"Nal,"
Panggilan keras mirip teriakan itu sama sekali tak membuat Ronal teralihkan dari fokusnya mengendarai mobil.
"Ronal!" Alhasil mau tak mau teriakan tersebut harus di tambah volume dengan harapan pria yang saat ini memakai setelan jas biru dongker dapat merespon.
"Hm,"
Dan benar saja, teriakan ke dua yang penuh effort itu berhasil membuat Ronal mulai menggubris, meski hanya sebuah gumaman pelan.
"Si tai, gue nyerocos dari tadi ternyata lo lagi mode budek." Tidak terima lawan bicaranya yang santai-santai saja, Ana sepupu Ronal _yang sempat pria itu ceritakan_ pun mau tak mau harus berucap penuh kekesalan.
"Apa?" Wajah lempeng Ronal membuktikan kalau Ronal tidak mau menanggapi lebih kehebohan Ana.
Sore ini mereka berdua memang tengah berkendara di jalanan, dengan Ronal yang menyetir mobil dan Ana hanya duduk santai di kursi penumpang samping nya. Ronal juga tidak paham dengan maksud sepupunya itu, tapi ya yang pasti dia malas cek cok.
Salah sendiri Ana yang merengek sambil memohon-mohon untuk di jemput di kantor dinasnya, dengan alasan wanita itu tidak mau di jemput pacarnya sendiri entah karena alasan apa.
"Dih, lo tuh kebiasaan kalo gue lagi ngomong nggak di dengerin," Ana memanyunkan bibir, mood nya hari ini sedang rusak rusaknya, dan ternyata Ronal yang dia kira bisa menjadi healing tapi kenyataannya sama saja, sama-sama menyebalkan. Padahal kan niat Ana baik, dia hanya ingin curhat pada sepupunya itu mengenai sang pacar yang tidak peka kalau Ana ingin segera di lamar, tapi hingga bertahun tahun pacaran Ana tetap di gantungkan macam jemuran belom kering, padahal berbagai kode lembut hingga kode keras sudah Ana luncurkan. Sungguh benteng ke peka-an pacarnya terlalu kokoh.
Ronal sendiri tak berniat menanggapi, takut takut sepupunya itu malah makin meledak ledak, sebab sumbunya sejak awal sudah menyala, salah salah jika Ronal sedikit menyinggung yang ada Ana akan langsung pecah .
Tapi ya pilihan diam juga bukan solusi yang baik, sebab karena sikap Ronal yang menurut Ana cuek itu, membuat wanita itu malah menggerutu kesal saja.
"Kenapa sih lo ngelamun?" tanya Ana akhirnya seraya berusaha keras menahan kekesalan.
"Nggak," jawaban singkat Ronal sudah cukup membuktikan kalau pria itu tidak ingin menjawab, padahal kan jelas tadi Ronal memang melamun, kalau tidak melamun Ronal pasti menanggapi sedikit-sedikit curhatan Ana yang sudah berjalan lima menit sebelum akhirnya tertampar fakta bahwa Ronal dalam mode budeg.
Di tanyai seperti itu entah kenapa Ronal jadi ingat sesuatu, yang juga telah ia lamunan tadi. Sejujurnya benar Ronal memikirkan sesuatu, yakni dia mengingat kejadian semalam juga pagi tadi, di mana pertemuannya dengan wanita itu.
Juga ingatan menyebalkan ketika tangannya mulai menanggalkan pakaian dan melihat celana dalam yang wanita itu kenakan.
Sial, sungguh ingatan buruk bagi otak Ronal kan.
Merasa cukup dengan pemikiran tersebut, Ronal berusaha keras mengenyahkan nya, dan kembali fokus pada jalanan lagi. Agak ngeri kalau Ronal tetap melamun saat berkendara.
Tidak lama setelahnya, mobil Ronal pun mulai memasuki area komplek perumahan tantenya yang tak lain tak bukan adalah mama dari Ana.
Setelah itu mereka sampai tepat di depan rumah Ana. Dan Ronal menghentikan mobil itu sebelum akhirnya mereka berdua turun dari mobil bersama-sama.
"Meski lo jahat sama gue Nal, tapi makasih." Ana masih memiliki sopan santun yang cukup. Makanya dia mengucapkan itu seraya tersenyum paksa. Dia juga mulai sudah melupakan insiden di dalam mobil tadi.
"Hm," Ronal mengiyakan sambil bergumam.
"By the way, nggak minta bayaran kan?" tanya Ana dengan mata menyipit penuh kecurigaan pada Ronal.
Alhasil, melihat Ana yang seperti itu, Ronal pun mengikuti alur sepupunya, walaupun dengan wajah yang begitu datar. "Bayar," ucap Ronal, dia juga mengulurkan tangan kanannya seolah olah memang tengah meminta bayaran. Cih, padahal kalau Ronal berniat seperti itu sudah dari dulu saja dia melakukannya. Apa Ana lupa di mana wanita itu menginap ketika suntup, siapa pula yang menjemput ketika Ana tidak ada kendaraan, dan lagi siapa yang sering mentraktir ketika wanita itu tengah bokek. Semua itu jelas Ronal orangnya, tapi ya bagaimana lagi Ana ini tipikal wanita tidak tau diri sih.
Grepp ...
Siapa sangka di detik berikutnya, dalam gerakan cepat Ana malah bergerak maju dan memeluk Ronal erat.
Ronal sempat tertegun akan perlakuan Ana yang tiba-tiba.
"Nih bayarannya pelukan aja, jarang-jarang kan gue mau meluk elo," ucap Ana tanpa ada beban sambil mengurai pelukan itu. Jarang-jarang apanya?
Ronal yang masih berwajah datar pun mengangkat tangan ke arah depan wajah Ana.
Dan ... Takkk ...
Ronal menyentil dahi Ana yang juga tiba-tiba.
"Awsss ... Sakit bego," Ana mengaduh kesakitan, walaupun pasti sentilan Ronal hanya menggunakan sedikit tenaga luar, tapi tetap saja kulit Ana yang selembut p****t bayi itu akan merasakan sakit.
Tak menghiraukan aduh-an Ana, Ronal malah berbicara yang lain. Bukan apa-apa pasalnya tingkah Ana yang seperti ini memang bukan yang bisa di bilang sekali dua kali. Ana tau kalau Ronal gampang risih ketika di dekati dan di peluk, makanya wanita itu iseng melakukannya, yang malah menjadi kebiasaan. "Jangan biasa in gitu An, lo udah ada pacar,"
Memang benar adanya kalau Ana sudah memiliki pacar yang berprofesi sebagai seorang dokter itu. Tak jarang kadang pacar Ana cemburu dengan kedekatan kedua sepupu itu.
"Kenapa sih lo kan sepupu gue, lagian pacar apanya. Si kampret itu aja nggak mau nikahin gue. Apa gue putus aja ya Nal." Adu Ana pada sepupunya, yang tentu saja dengan tambahan curhat colongan. Padahal inti dari yang Ana ucapkan barusan sama persis seperti saat wanita itu menjelaskan detail di dalam mobil tadi.
"Serah, asal jangan libatin gue kalo lo patah hati karena menyesal,"
Ronal tidak mau, kalau ikut-ikutan sengsara hanya akibat sepupunya terlalu bertindak gegabah. Yang pasti merengeknya itu selalu pada Ronal.
Fakta yang perlu kalian tahu, walaupun status Ronal juga Ana adalah seorang sepupu, tapi kenyataannya mereka sudah lebih mirip seperti saudara kandung saja. Ronal anak tunggal begitupun Ana, makanya mereka berdua seolah mendapat kasih sayang Adik dan kakak satu sama lain yang tidak mereka dapatkan di rumah.
"Ye lo mah," cibir Ana.
"Ya udah sana masuk!" Lelah berdebat, Ronal memerintah Ana untuk segera masuk. Apalagi Ronal harus segera pulang juga demi mengistirahatkan badan sejenak sebelum nanti kembaki lembur lagi di rumah.
"Lo nggak mampir?" tanya Ana berniat basa basi menawari.
Dan jawabannya, Ronal menggeleng pelan. "Enggak, tante Dewi juga gak ada di rumah kata lo," Tadi di perjalanan memang Ana sempat menceritakan bahwa ibu Ana tengah pergi ke luar kota bersama ayahnya. Makannya wanita itu berada di rumah sendirian.
"Iya sih, yo dah, hati-hati mas bro." Ana menurut saja.
"Hm,"
Ronal membalik badannya hendak memasuki mobil, tapi dia malah di buat salah fokus dengan seseorang di depan sana.
Em ...
Tidak salah lagi, kalau wanita yang saat ini hanya menggunakan celana super pendek dengan atasan kaos putih dan tengah berdiri di depan sebrang jalan sana itu, adalah wanita yang seharian ini cukup mengganggu otak Ronal. Tapi nyatanya wanita itu tidak sendiri, ada sesosok laki-laki yang juga bercinang bincang riang dengan dia.
Dan tanpa Ronal sadar, dahinya mulai menunjukkan kerutan ringan.
Kedua orang berbeda jenis kelamin itu nampak begitu akrab, sampai wanita itu santai-santai saja ketika di rangkul oleh si pria sepanjang jalan hingga tak terlihat di pandangan Ronal.
Sial, entah kenapa semua kegiatan itu terasa mengganggu di penglihatan Ronal ya.
Jadi merasa sudah cukup, Ronal pun hendak melanjutkan langkah memasuki mobil. Hanya saja dia mengurungkan ketika mendengar deheman pelan dari arah belakang, yakni yang di buat oleh Ana sepupunya.
"Lo kenal Reya? ... Atau Terry?" tanya Ana langsung, yang mana malah membuat Ronal makin menunjukkan kerutan bingung.
"Gue nggak buta loh, Nal. Lo tadi bahkan merhatiin mereka dari awal sampe akhir. Aduh malah sampe mereka nggak keliatan di tikungan baru deh lo berhenti," ucap Ana menjelaskan. Jarang sekali atau bahkan tidak pernah Ronal mau memperhatikan orang sekitar se lama itu kalau tidak ada suatu alasan di sana. "Jadi ... Kenapa?"
"Bukan apa-apa," Ronal mengabaikan semuanya, enggan menjawab. Yang pasti sontak membuat Ana melongo tidak percaya.
"Dih aneh lo cungkring!" kesal Ana.
Tidak mau berdebat makin jauh, Ronal betul-betul bergerak memasuki mobil meninggalkan Ana. "Gue balik."
"Ya!" jawab Ana ngegas.
Ronal sudah tak memperdulikan lagi, karena di otaknya sekarang tengah berputar sesuatu.
'Reya hm,'