CHAPTER 6 - OVERTHINKING

2533 Words
Sudah seminggu berlalu sejak insiden mabuk _sialan_, juga hari di mana dia terakhir kali melihat sosok pria menyebalkan itu. Tapi tenyata sudah seminggu pula Reya masih saja sulit melupakan semuanya. Dia sangat tidak terima semua kejadian itu terjadi padanya. Dia tak suka. "Re, tolong anter ini ke kamar adek kamu dulu," Reya yang mulanya asyik nyemil sambil menatap lurus ke arah televisi pun menoleh ke arah sumber suara secara tidak semangat. Mamanya itu berteriak dari arah dapur. Tanpa ucapan mengiyakan atau menolaknya, dia langsung saja meletakkan toples berisi kripik singkong pedas di atas meja dan beranjak bangkit masih dengan logat seperti tak memiliki tenaga. Meski berat meniggalkan tempat tapi mau bagaimana lagi, dari pada mamanya mengoceh ngoceh bukan, jadi lebih baik Reya mengalah dan segera menuruti saja tanpa banyak cincong. Televisi yang sedari tadi Reya tatap tapi tidak di tonton karena wanita sibuk dengan isi kepalanya sendiri a.k.a melamun pun ikut dia tinggalkan begitu saja. Tanpa sadar, meski dengan langkah gontai, Reya pun sampai di area dapur, "Mana?" tanya Reya setelahnya. "Itu, di bawah tudung saji," tidak berniat menoleh dan masih fokus dengan kegiatan mengoseng masakan di atas wajan itu, mama Reya hanya menunjuk belakang dengan satu tangan yang kosong. Reya bergerak lamban menghampiri meja makan dan membuka tudung saji tersebut juga perlahan, rupanya benar di dalam sana sudah siap sebuah nampan yang berisi sepiring makanan dan segelas s**u putih, bisa di bilang 4 sehat 5 sempurna lah, karena ada pula semangkuk kecil isi potongan buah pir dan apel di sana. "Kebanyakan nge-game itu si kunyuk sakitnya," gerutu Reya pelan namun masih dapat di dengar oleh mamanya jelas. "Hush, ngomong apa kamu, adik kamu namanya Reno Reya, Reno." Gita jengah, sudah berkali kali dia memberi tahu anak perempuannya ini kalau nama adiknya tidak boleh di ganti-ganti, sudah bagus-bagus ia menyematkan nama Reno malah di katai kunyak kunyuk apalah itu. "Iya iya Reno, anak mama yang paling ganteng," Prett ... Tidak mampu melanjutkan cibiran di bibir, takut jika mamanya malah makin menjadi, akhirnya Reya memilih berbicara di dalam hati. "Iya lah, dia kan cowok, kalo kamu baru cantik. Tapi sayang cantik-cantik gini belom ada gandengan," Hadeh ... "Jangan mulai deh ma," peringat Reya. Karena itu pembahasan yang cukup sensitif untuk membuat mood Reya makin anjlok dalam sekejap. "Iya iya. Udah sana kamu anter ke kamar adik kamu." Gita yang paham juga tidak berniat melanjutkannya. Dari pada anak perempuan nya itu ngambek dan malah tidak mau pulang ke rumah nanti, ia sendiri yang akan repot. "Hm," Reya mengangguk paham. Dia pun segera berjalan menuju lantai atas di mana kamar adiknya yang juga kamarnya berada. Hanya saja kalau kamar adiknya _Reno_ sebelah kanan, sedangkan dirinya di sebelah kiri sisi tangga. Reya juga telah melupakan mamanya yang hampir keceplosan membahas perihal umur tua dan lain lain. Untung mama Gita bisa menahan. Soalnya mood Reya itu tengah jelek-jeleknya entah karena apa. Kadang Reya sanksi kenapa banyak orang tua ketika anaknya muda atau istilahnya saat sekolah selalu di batasi bergaul dengan laki-laki. Dilarang ini, di larang itu, juga di larang berpacaran. Tapi setelah anaknya merasa nyaman akan hidup sendirinya untuk beberapa saat, mereka yang malah mencak-mencak karena anaknya mulai jadi prawan tua, dan berlanjut menyuruh ayo nikah ayo nikah ayo nikah. Sial, itu sangat menyebalkan sungguh, bagaimana bisa meminta menikah dalam sekejap, di saat dulu mereka sendiri yang membuat anaknya jadi tidak ingin dekat dengan laki-laki. Seharusnya orang tua juga tau kalau anak juga perlu beradaptasi. Setidaknya jangan menjadi strike parents lah, iya kalau anaknya nurut. Kalau tidak, yang ada anak itu malah berbuat macam-macam jauh dari yang tidak mungkin orang tuanya bayangkan sebelumnya. Cklekk ... Tanpa sadar karena terus saja melamun, Reya rupanya telah sampai di kamar Reno. Alhasil dia juga langsung saja membuka pintu tersebut. Mata Reya menangkap sosok Reno yang seperti gelagapan untuk memposisikan dirinya berbaring lagi. Reya tidak salah melihat, sebab hal itu di karenakan adik laki-lakinya baru saja menyembunyikan ponsel di bawah bantal. Lihat saja cahaya yang sedikit timbul itu, jelas itu berasal dari ponsel Reno. Reya mendengus kesal. "Kan si tai, katanya sakit, lo kira gue bego nggak liat lo baru aja nyembunyuiin hp di bawah bantal." Adiknya ini benar-benar ya, dia mengaku sakit pada mamanya dan tidak masuk sekolah, tapi ternyata bocah tengik itu malah bermain ponsel di sini. Kelakuan bocah yang menginjak usia 17 tahun itu sungguh membuat Reya agak frustasi. Sejak SMA kelakuannya mulai ngadi-ngadi, bahkan Reya takut mamanya shock mengetahui tingkah asli Reno. Hei, kalau boleh jujur tidak sekali dua kali loh Reya harus menyambangi SMA lamanya demi menuntaskan panggilan dari guru BK. Reno sengaja tak memberi tahu mamanya dan meminta Reya yang mewakili. Sialnya Reya selalu kalah dan mau-maunya di suruh begitu. Apalagi Reya juga tidak memberi tahun mama papa mereka. "Husst, jangan keras keras," ucap Reno mulai menunjukkan kepanikan di wajahnya. "Lo ngibulin mama ya, gue laporin ke papa nanti kalo dia pulang dinas." Reya tak tau ancamannya akan benar dia lakukan atau tidak, yang pasti dia kesal adiknya yang terus begini, bahkan pernah sekali, ah sepertinya dua kali, Reno pulang ke apartemen Reya, dengan alasan liburan di tempat kakaknya, padahal sebenarnya wajah Reno tengah babak belur setelah menjalankan tawuran di sekolah. Sial, perasaan dulu saat SMA Reya tidak nakal seperti ini, tapi kenapa adiknya malah banyak tingkah. "Aish, gue emang sakit ya," sudah tertangkap basah pun rupanya Reno masih berusaha keras. Jelas itu hal percuma, Reya lebih percaya dengan mata kepalanya sendiri. "Sakit apanya, buktinya lo bisa main hp. Jadi gini ya kelakuan lo kalo di rumah!" seru Reya. "Dih, baru pertama kali juga," tanpa Reno sadari kata-katanya sudah mengandung akuan kalo pria itu benar membolos. "Iya pertama kali bolos di rumah, bolos di sekolahnya nggak lo itung?" Reno menggeleng cepat, "Nggak weh," "Nggak salah kan," Dengusan jengah Reya keluar lagi. "Udah ah nih makan, sia sia gue bawain lo makanan ke kamar lo," Malas melanjutkan perdebatan Reya bergerak cepat ke samping Reno dan meletakkan nampan di nakas samping kanan ranjang. "Hm," Reno mengiyakan. "By the way, jangan bilangin mama ya," lanjut Reno sebelum kakak perempuannya melangkah pergi. Reya menoleh menatap wajah yang di melas-melaskan milik Reno, lalu dia tersenyum miring, "Ya serah gue lah," "Dih, kayak lo dulu nggak pernah bolos aja," semprot Reno mencari pembelaan. "Emang nggak pernah wee." Reya menjulurkan bibirnya sebagai bentuk ejekan. "Serius jangan bilangin mama," Rupanya Reno masih saja berusaha keras, agak Reya tidak ember ke mamanya. Reya terdiam dengan mata menyipit. "Bayarannya apa?" sergahnya. Reno juga ikut terdiam sejenak, seperti mencari ide, tapi beberapa detik setelahnya dia mengembangkan senyum. "Em, gue kenalin sama abangnya temen gue, ganteng plus tajir melintir, nggak bakal nyesel deh pokoknya," Wajah Reya sontak berubah datar hanya karena pembahasan makhluk laki-laki yang mulai muncul lagi. "Cih klasik," Selalu saja Reno seperti ini, apa adiknya itu tidak mengerti kalau sang kakak tidak tertarik dengan laki-laki untuk saat ini. "Yang ini beda tauk, ini abang sepupunya." Masih berusaha keras mempromosikan orang yang entah siapa, tapi Reno benar akan membuat Reya tidak ada pilihan selain menuruti Reno. "Hust, gue nggak minat. Awas aja lo seenak jidat ngasih-ngasih nomor gue," Reya ingat terakhir kali Reno memberikan nomornya kepada teman bocah itu, yang jelas umurnya jauh di bawah Reya. Hei, Reya masih waras untuk tidak menggaet berondong ya. Tidak hanya itu, sebelumnya Reno juga sudah pernah memberikannya juga pada kakak-kakak dari beberapa teman Reno. Sial, Reya tidak se-ngenes itu ya, sampai harus di comblangkan melulu . "Iya iya. Asal jangan laporin ke mama!" Reno tersenyum miring. Mata Reya mendelik, "Heh ... kok jadi lo yang ngancem gue," "Timbal balik dong elah, ya udah gue kirim nih ke temen gue," Sulit di percaya, kalau adiknya ini malah berbalik menyerang. "Serah lo deh serah, yang penting gue laporin mama!" putus Reya. Meski sebenarnya Reya tidak sejahat itu juga sih. Walaupun Reya mengancam seperti itu kenyataannya dia juga tidak berani melakukannya. Dia akan menyimpannya dulu, sebelum nanti meminta Reno agar tidak melakukan perbuatannya tercela lagi. Tanpa memikirkan Reno yang menggerutu di sana, Reya bergerak meninggalkannya begitu saja, dan berlanjut menuju kamarnya sendiri. Setelah sampai di kamar wanita itu langsung merebahkan punggungnya di ranjang yang memang bisa di bilang sedikit berbau apek karena jarang di tiduri, Entah mendapat ide dari mana, tiba-tiba dia meraih ponselnya yang tergeletak di nakas. Dan mulai mencari nomor kontak di ponselnya itu. Click ... Memanggil ... Reya memang mengubungi Dhini temannya itu. Entah kenapa Reya begitu suntup di rumah, dia ingin keluar dan mengobrol bersama dengan Dhini. Karena ya besok atau lusa Reya akan kembali ke apartment-nya, jadi dia ingin mengunjungi salah satu cafe yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan di medsos. Panggilan pun terhubung, jadi Reya langsung saja mengeluarkan suara menyapa, "Halo," Dan Dhini yang berada di seberang sana juga balik membalas. "Iya ya ada apa?" "Lo di mana?" tidak mau berbasa basi dia sontak mengajukan pertanyaan. "Ya kerja lah bego," semprot Dhini, yang entah kenapa agak sensi. Padahal kan Reya cuma tanya begitu. Apa Dhini sudah mencium aroma niat Reya ya. "Yo dah nanti pulang kerja kita pergi," putus Reya, tanpa berniat diskusi dulu dengan temannya itu. "Kemana?" Tentu Dhini bingung. "Makan-makan lah," Reya senyum-senyum sendiri membayangkan ekspresi Dhini saat ini. "Perasaan gue kok nggak enak," Kengerian Dhini memang sudah cukup membuktikan kalau temannya itu peka. "Hehe, lo yang traktir," lanjut Reya, yang pasti sudah membuat Dhini melongo di tempat. "Tai kan, lo nelefon aja udah ada aura hitam," "Dih, pokoknya nanti ya, jam 7 an." Tidak mau menerima alasan lebih, Reya tetap kekeh membawa Dhini untuk pergi bersama nanti. "Ehm, Re, tapi kan belom week end, perjanjian kita weekend." Meski temannya itu mencoba mengeluarkan bujuk rayu, hanya saja hal itu tidak akan mempan, pasalnya keinginan Reya untuk pergi sudah menggebu-gebu. "Ya terserah gue lah, maunya gue kan sekarang!" Kan sudah di kata, Reya tidak akan bisa di ganggu gugat. "Sialan lo ya!" sentak Dhini, agak emosi. "Weekend gue sibuk, mau ada meeting sama penerbit." ungkap Reya juga mulai serius. Alasan itu jugalah yang membuatnya ingin keluar nanti malam. "Tai tai, serah serah," Yes ... Kalau Dhini sudah menjawab seperti itu, artinya Reya berhasil dan Dhini tidak ada pilihan kecuali mengiyakan. "Okay, nanti ketemuan di sana," raut bahagia pun ikut menghiasi wajah Reya. Tidak seperti beberapa saat lalu yang kusut macam jemuran belum kering. "Reya kampret, di kasih hati malam minta jantung," Ungkapan kekesalan dari Dhini karena tidak dapat menolak itu membuat tawa Reya pecah. "Haha, emang enak lo __" Terhenti, Reya mengurungkan untuk berbicara lagi ketika telinganya mendengar suatu dari arah telepon. "Ehm, hei kamu," "Eh pak Ronal," Tut ... Panggilan itu pun terputus dengan Reya yang makin kebingungan sendiri mendengar Dhini bersuara panik. 'Pak Ronal siapa?' Tapi tunggu ... Entah kenapa suara tadi terasa begitu familiar di pendengaran Reya, dia seperti pernah mendengar suara berat ngebas seperti itu sebelum ini. Drttt ... Drttt ... Kebingungan Reya harus terhenti di sana, ketika ponsel yang saat ini masih dia genggam mulai bergetar, layaknya ada panggilan masuk yang datang. Dan saat Reya menurunkan pandangan, dia dapat melihat jelas di layar kalau yang menelefon adalah Sia sahabatnya sejak SMA. Si 'bumil bucin'. "Tai lo, kenapa nggak bilang kalo kemaren ada masalah pas di pesta sama Dhini seminggu yang lalu!" semprot Sia dengan menggebu-gebu bukan main tepat setelah Reya menggeser tombol hijau, mengangkat. "Lo tau dari mana," agak terkejut, tapi Reya juga tidak se khawatir itu. "Gue kira loh beneran cuma ngeprank." Ingatan Reya mulai perputaran sebelum kejadian dia minum minuman beralkohol. Yang di mana semua itu dia lakukan memang di dasari prank pada Sia. Tapi ternyata dia malah meminum betulan. "Awalnya iya. Tapi si bodoh ini malah minum bir beneran. Dan alhasil mabuk deh." Reya tertawa sarkas untuk dirinya sendiri. "Emang bego banget lo. Makanya jangan bertingkah deh Re." Sia ikut kesal atas temannya itu. Di tambah Reya juga tidak menceritakan apapun padanya. Meski mungkin niat Reya baik, karena saat ini Sia tengah hamil, tapi tatap saja sebagai sahabat, pasti Sia sedih ketika merasa tidak di perlukan seperti itu. "Iya iya maap. Tapi gue kan nggak niat gitu. Siapa juga yang pengen mabuk," ucap Reya sebagai bentuk membela diri. "Ck udah deh. Terus gimana lo sama cowok itu?" tanya Sia. "Dhini juga bilang?" Lagi-lagi Reya agak terkejut. Dia kira Dhini hanya membocorkan perihal mabuk saja, tidak sampai bertemu dan di gantikan baju oleh pria asing. "Iya semuanya." balas Sia. "Kampret banget si ember bocor." Gerutuan Reya tidak akan membuat Sia lupa akan pertanyaannya. "Jadi gimana? Serius lo nggak ngapa-ngapain kan sama itu cowok?" Sia mencoba memastikan. Walau kemungkinan besar memang Reya tidak melakukan apa-apa, tapi ya namanya juga sahabat, Sia kan takut. "Enggak lah bego, gue masih waras." Reya mengganti posisinya yang mulanya berbaring menjadi duduk. "Tapi kan lo mabuk! Kalo ternyata lo di apa-apain gimana. Lo nggak sadar Re. Lo di grepe-grepe kayak apapun faktanya lo nggak tau!" Mata Reya mendelik. Kampret! Benar juga sih ... Tapi, "Malah-malah gimana kalo lo di perkaos Re." Ucapan lanjutan Sia, entah kenapa membuat jantung Reya mulai berdegup. Tapi, "Ya nggak mungkinlah Ya haha. Gue aja nggak ngerasain sakit di anu gue." Reya berusaha keras untuk tidak ke trigger oleh bayangan Sia. "Serius?" tanya Sia memastikan. "Kalo di itu lo yang atas sakit nggak?" "Eng _enggak sih, ... kayaknya," ragu, Reya ragu menjawabnya. "Kok kayaknya?" Kesal. Sia kesal akan jawaban yang satu ini. "Agak nyeri dikit." Cicit Reya seraya mengingatkan-ingat. "Sial, kayaknya emang sempet di grepe-grepe." Sentak Sia menggebu-gebu. "Tai lo, jangan bikin gue takut napa." Tidak habis fikir dengan bumil ini, tapi yang pasti Reya mau tak mau jadi ikut kepikiran. "Ya clue nya aja kayak gitu, gimana nggak kepikiran macem-macem coba." Reya hanya menjawab dengan dengusan. "Udah deh bye, gue mau mandi. Ngemeng sama elo malah bikin gue overthinking." "Dih, lo mah. Gue sebagai sahabat kan cuma khawatir." Tau, Reya tau itu. Tapi ya jangan berfikir macam-macam juga lah. Apalagi Reya khawatir kalau Sia yang posisinya tengah hamil malah ikut memikirkan masalahnya. "Iya iya bumil kuh tercintahhh ... Gue baik baik aja, jadi nggak usah khawatir. Udah seminggu lewat juga." Reya berucap agar Sia tidak cemas lagi. "Ya udah iya, awas aja lo kalo ada apa-apa nggak cerita lagi!" ancam Sia tak main-main. "Hm haah, udah sana, dari pada ngurusin gue mending skidi pap pap sama pak suami lebih syahdu. Haha." Bruntal sekali Reya ini. "Astaghfirullah Reya mulutnya!" Pasti saat ini Sia tengah melebarkan mata tidak percaya. "Emang kenapa halal juga mana udah jadi satu dalam perut, nggak ada tabu-tabu an. Haha." Reya tak habis-habisnya menggoda temannya itu. "Udah ah, gue tutup, nggak baik buat pendengaran bayi di perut gue." Dan akhirnya selesai. Ini yang memang Reya inginkan. Yakni menyudahi telefon dahulu. "Hm," "Gue tutup." ucap Sia di seberang sana. "Okay!" Tut ... Dan akhirnya sambungan telefon benar-benar terputus dengan Sia yang mematikan lebih dulu, Huft, Sejujurnya walaupun tak menunjukkan kecemasan yang berlebih tadi, tapi faktanya Reya tidak se-kalem itu. Dia memikirkan apa yang Sia katakan. Sangat. Dia juga memikirkan bagaimana kalo benar ... Bagaimana ... Bagaimana jika dia memang sempat di grepe grepe oleh pria itu, Arghh sial, sepertinya Reya harus memastikan sesuatu jika bertemu dengan pria menyebalkan itu lagi nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD