Bahagia

1091 Words
Setelah puas berkeliling, aku kembali memarkirkan diri ke kantor sahabatku. Kepalaku cukup pusing membuat gagal konsen bekerja, aku butuh pengalihan untuk kembali menyegarkan otak.  "Wulan, Ica ada di dalam ?." Tanyaku pada asisten Ica.  "Ibu Yuki, ada bu. Kebetulan juga nggak ada tamu. "  "Oke, aku masuk dulu kalau begitu."  "Silahlan, bu. "  Tok tok  Aku mengetuk pintu ruang kerja Ica, kebiasaan yang tak pernah aku lupa. Karena aku pun menerapkan hal sama kepada setiap orang yang hendak masuk keruanganku, sehingga aku juga harus menerapkan kepada diriku sendiri.  "  Masuk... " Meski samar tapi aku masih bisa menangkap sura Ica yang berarti mengizinkan aku untuk masuk ke dalam.  "Siang ibu, lagi sibuk?. " Tanyaku sambil melangkah mendekati Ica, dia sedang asik mengolahragakan jari di atas keyboard leptop.  Ica mengangkat kepala dan menatap ke arahku. Kami berdua saling menebar senyum, ia beranjak dari meja dan menghambur ke dalam pelukanku.  "Kangen, " Rengek Ica.  "Aku juga. " Balasku.  Singkat cerita, kemudian kami duduk di sofa empuk yang ada di dalam ruangan ini.  "Pasti ada sesuatu yang penting ingin kamu ceritakan !." Tebak Ica, tebakan Ica memang nggak pernah meleset.  "Kamu ini," Jawabku, aku menyandarkan punggung mencari posisi nyaman sebelum bercerita padanya.  "Kamu habis ketemu sama dia ?."  "Ya, aku ketemu dia. Bahakan kami sempat mengobrol. " Jawabku sambil menerawang atas kejadian beberapa jam lalu. Aku tersenyum kala melihat wajahnya dalam bayangan. Dia begitu tampan, manis, asik dan tidak membosankan.   "Sampai kapan kamu jadi orang gila? Berhentilah ki, jangan sakiti hati kamu terus. "  "Tapi aku juga nggak bisa melakukan itu, aku dan dia...." Aku tak bisa melanjutkan ucapanku, aku yakin Ica sangat tahu alasanku. Ica merupakan salah satu saksi kunci kehidupanku baik dimasa lalu maupun sekarang.   Ica berdecak kesal. Aku tahu dia pastu sudah bosan dengan tingkahku selama ini yang nyatanya masih stak di sini, sini aja. Berulangkali, tidak hanya Ica, semua orang dekatku mengatakan jika aku harus moveon dari masalalu dengan memperbaiki semua keadaan tapi aku belum berani.   "Sampai kapan kamu akan membiarkan kesalahpahaman ini berlanjut, tidak cukupkah dua tahun saja?." Tanya Ica dengan gemasnya. "Aku tahu semuanya tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun jika kamu terus seperti sekarang semua nggak akan ada perubahan apapun. Apa kamu tega membiarkan dia tumbuh dengan kasih sayang yang kurang? Kamu membiarkan Cinta kalian hanyut begitu saja padahal kalian masih saling Cinta?. Hanya orang bodoh yang melakukan hal itu, sungguh aku gemas dengan kalian berdua."  Aku menggaruk kening yang sama sekali tidak gatal. Sungguh aku bingung mau memulai semua dari mana, karena memang benar-benar sulit untuk dilakukan. Banyak hal yang harus muncul dulu kepermukaan sehingga aku bisa kembali hidup bersama orang-orang yang aku sayang. Semuanya sudah cukup hancur ketika seseorang dalam hidupku yang selalu aku hormati bahkan melebihi orangtuaku sendiri menusuk dari belakang. Awal aku berkenalan dengan beliau, beliau begitu baik. Beliau seperti cahaya dalam gelapku dikala aku kesusahan, dikala aku tersakiti. Namun nyatanya semua hanya kebohongan belaka, beliau baik hanya untuk menutupi ketidak sukaanya padaku. Beliau berhasil membuatku nyaman dan percaya segala hal yang beliau ucapkan dan setalh itu BOMM, beliau menghancurkanku dengan sebuah bom.  "Gue yakin lo bakalan bener-bener gila, Ki!." Kesal Ica sambil memijit kepalanya, menandakan dia bener-benar sudah pusing mengurusiku. Buktinya saja dia sudah mengganti sebutan dari kamu menjadi lo, panggilan dia dikala sudah benar-benar kesal padaku.  "Biarin, kalau bisa lenyap dari muka bumi ini aja aku mau biar berita itu menjadi kenyataan."  Ica mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke udara, aku hanya tersenyum hambar untuk membalas tingkahnya sekarang di hadapanku. "Aku butuh kafein, Ca. Please kasih aku satu cangkir aja nggak apa-apa deh."  "No....!" Jawabnya tegas sebelum akhirnya meninggalkanku sendiri di ruangannya.  Sepeninggal Ica yang aku sendiri nggak tahu dia mau kemana, aku mengambil telepon genggam di dalam tas. aku membuka kunci ponselku sendiri kemudian mengamati sebuah foto yang aku jadikan gambar layar. Bibirku tertarik ke atas kala melihat gambar menggemaskan itu, tak cukup dengan gambar yang terpampang di layar depan, jari-jariku bergulir untuk membuka galeri. ku buka folder demi folder yang aku kasih tanda dengan nama tempat di mana aku mengambil gambar itu. Sedikit air mataku menetes, nafasku sudah tak selanjar beberapa detik lalu, dadaku mulai terasa sesak dan hatiku terasa nyeri.  Terimakasih sudah hadir ke dunia ini, kamu adalah penyemangat dan sumber kehidupan bagi bunda. Bunda bahagia bisa melihat perkembanganmu meski dari jauh, bunda bahagia melihatmu tumbuh dengan baik dan sehat.  ***  "Pulang cepat ?." Suara bariton itu membuat Yuki berjingkat kaget. Baru saja dia masuk kedalam rumah dengan membuka pintu terlebih dahulu tentunya, belum juga menutup pintu dengan sempurna, ia sudah kaget setengah mati karena ulah orang yang sekarang sedang berdiri di belakangnya sembari menyilangkan tangan di d**a.  "Kalau mau bikin gue cepet mati nggak gini caranya !" Kesal Yuki pada seseorang yang sedang cengegesan tanpa ada rasa bersalah dan dosa sama sekali.  Orang itu adalah Varel, sepulang dari kerja dia tidak langsung pulang ke rumahnya melainkan ke rumah Yuki terlebih dahulu. Ia merasa tak enak hati akan kejadian kemarin yang membuat Varel gagal total ngajak Yuki makan siang dan tragisnya dirinya malah membuat Yuki mengamuk bak singa.  Varel mengikuti langkah kaki Yuki menuju dapur. Yuki ingin membasahi tenggorokannya dengan air dingin. Sesampainya di dapur, Yuki melempar begitu saja tas yang tergenggam manis di tangannya ke atas meja makan sehingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Varel saja sempat mengusap dadanya karena kaget.  Yuki menengguk air mineral hingga tandas. "Gila sahabat gue ini, lo mirip sama onta sumpah Ki." Ledek Varel, mencoba mencairkan suasana. Jujur Varel masih canggung berhadapan dengan Yuki, namun mau bagaimana lagi. Mau tak mau Varel harus bertemu dengan Yuki, dia nggak mau lebih lama lagi merasa bersalah.  "Mending lo pulang deh, gue pingin istirahat." Usir Yuki. Yuki memang butuh istirahat, bukan hanya badannya saja, tetapi otak dan pikirannya juga.  Varel mencegah langkah Yuki dengan merah pergelangan tangan Yuki. "Maafin gue dulu baru gue pulang...." Ucapnya sembari mengangkat dua jari membentuk simbol perdamaian.  yuki membuang nafas secara kasar, sungguh Yuki tak memiliki rasa marah kepada Varel. Yuki hanya merasa sedikit kesal saja dengan manusia satu ini. Jadi jika Varel meminta Yuki untuk memaafkannya, Yuki bingung. Varel tak memiliki salah apa-apa.  "Pleaseeeeee....." Mohon Varel dengan muka memelasnya.  "Gue nggakmarah kok sama lo, cuma sedikit kesel aja. Jadi nggak usah minta maaf, gue udah nggak apa-apa."  "Seriusan ?"  "Serius, tapi janji...."  "Apa ?"  "Jangan bahas ataupun nyinggung-nyinggung masalalu gue tentang yang satu itu. Gue masih sangat sensitif, Rel."Ucap Yuki penuh permohonan.  Varel mengacak rambut Yuki yang sudah berantakan menjadi sangat berantakan. "Oke pricessssss, makasih. Sekali lagi maafin aku ya, aku pulang dan met istirahat."  "Oke, hati-hati di Jalan."  *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD