CHAPTER 7 - TEMAN SIA

1850 Words
Satu minggu pun berlalu dengan Ronal yang memulai aktifitasnya seperti biasa, si gila kerja itu benar-benar bekerja keras akhir akhir ini, ya demi apalagi kalau bukan memenangkan tender besar. Dan tadi setengah jam yang lalu tepatnya, Ronal pun akhirnya benar-benar memenangkan tender itu, tidak sia sia sekali bukan usahanya itu. Oleh karena itu setelah bekerja mati-matian akhir akhir ini, nanti Ronal berniat mentraktir teman baiknya sejak dia duduk di bangku SMA _Beni_ untuk menghabiskan malam dan bersenang-senang tentu saja. Jarang jarang loh Ronal seperti ini, kalau tidak pria itu sendiri yang berminat tidak akan ada yang bisa mengganggu gugat keputusan itu. Sebab saat di ajak keluar pun Ronal selalu banyak alasan, padahal saat masih SMA Ronal sangatlah suka keluyuran tidak seperti sekarang yang lebih mementingkan kekasih laptopnya itu dari pada yang lain. Ah ralat, sebenarnya ada seseorang yang selalu Ronal prioritaskan, yakni wanita itu Sia, istri dari temannya sendiri _Kazeo_, bahkan prioritas Sia jauh lebih segala-galanya jika di bandingkan dengan Ana sepupunya sekalipun. Kembali ke pada Niat Ronal, yang memang kenyataannya dia ingin mentraktirnya itu malam hari, tapi siapa sangka jika ajakan Ronal malah di salah fahami oleh Beni. Yups, bisa di bilang temannya itu sudah datang ke kantor Ronal meski sekarang baru menunjukkan pukul 2 siang, padahal jelas-jelas jika jam segini Ronal masih bekerja. "Halah nggak papa kali Nal, gue kan bisa nunggu," Bisa bisanya Beni menjawab dengan sesantai itu, setelah Ronal mengata-ngatai Beni bodoh sebab datang terlalu cepat. "Terserah lo," putus Ronal akhirnya, percuma juga berdebat karena faktanya sekarang Beni sudah tiba, di suruh pergi pun Beni pasti tidak akan mau. Ronal mulai melangkahkan kakinya sendiri pergi dari sana, tepatnya dari parkiran. Memang tadi Ronal sempat turun untuk mengambil berkas penting yang tertinggal di mobil, mungkin bisa saja Ronal meminta orang lain mengambilkan, tapi dia tidak mempercayai siapapun kecuali sekretarisnya yang tadi siang baru saja meminta izin pulang cepat karena ada urusan. Dan Ronal mengiyakan sebab memang setelah mereka memenangkan tender, dia sudah merasa lega dan tidak ada sekretaris pun tidak masalah. "Jangan deket-deket," cegah Ronal ketika menyadari Beni yang seperti hendak mepet-mepet dengannya, seperti akan merangkul bahunya seperti biasa. "Hehe iya, lupa gue," Kebiasaan Beni memang begitu, baik dengan Ronal maupun Kazeo Beni akan merangkul bahu temannya. Tapi ya jangan di kantor juga lah, bisa-bisa wibawa Ronal akan turun jika mengizinkan Beni melakukannya seenak hati macam itu. Sampai lobi para karyawan Ronal nampak menyapa sopan dan juga ada yang membungkuk sedikit memberi hormat ketika Ronal dan Beni lewat. Tapi tidak banyak, sebab ini masih jam kerja jadi banyak dari mereka yang fokus di tempat masing-masing. Setelah berada di lorong yang cukup sepi hendak menuju lift di sana, Beni tiba-tiba menyelutuk membuat Ronal sedikit tertegun. "By the way, Sia makin cantik aja ya pas hamil. Gue tadi liat ig story-nya, beuh mantep." Ronal diam saja tak berniat menanggapi. Tapi Beni nampak tidak perduli walaupun tidak mendapat respon apapun dari lawan bicaranya. "Lo sih dulu kurang pro deketin Sia-nya, kan jadi kalah lo ama Kazeo," ucap Beni lagi yang rupanya masih tak mendapat tanggapan. Ronal diam dengan pandangan lurus ke depan. Kalau dulu sih pembahasan seperti ini amat sensitif di telinga Ronal, hanya saja untuk sekarang Beni sendiri tidak tau jelasnya, makanya dia berniat memancing. Ronal sudah pernah bilang bukan, kalau dulu Ronal pernah menyukai Sia, tapi karena Sia memilih Kazeo dengan terpaksa Ronal pun memutuskan mundur dan membiarkan Sia bahagia bersama pilihannya. Walaupun begitu, hingga saat ini Sia dan Ronal masih berteman sangat baik, sampai-sampai Ronal sudah seperti selingkuhan Sia, karena kalau Kazeo tidak bisa melakukan sesuatu, Sia pasti akan meminta bantuan Ronal. Dan itu semua jelas membuat Kazeo yang notabene suami Sia cemburu bukan main. Ya laki-laki mana yang tidak cemburu jika pasangannya dekat dengan pria yang pernah menyukai. "Nyahut kek Nal," Suara Beni membuat Ronal tertarik dari lamunan singkatnya. Dan menjawab gumaman seperti yang di minta Beni yakni 'nyahut'. "Hm," "Lo nggak nyesel Sia jadi istri Kazeo?" tanya Beni yang sialnya masih belum puas dan tetap melanjutkan, "Jangan tanya aneh-aneh," peringat Ronal, walaupun nadanya pelan dan lempeng-lempeng saja, tapi jika di dengar lebih peringatan itu seperti sebuah ancaman yang bisa saja berbisa kalau tetap di lanjutkan. Tapi ya namanya saja Beni, si tidak peka, jadi pria itu malah makin menjadi dalam bertanya. "Dih, gue kan kepo. Tapi sebenarnya lo masih suka Sia nggak sih? Yakali lo nggak suka, sebab masih deketik Sia mulu, apa apa Sia apa apa Sia," "Hush, jangan kepo," Beni tidak mau menurut, dan makin mendesak Ronal. Mana tidak tau tempat lagi, bagaimana jika ada yang mendengar. "Jawab kek Nal," "Kalau pun iya kenapa kalau enggak kenapa," Cuek, Ronal menjawab dengan bahkan sama sekali tidak melihat ke arah Beni. "Ya kalo enggak alhamdulillah, tapi kalo iya mundur deh Nal, cari cewek lain, Lo kan ganteng maksimal mana tajir bingit bisa kali cari yang lebih." Jujur itulah yang ini Beni katakan. Dia butuh kepastian apakah temannya itu berniat menjadi pebinor atau tidaknya. Jika memang ada niatan Beni rela menjadi dinding tinggi penghambat hubungan Ronal dan Sia. "Lo kan __" Baru saja Beni hendak melanjutkan kata-katanya. Ronal lebih dulu menyergahnya dan membuat Beni mengatupkan bibir terhenti. "Diem atau gue sumpel mulut elo?" Beni awalnya tetap tidak terima dan akan membuka suara, namun ketika matanya menangkap adanya sosok orang di depan sana, alhasil Beni memilih menurut. Dia juga masih waras untuk tidak memberi informasi pribadi pada orang lain. "Iya iya diem," Ronal dan Beni pun berjalan makin mendekati wanita yang tengah menelfon dengan nada mencak-mencak itu, dari logatnya saja sudah jelas jika wanita itu tengah kesal Ronal dan Beni juga mendengar suara keras dan umpatan yang keluar. Hanya saja yang salah, wanita itu kalah hanya berhenti tepat di depan lift sambil menunduk dan meremas ponsel. Ronal yang sudah tiba di belakang wanita itu pun hanya dapat berdiri menunggu. "Tai-tai, serah serah," "Reya kampret, di kasih hati malam minta jantung," 'Reya?' Nama itu .., namanya di sebutkan oleh wanita ini. Jadi ... "Ehm, Hei kamu," ujaran dengan nada tegas tersebut keluar begitu saja dari bibir Ronal, Beni yang bahkan berdiri di samping Ronal sampai tersentak terkejut. Sedangkan wanita itu membalik badan cepat seraya menurunkan ponsel yang mulanya menempel di telinga itu. "Eh pak Ronal," Wanita itu jelas gelagapan panik, mengetahui jika orang yang bersuara keras barusan adalah bosnya. CEO dari perusahaan ini. Tut ... Tanpa sadar tangan nya juga langsung menekan tombol akhiri panggilan. Wanita itu, Dhini teman Reya buru-buru menundukkan badan sembilan puluh derajat sekilas, salah faham akan kesalahannya. "Ma -maaf pak, silahkan pak," Dhini mempersilahkan Ronal beserta Beni untuk masuk ke dalam lift terlebih dahulu, di ikuti dirinya sendiri. "Sekali lagi saya minta maaf pak, atas ketidak nyamanan yang bapak alami." Dhini menunduk lagi, dia tidak berani menatap wajah atasannya itu, jujur walaupun tampan tapi kalau marah memang begitu menyeramkan sampai membuat bulu kuduk berdiri semua. Jadi panggilan 'GGG' ganteng ganteng galak memang sangat cocok di sematkan pada nama bosnya. Ronal mengangkat tinggi dagunya, bersikap tegas dan berwibawa dalam satu waktu. "Jangan biasakan seperti itu, tetap fokus pada sekitar meski sedang ada hal yang mendesak. Bagiamana jika tingkah kamu malah membuat masalah, seperti misal kalau ada klien penting yang mungkin akan merasa terganggu." Jika dari suaranya, peringatan Ronal terdengar tidak main-main. Dan Dhini tidak dapat melakukan apapun kecuali mengucap maaf, "Maaf pak," "Kamu juga berkata kasar terus soalnya," Ronal melanjutkan. "Maaf pak," "Jangan di ulangi!" "I iya pak," Sungguh Dhini sangat penurut macam anak itik jika sudah seperti itu. Hei ..., Dhini tidak mau di pecat ya. Ini semua gara-gara Reya, kalau saja temannya itu tidak menelefon. "Oh iya," Dhini yang hampir saja memutar badan menjadi mengurungkan niat ketika bos nya itu memanggil lagi. "Iya pak?" tanya Dhini langsung. "Untuk orang yang kamu telefon, siapa namanya?" Terlihat jelas dari wajahnya kalau Dhini kebingungan. Tapi sebagaimana karyawan yang baik, dia tetap menjawabnya dengan sopan. "Re -Reya pak?" "Tolong kasih tau, kalau kamu sedang kerja jangan banyak mengganggu, apalagi jika itu bukan masalah mendesak," "Eh," mendengar hal itu, Dhini sampai keceplosan dan mengangkat wajahnya tanpa sadar. Kebingungannya makin menjadi. Ada apa dengan bosnya, kenapa menjadi strike seperti ini? "Kamu mengerti?" Karena tak mendapat respon dari karyawannya itu, Ronal pun mengulanginya. Dan Dhini tak bisa berbuat apa-apa kecuali mengiyakan. "Iya iya pak," Tatapannya itu loh, err ... Dhini ngeri. "Okay," Huft ... Ronal hanya melirik sedikit, karyawannya yang seperti menghela nafas tapi tanpa suara itu. Ting ... Tidak lama setelahnya, suara lift pun berbunyi, seiring pintu besi tersebut perlahan terbuka di lantai devisi Dhini. "Kalau begitu saya permisi pak," Dhini berpamitan sopan. "Hm, silahkan," Dan setelah Dhini benar-benar ngacir keluar dengan sangat cepat, bahkan sampai membuat Beni yang melihatnya hampir meledakkan tawa karena saking lucunya. Ronal hanya melirik Beni sedikit. Pintu lift kembali tertutup, tawa Beni tadi sudah menghilang dalam sekejam. Pria itu saat ini langsung menatap Ronal dengan mata menyipit penuh, membuat Ronal merasa aneh "Kenapa?" tanya Ronal tidak berbasa-basi. "Kok lo gitu?" Ronal mengerutkan dahi tidak mengerti dengan arah pembicaraan temannya itu. "Gitu kenapa?" "Pegawai tadi, lo agak terkesan mencari cari kesalahan," Yups, pasti tidak Beni saja yang merasakan hal itu kan, Ronal yang biasanya cuek bebek malah meladeni sesuatu yang menurut Beni tidak besar-besar banget. Kalaupun hanya di tegur sedikit bukannya sudah cukup. Tapi lihat, Ronal tadi malah sempat membawa-bawa nama teman pegawai itu. Aneh, super duper anehll. "Dia emang salah Ben," jawab Ronal seadanya. "Hm, menurut gue sih lebih kayak ... Ada sesuatu," Beni mengecilkan suara atau lebih ke arah bisikan di akhir kalimat. Ronal mendesah pelan tidak habis fikir, "Shh ... Jangan bikin hoax," "Lo suka yang sama pegawai tadi, emang luamayan cantik sih," tembak Beni langsung tidak ber basa-basi, padahal kan belum tentu juga kebenarannya seperti itu. Hanya saja dia sudah merasa yakin kalau keanehan itu timbul dari perasaan Ronal terhadap karyawannya. "Nggak," Singkat sekali jawaban Ronal. "Halah bo'ong lo," Ronal melirik dengan tatapan tajam, lalu bergumam, "Hm," Bagaimana sih temannya itu, dia bertanya giliran di jawab malah tidak percaya. "Tapi kok rasa rasanya wajah tu cewek agak familiar ya," celutukkan Beni yang tiba-tiba membuat dia mengalihkan pembahasan tentang tuduhan tidak berdasar tadi. "Serius gue, rasanya kayak pernah liat, apa pas gue ke sini ya liatnya," lanjutnya. "Dia temen Sia," Entah kenapa, Ronal malah memberi tahu Beni. Padahal biasanya dia tidak berminat mengatakan apa-apa untuk masalah yang tidak penting macam itu. "Hah," Beni tentu saja terkejut mendengarnya. "Temen Sia?" "Ya," "Jadi ini alasan lo tadi galak di pegawai itu, lo suka temen Sia?" Makin menjadi. Ronal kira setelah mengetahui fakta kalau pegawainya _Dhini_ itu adalah teman Sia, Beni akan berhenti berbicara omong kosong. Tapi ternyata dia salah kaprah. "Udah gue bilang jangan bikin Hoax," desis Ronal tidak suka. Sudah cukup sepertinya dia mendengar kata-kata bullshit dari Beni. Dan akhirnya Beni benar-benar berhenti, dan malah menyengir saja. "Hm, ternyata temen temen Sia cantik-cantik ya," ujar Beni dengan suara pelan. Tapi hal itu masih dapat Ronal dengan dengan jelas. Pria itu menoleh cepat menatap Beni, 'temen temen' bukan kah itu berarti lebih dari satu? Sedangkan yang Ronal tau Sia tidak banyak memiliki teman dekat, hanya pegawai tadi dan satu lagi... itu... Dia?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD