Hari sudah menunjukan pukul 4 sore, dan sekarang Reya sendiri tengah rapi dengan balutan celana high waish putih di padu padankan bersamaan kemeja polos warna coklat s**u. Tak lupa Reya menguncir kuda ala korea rambutnya dengan sedikit menyisakan poni depan samping kanan dan kiri, nampak simple namun cantik.
Dengan penuh percaya diri Reya memarkirkan mobil honda brio warna putihnya itu di pelataran parkir khusus mobil _depan_ gedung tinggi milik PT. Riven corp, yakni perusahaan yang menaungi berbagai bidang anak perusahaan di bawahnya.
Tidak perlu di jelaskan, memang benar kalau gedung itu adalah perusahaan tempat Dhini _temannya_ mengais pundi pundi uang, dan kali ini Reya sengaja datang untuk menjemput wanita itu. Bukan karena Dhini memang tengah tidak membawa kendaraan, tapi juga karena Reya akan membuat Dhini tidak ada alasan untuk menolak pergi bersamanya. Sebab seperti yang sudah sudah, Dhini sering mengeluarkan banyak cara menolak dadakan ketika wanita itu tidak ingin pergi.
Mungkin benar awalnya Reya berniat tetap berada di parkiran saja, tapi entah kenapa membayangkan enaknya berada di dalam gedung ber-AC juga bersuasana nyaman itu membuat Reya berubah fikiran dan memutuskan langsung turun.
Dengan perasaan yang sedikit berbunga-bunga, Reya pun berjalan cepat menuju pintu dan memasuki lobi gedung tersebut. Dia menghampiri meja administrasi di sana.
"Hei, Nya," sapa Reya langsung pada gadis yang memakai pakaian khas pekerja di sana. Reya memang sudah mengenal betul gadis yang yang memiliki usia beberapa tahun di bawah Reya itu.
Yups, dia adalah Anya yang notabene berstatus sepupu jauh dari Dhini. Makanya Reya masih mengenal Anya dengan cukup baik, karena ya bisa di bilang tidak sekali dua kali Reya datang ke sini, meski hanya sekedar sampai Lobi untuk menemui Dhini atau menitipkan sesuatu agar di berikan pada Dhini.
"Eh, mbak Reya," Anya membalas sapaan Reya dengan wajah juga berseri, "Mbak Dhini nya masih belum keluar, dia lembur dikit katanya hari ini." tidak perlu bertanya akan alasan Reya datang pun, Anya sudah tau kalau wanita itu datang untuk menemui kakak sepupunya, ya memang siapa lagi, ya kali Reya hendak menemui bos besar di sana.
Eh,
"Oh ya?" Reya tak tau kalau Dhini lembur, jika tau begitu dia tadi menghubungi wanita itu dahulu ketimbang berniat memberi surprise tapi malah berakhir lumutan menunggu.
"Iya, emang nggak bilang sama mbak?" tanya Anya langsung.
Reya menyengir bingung, "Hehe, gue yang nggak bilang kalau mau ke sini Nya, ini masih mau ngabarin," Akhirnya Reya memilih jujur mengungkapkan.
"Oalah, iya mbak, mbak tunggu aja dulu."
Reya mengangguk mengerti, memang itu juga yang hendak dia lakukan, tidak ada pilihan lain, ia sendiri juga ogah kalau harus balik ke rumah dan beberapa waktu nanti malah datang menjemput lagi.
"Okay Nya, sip. Gue ke sana dulu ya Nya,"
"Iya mbak Reya." Anya mengiyakan pamitan dari Reya itu,
Setelah nya Reya benar-benar melangkah pergi meninggalkan area administrasi dan menjadi menghampiri sofa-sofa yang di sediakan di sana, dia duduk di salah satu sofa kosong di samping pilar besar.
Huft, akhirnya Reya dapat menikmati sofa nyaman tersebut setelah mendaratkan bokongnya di sana.
Buru-buru Reya mengeluarkan ponsel dan mulai mengetikkan pesan singkat untuk Dhini, yang berisi kabar kalau dirinya sudah menunggu di lobi gedung perusahaan Riven Corp.
Tak menunggu balasan dari Dhini, Reya memilih langsung menyimpan ponsel kembali ke dalam tas, dan mulai menikmati kenyamanan yang ada.
Mata Reya tidak henti-hentinya menatapi sekeliling, meski sudah di katakan cukup berkali-kali datang ke mari, tapi sungguh Reya masih saja di buat takjub akan interior gedung ini. Mewah, elegan, klasik, dan nyaman bercampur menjadi satu, menjadikan semua hal yang terpasang benar-benar enak di lihat mata. Lobi perusahaan ini memang sudah mirip macam jamuan hotel bintang 7 saja. Karena ya di dekat meja masing-masing telah di sediakan laci atau kulkas mini yang berisi berbagai minuman. Di lacinya juga terdapat bir. Gila memang, perusahaan macam apa yang menyediakan fasilitas macam ini. Kalau di pikir-pikir apa tidak bangkrut ya.
Reya terus mengedarkan pandangannya, hingga matanya tiba-tiba harus terpaku akan sesuatu di depan sana.
Dia mendelik tidak percaya.
Heh ...,
Benarkah ini?
Reya tidak salah lihat kan?
Reya mengerjabkan matanya sekali lagi untuk memastikan, dan kenyataannya Reya tetap tidak salah lihat. Dia sadar jelas kalau pria yang dia temui minggu lalu juga pelaku pembukaan bajunya, saat ini tengah berjalan santai dengan seorang pria berpakaian kasual di sampingnya depan sana.
Santai santai, Reya tidak boleh panik, tidak. Pria itu tidak akan melihatnya kan haha, tidak mungkin orang itu langsung mengenali hanya dalam pertemuan ketiga. Jadi kepanikan pasti malah akan berakhir sia sia __
Hehhh ...
Tapi faktanya tetap ...
Reya panik, panik, panik bukan main, karena ya dugaan Reya salah kaprah. Pria itu benar menatap Reya, menyadari posisi Reya meski sebagian badan Reya tertutup pilar. Tidak hanya itu, rupanya pria tampan namun menyebalkan itu _yang mulanya berjalan lurus menuju pintu, malah bergerak ke arah samping menghampiri keberadaan Reya.
Benar benar gila, pria itu akan mendekati!
Karena situasi yang tak terduga, dan otak Reya yang terasa kopong tanpa sadar wanita itu langsung bangkit berdiri berlanjut ngacir pergi dari sana, yang terpikirkan Reya saat ini hanya dia akan bersembunyi dahulu sampai pria itu pergi.
Sial, pria itu sama sekali tidak berubah! Tetap seperti yang Reya temui minggu lalu, tampan dan juga menyebalkan, dari sorot matanya yang tajam penuh intimidasi serta bibir tebal yang sedikit menunjukkan smirk seolah menyembunyikan sesuatu yang berbisa di sana.
Walaupun niat awal Reya akan menanyakan kebenaran akan overthinking grepe-grepe. Nyatanya ketika bertemu seperti ini, Reya malah tidak sanggup melakukannya. Dia merasa takut _sedikit_, apalagi tempat ini bukan kawasan Reya, ngeri juga jika malah akan mempermalukan Dhini temannya kalau-kalau dia sampai membuat masalah.
Jadi benar bukan, kabur adalah solusi terbaik!
Reya terus berlari bersembunyi menuju lorong di belakang lobi.
Hu __
Baru saja Reya hendak menghembuskan nafas lega, berfikir pria menyebalkan itu sudah tidak mengikutinya, tapi tenyata Reya salah besar, pria itu masih saja bergerak mengejar dengan langkah lebar dan tatapan setajam silet penuh ke arah Reya.
Alhasil karena hal itu, Reya buru-buru mempercepat langkah yang mirip larian menuju pintu abu abu di ujung sana.
Yang terbesit di otak Reya hanya kabur, kabur, dan kabur, tidak perduli tempat apa yang akan dia tuju.
Cklekk ...
Baru saja Reya selangkah masuk, wanita itu malah menyesal, karena seolah terjebak.
Sial, sebab rupanya tempat itu adalah tangga darurat yang pasti tembus ke arah lantai paling atas. Bisa patah kaki Reya kalau memilih untuk naik tangga.
Oleh karena itu, dia berfikir akan keluar saja menggunakan pintu yang lain. Namun sontak saja dia urungkan niat tersebut ketika melihat gembok yang terpasang di handle nya. Jelas pintu keluar itu terkunci.
Sialan, memang tidak ada pilihan lain kecuali kabur menaiki tangga, sebab saat ini dia sudah melihat handle pintu belakang bergerak gerak seperti hendak terbuka. Siapa lagi pelakunya kalau bukan si pria menyebalkan.
"Haish ... Kenapa sih harus ngikutin," Detik selanjutnya Reya pun benar-benar berlari menaiki satu persatu anak tangga. Lantai 2 lewat dan ketika di check melihat bawah, benar saja pria itu memang mengejar dan menaiki tangga. Reya mau tak mau menambah kekuatan larinya hingga lantai 3, lantai 4, lantai 5, dan akhirnya di lantai 6 Reya pun memutuskan untuk berhenti.
Huft ...
Nafas Reya hampir putus, dan kalau dia terus memaksakan diri untuk naik ke atas, bisa-bisa dia malah pingsan di tempat.
"Huft ... huft ..."
Reya berusaha mengatur nafasnya seraya membungkukkan badan, masa bodo dengan pria menyebalkan itu yang masih mengejarnya. Sekarang kita lihat niatan apa yang membuat pria itu rela mengejarnya. Lagi pun di tempat ini sepi, jadi tidak akan ada orang yang melihat kalau dia membuat keributan.
Dan benar saja, sosok pria dengan balutan jas hitam itu mulai muncul menampakan wajahnya yang masih sama seperti tadi. Sungguh tak menunjukkan sisi kelelahan akibat naik tangga sama sekali.
Alhasil Reya hanya bisa melongo di buatnya, dia merasa tidak adil pake banget! Dirinya saja mati matian menahan diri agar tidak pingsan kelelahan, bisa bisanya ada orang yang berlari tapi dengan santainya macam itu. Sial.
"Mau apa lo sebenarnya?" Meski masih begitu berat karena nafasnya belum sepenuhnya pulih, tapi Reya sudah tidak tahan dengan wajah songong itu.
"Kenapa lari?" Bukannya menjawab, Reya malah makin di buat tidak percaya karena pria itu balik bertanya seraya melangkah mendekat ke arah Reya, sampai mereka berdiri saling berhadapan dengan jarak hanya 2 langkah saja.
"Kenapa lo ngejar?" tanya balik Reya seraya mengangkat sedikit dagunya. Reya tau pria itu tengah mencoba mengintimidasinya, tapi itu tidak akan mempan pada Reya, makanya meski sedikit takut Reya sama sekali tidak bergerak dari tempat ketika di dekati seperti itu.
"Karena lo nguntit." Jawaban singkat tersebut sukses membuat Reya terdiam menganga.
"Ha hah?"
TUDUHAN MACAM APA INI HEH?
"Lo nguntit?" Entah itu bisa di katakan tuduhan atau tidak tapi yang pasti pria itu berbicara dengan nada bertanya.
Tunggu sebentar, sepertinya Reya harus meluruskan ...
"Maaf __"
"Lo ngikutin gue sampe kantor," Ya! Tidak salah lagi, memang pria menyebalkan itu mengatakan tuduhan tidak berdasar dan makin ngadi ngadi saja Reya dengar dengar.
What the hell!
Apa pria ini bercanda.
"Lo gila? Setelah berhasil buat nafas gue hampir putus, lo malah nuduh gue macam-macam?" Seperti biasa Reya sudah menunjukkan taringnya. Reya tidak terima, makanya dia berbicara dengan suara sedikit keras, sebab kesal.
"Heh songong, pertama harusnya di sini gue yang merasa terugikan akibat kejadian minggu lalu, terus di pertemuan ini lo malah ngejar gua di ikuti tuduhan gila lo itu," sembur Reya tidak memperdulikan ekspresi datar pria itu tunjukkan. "Hei, bukannya harusnya gue yang tanya balik, lo yang mungkin nguntit gue. Karena lo juga udah grepe-grepe gue!" Tanpa sadar Reya menembakan kata-kata to the poin begitu saja, ini semua juga karena Reya kesal sih, jadi Reya sulit mengontrol mulutnya sendiri.
Tentu pria yang mulanya hanya memperlihatkan wajah tanpa ekspresi, setidaknya setelah mendengar ungkapan Reya dia mulai mengerutkan dahi, nampak seperti kebingungan. "Grepe-grepe?"
"Iya, grepe-grepe, lo lakuin itu kan?" ganti Reya yang menuduhnya, tuduhan atas overthinking-nya sendiri tentu saja.
"Kapan?" tanya pria itu.
Reya meneguk salivanya pelan, mulai ragu dengan kata katanya sendiri. "Malam itu, emang enggak?"
"Enggak," Dan benar saja pria itu membatah seraya menggeleng,
"Eh lo serius? Tapi lo yang buka baju gue." Reya jujur terkejut, tapi di sisi lain ada perasaan senang dan lega mendengar fakta barusan.
"Gue nggak buka baju elo!" ucap pria itu terdengar meyakinkan.
Meski sudah mulai percaya, tapi Reya harus memastikan lagi, "Serius? Jadi minggu lalu ..."
"Bohong!" Pria itu berucap dengan penuh keyakinan. Alhasil senyum Reya yang sedari tadi dia tahan pun lolos juga. Siapa pula orang tidak senang kalau pemikiran buruk itu lenyap dengan fakta yang sesuai hatinya.
"Haha ... Gilak. Karena kebohongan lo, gue hampir gila seminggu ini mikirinnya. Jadi serius cuma bohong?"
"Emm ... Iya," ucap pria itu sambil mengangguk.
"Terus siapa yang gantiin baju gue?" tanya Reya balik.
"Staff hotel."
Reya mengangguk mengerti. Okay, "Yey ... Alhamdulillah mama, anak perawan mu ini masih suci ting ting." gumam Reya kesenangan yang tidak tertahan.
Namun tiba-tiba, kesenangan itu lenyap begitu saja di gantikan keterkejutan akibat sesuatu yang pria itu lakukan terhadapnya
Srett ..
Pria ini melepas jasnya cepat seraya membuang ke lantai. Setelah itu pria itu melangkah maju dua langkah cepat, mengikis jarak antar Reya dengan dirinya sendiri.
Karena kenge-blank-an yang mendera, Reya sampai tidak sadar kalau dia telah dorong hingga punggungnya menyentuh dinding bagian pojok.
Masih linglung, Reya hanya memberi respon delikan mata dengan suara tercekat di ujung lidah ketika pria asing itu mulai memegang satu sisi pipi Reya sambil memajukan wajah seperti hendak mencium. Sedangkan satu tangan lagi di angkat sedikit tinggi menutupi sisi wajah keduanya.
Delikan mata Reya mulai berganti kedipan, sepertinya wanita itu sadar. Tapi dia masih di kuasai kebingungan, sebab sudah beberapa detik pria ini tidak mulai mencium dan hanya mendekat saja. Reya bingung alasan apa yang membuat pria ini melakukan hal aneh macam itu.
"Ken __"
"Hush ... Sebentar,"
Reya kembali mengatupkan bibir saat suara itu terdengar pelan, tak lupa aroma wangi mint bercampur kopi mulai menusuk hidung Reya.
Sial ...
Hampir saja Reya mendorong pria aneh itu menjauh, tapi dia malah mengurungkan ketika telinganya mendengar adanya suara dari lantai atas. Itu suara laki-laki dan perempuan yang berbincang yang mana makin lama makin keras saja. Sudah di pastikan kalau orang-orang itu hendak turun dan akan berpapasan.
Dan jika Reya tidak salah melihat menggunakan sudut matanya, sosok wanita yang baru saja muncul di sana nampak cukup berantakan, sial otak Reya memang selalu maju ke depan kalau sudah berurusan dengan 'itu', tidak perlu berfikir jauh Reya paham betul hal apa yang baru saja terjadi.
"Wah ternyata nggak kita ada yang mojok, haha." Pria sedikit tua dengan perut buncit itu bersuara sambil tertawa melihat posisi Reya yang di himpit.
Sial,
Tangan Reya yang memegang bahu pria menyebalkan itu pun dia remas karena mulai kesal akan situasi.
"Tapi mereka aneh ya, ciuman kok __" belum juga wanita berdada besar itu berucap karena merasa aneh akan ciuman muda mudi, dia malah langsung tidak melanjutkannya melihat kemauan ciuman orang-orang itu.
Cup ...
Ya, tidak salah lagi. Bukan hanya berhenti dengan bibir saling berhadapan.
Tapi sekarang pria menyebalkan itu benar-benar menempelkan bibirnya pada bibir Reya. Tidak tidak sekedar menempel, tapi juga melumatnya kasar sampai sampai otak Reya yang sudah kopong makin kopong sana. Dia kesulitan mencerna apa yang telah terjadi.
Hah! ini ...
HAHHHH!
Tunggu sebentar ... Ini ...,
Bingung Reya bingung. Tapi yang pasti bibirnya benar-benar di lahap habis oleh pria yang saat ini sudah menempelkan tubuh mereka menjadi benar-benar saling merekat.
Gila!!!
Ini gila!
Hati Reya menjerit, dia bingung ... Dia ...
Entah kenapa makin lama Reya merasakan kalau ciuman itu semakin bruntal saja.
Dan ... Entah mendapat kekuatan dari mana Reya pun mendorong tubuh besar itu kuat-kuat.
Berhasil.
Ciuman mereka terlepas dengan tubuh yang juga sudah ber jarak.
Wajah Reya memerah padam, nafasnya tersengal-sengal, juga bibirnya cukup bengkak. Dia juga baru sadar kalau kedua orang yang tadi turun sudah benar-benar menghilang pergi dari sana.
SIALAN!
"Maaf,"
MA __ Apa katanya?
"Maaf," sekali lagi pria itu bersuara. Yang mana membuat nyawa Reya makin terkumpul paksa.
Haha, setelah perlakuan tidak senono pada wanita asing itu, bisa-bisanya pria itu malah mengucap maaf, itu pun dengan wajah super datarnya.
Reya mengepalkan kedua tangannya erat, menahan diri.
"Brengsek." Tanpa sadar dia pun mengumpat keras-keras, lalu melangkah pergi dari sana begitu saja. Meninggalkan pria menyebalkan yang seenak hati malah menciumnya bruntal macam itu.
Sial!