Kenyataan

1103 Words
Yuki duduk di teras belakang rumahnya. Ia sedang memikirkan bagaimana cara untuk dirinya keluar dari persembunyian. Toh mau bersembunyi bagaimanapun nanti akan ketahuan juga.  Lagipula ia sudah tak sabar untuk memeluk anaknya, anak yang selama ini jauh dari Yuki karena keadaan berhasil memisahkan mereka.   Wanita yang tadi siang menemui sosok anak kecik di sebuah restoran adalah dirinya. Sang Bunda yang selalu dinantikan kedatangannya oleh si ganteng Danish. Bukan kali ini saja Yuki menemui Danish, sejak mereka tinggl di Paris juga Yuki sering menemui anaknya meski dari jauh. Yuki bahkan tahu hal apa saja yang di lakukan Danish setiap harinya. Semua dilakukan dengan sembunyi-sembunyi karena Yuki belum berani menampakkan diri di hadapan Stefan.   Keduanya menikah lima tahun lalu kemudian berpisah saat Danish lahir tepat satu minggu. Karena satu hal Yuki pergi dari rumah mereka, rumah Yuki dan Stefan. Rumah yang sampai saat ini masih menyimpan beribu kenangan.   "Pergi dari kehidupan Stefan jala***, kamu nggak pantas untuk ada di sini. Kamu nggak pantas menyandang nama William."  "Tapi.... "  "Saya tahu apa yang ada di otak cantik kamu itu. Pergi dan jauhi cucu dan cicit saya!. " Ucapnya tegas.   Yuki tersenyum sinis saat kembali mengingat memori menykitkan itu.  "Aku jal***, aku jal***," mulut Yuki komat-kamit memaki dirinya sendiri.   Sepersekian detik tubuh Yuki melemah, ia menyembunyikan wajah diatara kedua lututnya. Tangannya dengan kuat mengalungi lututnya sendiri.   Hingga akhirnya ia berteriak dengan kencang membuat si bibi datang mendekat dengan tergopoh-gopoh.   Bi Imah sudah siap untuk mengistirahatkan badan hari ini setelah seharuab berkutat dengan rumah Yuki, namun acara istirahatnya gagal akibat teriakan Yuki.  "Non.... Non.... Ya Allah, gusti pangeran." Ucap Bi Imah menyerukan nama Allah saat elihat betapa terpiruknya si nyonya rumah.   Bi Imah turut prihatin memandang keadaan majikannya, sudah lama Yuki tidak seperti ini, entah apa yang membuat Yuki kambuh kembali.   Bi Imah menggoyang badan Yuki, "Non, sadar non. Istigfar, Non. " Bi Imah terrus medapalkan doa ke telinga Yuki. Agar majikannya cepat sadar.   "Pak, bapak!" Teriak Bi Imah pada suaminya yang bekerja menjadi sopir sekaligus tukan kebun di rumah Yuki.   Merasa di panggil, Pak Akhir berlari terbirit-b***t ke sumber suara. Tadi beliau sedang berkeliling rumah mengecek pintu dan jendela.   "Ada apa to ibu ini teriak-teriak... " Kata Pak Akhir pada istrinya, beliau belum menyadari keadaan sang majikan.   "Bapak, lihat-" si Bibi menunjuk ke arah Yuki.  Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image. "Ya Allah, Non..." Pak Akhir memandang tak percaya. Seperti yang ada di pikiran Bi Imah, Pak Akhir pun memiliki pemikiran yang sama. Kenapa Yuki bisa kembali seperti sekarang ini.  Pak Akhir mendekat, ia memandang Yuki kasiha. Selama bersama Yuki, Pak Akhir sudah menganggap Yuki seperti anaknya sendiri. Bahkan Pak Akhir lebih tahu segalanya tentang Yuki dibandingkan Orangtua Yuki yang kini entah bagaimana kabarnya karena memang Yuki sudah tak diakui lagi oleh mereka.  "Non, ayo Bapak antar ke kamar di sini terlalu dingin, Non..." Bujuk Pak Akhir.  Pak Akhir dan Bi Imah membantu Yuki berdiri, Yuki hanya menuruti saja. Dia sudah tak berteriak atau menggumam seperti tadi, hanya saja Yuki masih terisak sesenggukan. Bi Imah dan Pak Akhir memandang prihatin dan kasian. Saat di mana Yuki membutuhkan orang-orang yang ia cintai berada di sampingnya nyatanya ia hanya sendiri.  Sepasang suami-istri itu merebahkan badan Yuki ke atas tempat tidur. Yuki manut saja denga apa yang dilakukan oleh mereka berdua. Bi Imah menyelimuti badan Yuki, beliau mengusap kepala Yuki dangan sayang dan menghapus jejak air mata di pipi sang majikan. "Tidurlah, Nak. Lupakan tentang hari ini, bangunlah esok dengan senyum indahmu." Bisik Bi Imah sebelum meninggalkan Yuki.  Masih di Kota yang sama namun di tempat yang berbeda, meski malam menyapa namun keramaian masih tercipta. Danish masih sibuk mengoceh di samping Ayahnya yang sudah merem melek karena kelelahan. Stefan sudah ingin tidur sedari tadi, namun Danish masih saja mengajaknya bicara, alhasil Stefan hanya membalasnya dengan gumaman saja karena sebagian otaknya sudah tertidur.  Danish sedang mewarnai kuku beserta jari-jarinya dengan pena berwarna yang ia ambil dari meja kerja sang Ayah. Danis memperhatikan hasil karyanya dengan seksama, ia tersenyum senang karena merasa bangga dengan hasil karyanya sendiri yang menurut dia sangat indah, meski hanya garis-garis tak beraturan.  Danis menggoncang tubuh Ayahnya. "Yayah... Yah.... Ihat nih," Danish menunjukkan salah satu tanggannya yang sudah penuh dengan coretan kepada Stefan, namun Stefan masih memejamkan matanya. Ia merasa sudah tak kuat untuk sekedar membuka mata. Rasa kantuk sudah bergelayut manja.  "Yah..... Ayahhhhhh...!" Teriak Danis dengan kesalnya karena terus saja diabaikan.  Dengan sangat terpaksa Stefan membuka mata saat suara melengking milik Danish masuk kedalam indra pendengarannya. Stefan mengusap wajahnya, "Kenapa si Dan, Ayah udah ngantuk sayang. Sini, Danish bobo sama Ayah." Stefan mendekap tubuh Danis, Danis yang tadinya duduk kini justru tiduran dalam dekapan Stefan.  "Yah, ihat duwu nih....." Tunjuk Danish tepat di wajah Stefan.  Stefan membelalak tak percaya pada apa yang ia lihat. "Ya Allah, Danish...." Geram Stefan. Ia melihat kuku putih anaknya berubah menjadi biru, goresan-goresan tak jelas memenuhi punggung tangan anaknya.  "Kamu apakan tangan kamu sayang ?" Tanya Stefan sembari membolak-balikkan tangan Danis.  "Danis gambar tangan Danish kaya Onti Na, Yah. Baguskan ?"  Gubrag  Stefan menepuk jidatnya sendiri. Semua ini gara-gara kakaknya tadi datang berkunjung setelah menghadiri pesta pernikahan adik iparnya. Tangan kakak Stefan di hias dengan hena dan kukunya berwarna orange karena di cat menggunakan hena juga. Kata Kakaknya pingin pakai karena sewaktu menikah dulu belum zamannya para calon pengantin menggunakan hena. Danish yang penasaran akan tagan sang Onti akhirnya meniru dengan menggunakan sepidol.  "Kelakuan kids jaman now!"  "Yayah kenapa pandang aku gitu, jelek ya Yah ?" Tanya Danish dengan raut keceanya. Baru kali ini hasil karyanya tidak di nilai sempurna oleh Stefan. Biasanya Stefan akan membanjiri Danish dengan pujian ataupun memberikan nilai seratus atau ciuman. Tapi ini Stefan justru memandang aneh pada sang anak.  Stefan beranjak dari posisi tidurnya, ia tak lupa membangunkan Danis juga. "Danish sayang, ini bukan jelek atau Ayah nggak suka. Tapi tidak seharusnya Danis gambar kuku dan tangan Danis seperti itu, apalagi menggunakan sepidol. Itu tidak baik sayang, tangan Danis jadi kotor dan Danis bukan seorang wanita, cat kuku dan lukisan hena hanya bisa di pakai seorang wanita sayang." Pelan Stefan memberi pengertian kepada Danish agar Danish tak tersinggung dan juga faham dengan apa yang dimaksud oleh Stefan.  Danish mengangguk paham, ia minta di gendong ke kamar mandi untuk membersihkan noda di tangannya. Danish memekik geli saat Stefan menggoda anaknya dengan cara menggelitik pinggang Danis. Ia gemas sendiri dengan perilaku Danish hari ini.  "Yayah, geli.... hahahah."  "Ini hukuman buat Danish karena sudah mengotori tangan Danish, lihat nih susahkan di bersihkan."  "Maaaf Yah, janji besik nggak lagi."  "Oke, Ayah pegang janji Danish."  "Ayyyayyy Kaptennnnnn....."  **** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD