Si Masa Lalu

1274 Words
Pagi kembali hadir, Stefan bangun pagi kali ini sesuai dengan janjinya pada sang Bunda. Ia bangun tepat saat adzan subuh berkumandang, tak lupa dirinya menjalankan ibadah sebagai kewajiban. Ia juga mengajak Danish sholat, anak itu ikut bangun dan sempat rewel juga tapi Stefan bisa menenangkan Danish hingga anak itu tidur lagi sampai sekarang.  Usai menjalankan kewajiban Stefan tidak kembali tidur. Ia menupatkan diri untuk membaca beberapa file pekerjaan dan buku bacaan tentang bisnis. Saat dirasa cukup, pria beranak satu turun ke dapur menemui Bundanya yang sedang berkutat dengan bahan masakan untuk santap pagi keluarga.       "Wangi amat Bun, masak apa?. " Tanya Stefan yang kini sudah memeluk sang Ibunda dengan posesif dari belakang.  "Minggir, anak nakal. Bunda lagi masak ini !." Usir sang Bunda, beliau merasa terganggu dengan ulah putranya.  "Biar si Bun, Stefan kan masih kangen sama Bunda. " Rayunya.  "Gombal banget kamu, makanya cari istri sana biar bisa di peluk-peluk ...." Ucap Bunda yang tanpa beliau sadari membuat Stefan mengepalkan tangan karena benci mendengar kata pernikahan.  Stefan melepas pelukan pada sang Bunda, niat Stefan untuk membuatkan Danish s**u gagal sudah. Stefan membalikkan badan dan melangkah dengan tegas menjauh dari dapur. Ia membutuhkan tempat untuk melampiaskan kemarahannya sekarang juga.  Stefan kembali masuk kedalam kamar, tak lupa mengunci pintu kamar. Ia benar-benar ingin sendiri, tidak mau diganggu. Stefan membasuh tubuhnya dengan air dingin. Satu tangan ia gunkan untuk menopang tubuh dan satunya ia gunakan untuk menonjok dinding tak bersalah.  Stefan memukul dinding kamar mandi yang keras dengan menggunakan segenap tenanganya. Ingatannya berputar kepada masa lalu di mana seorang Stefan terpuruk hanya karena seorang wanita yang tak lain adalah istrinya, sang istri meninggalkan Stefan begitu saja tanpa sebuah pesan dan meninggalkan buah hati mereka dengan teganya.  Hubungan keduanya memang sedang tidak baik-baik saja, tapi bukan ini juga yang Stefan inginkan. Seandainya saja sang istri mengakui kesalahannya dan meminta maaf, maka Stefan akan memaafkan dirinya meski luka yang ditimbulkan tidak mungkin hilang dengan sempurna.  Stefan ingat betul waktu itu dimana ia dan keluarganya berkumpul. Mereka sedang menghakimi seorang Yuki. Yuki baru saja ketahuan jika selama ini ia selingkuh di belakang suaminya.  "Stef, kamu percaya sama aku kan ? aku nggak melakukan perselingkuhan, sungguh." Kata Yuki sambil berlutit di hadapan Stefan. Stefan tak bergeming sedikitpun bahkan tatapannya tak menatap Yuki, ia memandang kedepan entah memandang apa.  "Semua bukti sudah ada, kamu mau ngelak seperti apapun kami sudah tidak percaya!" Kata si Oma. Berawal dari oma ini lah semua kelakuan Yuki di belakang suaminya terbongkar. Oma menyuruh beberapa orang suruhannya untuk mengikuti Yuki kemanapun Yuki pergi dan melaporkan setiap tindakan yang Yuki lakukan. Satu minggu lalau, sebelum Yuki masuk rumah sakit untuk melahirkan, ia tertangkap basah sedang berjalan berdua dengan seorang pria. Bahkan mereka saling berpelukan diakir pertemuan keduanya. Bukti itu yang Oma perlihatkan pada semuanya.  "Saya ingin kamu pisah dengan anak saya sekarang juga!" Tegas Ayah Stefan, mertua Yuki.  "Yah...." Panggil Yuki lemah.  "Bunda nggak nyangka, kamu menyakiti Bunda." Lirih Bunda, ibu mertua Yuki.  Yuki menggeser badan lemahnya kehadapan sang Bunda, Bunda yang sudah Yuki anggap sebagai Bundanya sendiri. Bunda yang dengan tangan terbuka menerima Yuki tanpa syarat masuk kedalam keluarga mereka. "Bun, sungguh Yuki tidak melakukan apapun ..." Ungkapnya berharap ada salah satu diantara mereka yang percaya.    Stefan memejamkan mata, berharap semua hanya sebuah mimpi saja ketika ia kembali membuka matanya, namun sayang semuanya tak berubah. Ini bukan mimpi, Stefan sadar dan tak mungkin mengelak. Ia ingin terus menutup mata dan menulikan telinga kala melihat Yuki dengan isakannya masuk kedalam kedua indra perasa Stefan. Hal yang paling ia hindari selama ini adalah melihat tangis Yuki, karena itu sama saja dengan melukai hatinya. Stefan yang tak tahan dengan pemandangan di ruang keluarga rumahnya lantas undur diri masuk kedalam kamarnya.  Sesampainya di kamar, Stefan hanya memandang dingin foto pernikahan dirinya. Foto yang menggambarkan kebahagiaan dirinya dan juga Yuki, kemudian ia melihat foto yang babru beberapa hari terpasang. Foto dia dan keluarga kecilnya, mereka semua menampakkan sebuah kebahagiaan. Namun seketika kebahagiaan itu lenyap karena kenyataan yang ada.  Dengan kasar Stefan melepas foto sari dinding kemudian membanting ke lantai. Semua orang yang masih berada di ruang keluarga terjingkat kaget dengan suara dentuman itu. Yuki dengan tiba-tiba bangkit dari tempat persimpuhannya, ia merasa harus menemui sang suami.  Yuki membekap mulutnya tak percaya, di sana ia melihat Stefan sedang menghancurkan semua foto kebahagiaan mereka dengan tak memperdulikan darah yang sudah mengucur di lantai akibat luka tangan Stefan. "Stef, sanyang.... aku mohon jangan." Ucap Yuki pilu, ia ikut duduk di lantai, seperti yang sedang Stefan lakukan.  Berlahan Yuki mendekati Stefan, ia ingin memeluk sang suami. Yuki memeluk badan lemah Stefan, Stefan tidak menolak atau membalas pelukan Yuki. "Sayang, percaya sama aku." Bisik Yuki pada telinga Stefan. "Aku sayang dan cinta sama kamu, sungguh."  "Yah, yayah...." Teriak Danis di balik pintu kamar mandi. Bocah cilik itu sudah bangun, dia bingung mencari di mana sang Ayah yang semalam memeluk erat badan Danish dalam tidur. Dia mendengar gemercik air dari dalam kamar mandi, Danish tahu jika yang di dalam pasti Ayahnya. Maka dengan hati-hati Danish menuruni ranjang tempat ia tidur kemudian langkah kecilnya berjalan menuju pintu kamar mandi.  "Yayah.... Buka!." Teriak Danish lagi hingga masuk kedalam telinga Stefan suarany.  "Sebentar....." Teriak Stefan tak kalah kencangnya.  Stefan cepat-cepat menyudahi acada mandinya, kemudian mengambil handuk untuk mengeringkan badan.  "Ya... " Panggilan Danish terhenti kala Stefan menampakkan diri di hadapan sang putra.  "Ayah kenapa lama sekali?." Tanya Danish dengan raut kesal.  "Maaf sayang, sekarang Danish mandi ya? Nanti ikut Ayah lagi ke restoran. " Bujuk Stefan pada Danish yang masih dalam mood ngambek.        "Siap Ayha, Danish juga pingin ketemu Bunda. "  Kening Stefan menyerit "Bunda?. " Tanya Stefan.  "Iya,"  Dia sudah bertemu Danish ? Tapi kenapa dia belum menemuiku ?.  *  Stefan dan Danish baru saja sampai di restoran mereka. Seperti biasa, Danish kembali duduk di meja yang tak jauh dari dapur tempat di mana sang Ayah mengolah menu makanan. Danish kembali memainkan lego yang ia bawa dari rumah, kali ini lego jauh lebih Indah daripada iPhone sang Ayah.  "Apalah kemarin kalian lihat Danish mengobrol bersama seorang wanita?." Tanya Stefan pada beberapa karyawannya.  "Maaf, mas. Kami tidak tahu, tapi mulai hari ini kami janji akan memperhatikan Danish jika bersama orang asing. "  "Baiklah, lanjutkan pekerjaan kalian. "  *  Yuki kembali terlihat segar. Seperti bisikan Bi Imah, ketika mata Yuki kembali memandang dunia pagi ini, ia seolah lupa akan kejadian semalam. Ia bangun dengan wjah khas orang bangun tidur, kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Hari ini dia absen di butik, ia akan kembali datang ke restoran tempat di mana sang anak dan anan sumi menghabiskan hari.  "Non, non jadi ke tempat Nak Stefan ?." Tanya Bi Imah pada sang majikan.       Yuki mengangguk "Do'akan Yuki, Bi. Semoga Stefan mau menerima kedatangan Yuki. Yuki sudah tak bisa membendung lagi keinginan Yuki untuk hidup bersama Danish. "  "Bibi selalu doain non Yuki."  Yuki meraih tangan Bi Imah "Bi, jangan panggil aku Non dong, panggil Nak aja atau apalah gitu. Aku bukan gadis, aku sudah punya anak satu kalau Bibi lupa. "  "Jadi sudah sadar sekarang nih?...." Goda si Bibi.  "Iya, kalau itu yang mau Bi Imah dengar. "  Si Bibi lantas tertawa "Baiklah, kalau begitu Bibi panggil Nak aja. Nak Yuki sudah Bibi anggap sebagai anak Bibi sendiri. "  "Makasih, Bi. Yuki sayang sama Bi Imah."  "Bibi lebih sayang, Nak. hehe Perasaan Yuki tak menentu, saat ini Yuki susah berada di parkiran restoran. Sebelum kesini Yuki menyempatkan diri berbelnja makanan dan juga mainan untuk Danish.  Beberapa kali Yuki terlihat mengambil dan membuang nafas, untul menetralkan debar jantung dan juga peradaannya. Bagaimanapun ia akan bertemu dengan Stefan dan itu cukup membuat perasaannya naik turun tak menentu.  "Aku pasti bisa... "  *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD