masih memanyunkan bibir. Sedangkan Felix memiringkan sedikit kepala seolah sedang menilai gadis di hadapannya, "Jadi, apa kau pernah bertemu dengannya? Atau kau terpukau dengan wajahnya seperti yang lainnya?" Felix menerbitkan senyuman miring, berniat untuk mengejek.
"Jangan berbicara sembarangan, Felix! Mengapa kau selalu banyak omong seperti ibu-ibu pelayan dapur?" Latte beranjak berdiri dan berjalan keluar ruangan.
"Hey! Apa kau mencoba untuk kabur?"
Latte menghentikan langkah tanpa menoleh ke belakang, "Sudah malam dan aku mengantuk. Kurasa acara orientasi sudah selesai dan mereka sudah kembali ke kamar masing-masing." Latte kemudian menoleh ke belakang, "Kembalilah ke kamarmu juga, Felix! Apa kau ingin terlambat di pelajaran Mister Bubble besok?"
~~~