Aku Ibumu

1596 Words
“Bu.” Tidak ada sahutan. Yang dipanggil hanya menoleh sekilas lalu kembali fokus ke televisi, menonton siaran kontes dangdut yang menjadi favoritnya. Tyas sudah duduk di sofa tunggal dekat pintu utama. Ia baru saja masuk setelah duduk di teras dengan gelisah selama lima belas menit. Kedua tangannya kompak meremas rok. Bibir bawahnya digigit sambil sesekali melirik takut ke arah sang ibu. Berkali-kali ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Namun, debaran jantungnya tak kunjung normal. “Bu.” Ia beranikan diri untuk memanggil lagi. Syukurnya kali ini sang ibu membalas dengan gumaman sinis. “Je—Jena belum ... pulang?” Nenek Rah yang sejak tadi tak acuh, mendadak tersentak. Hatinya diselimuti rasa haru hingga membuat matanya terasa panas. Ia berharap gendang telinganya tidak salah dalam menangkap gelombang suara. “Jenna bilang nggak, Bu, dia pergi ke mana?” Kali ini lidah Tyas tak sekaku tadi saat menyebutkan nama putrinya. “Jenna kerja! Sudah bilang kalau mau pulang terlambat.” Meski hatinya menghangat, Nenek Rah tetap menjawab dengan ketus. Tyas tergemap. Ia tidak salah dengar ‘kan? Jenna bekerja? Untuk apa? Bukankah kebutuhan gadis itu sudah ia penuhi? Apa mungkin Jenna terlalu boros hingga uang bulanan darinya tidak cukup? Pertanyaan-pertanyaan itu kini bersarang memenuhi kepalanya. “Kerja?” tanyanya memastikan. “Iya. Jadi penyanyi di kafe.” Deg! Napas Tyas yang sudah terasa berat sekarang tertahan bersamaan dengan detak jantung yang hilang untuk beberapa saat. Matanya terbelalak tak percaya. Bagaimana bisa ibunya mengizinkan Jenna yang masih remaja bekerja sebagai penyanyi di kafe? Tidakkah ibunya berpikir itu cukup berbahaya. “Dia kerja juga gara-gara kamu!” sembur Nenek Rah sebelum Tyas sempat membuka mulut. “Omongan kamu empat tahun lalu yang bikin Jenna rela ikut jaga kantin sampai nyuci piring di warung makan. Supaya apa? Supaya nggak jadi beban kamu.” Tyas merasa tertohok. Ia mematung dengan bola mata yang mulai berkaca-kaca. Nyeri di dadanya semakin menjadi-jadi. Seperti ada sesuatu yang membebat erat di sana. Sekelebat kenangan saat ia seusia Jenna melintas tanpa diminta. Sesulit apa pun perekonomian keluarganya dulu, ia tidak pernah ikut mencari uang. Tugasnya hanya belajar dan membantu pekerjaan rumah. Ibunya juga tidak pernah mengeluh atau marah saat ia meminta sesuatu. Wanita yang menjadi orang tua tunggal sejak ia berusia tiga belas tahun itu selalu berusaha memenuhi keinginannya meski harus bekerja lebih keras. Tyas merasa tertampar. Ibunya begitu menyayanginya. Bahkan, ketika musibah itu datang menghancurkan kehormatan mereka. Sang ibu tetap menjadi garda terdepan untuk membela dan melindungi. Ibunya tidak pernah menganggapnya beban. Sementara dirinya, jangankan memperlakukan Jenna seperti ibunya dulu, menggendong gadis itu saat bayi saja ia tidak sudi. Ia malah membenci dan menolak kehadiran anak yang tidak pernah menuntut apapun padanya. “Apalagi sejak jualan online-nya rame, dia sama sekali nggak mau pakai uang kamu atau ibu untuk keperluannya .... Kalau tahu makanan di rumah ini belinya pakai uangmu, mungkin dia lebih milih kelaparan.” Wanita paruh baya itu beranjak dari sofa. Masuk ke kamar yang bersampingan dengan milik Jenna. Meninggalkan Tysa yang sibuk menikmati penyesalan. “Ini buktinya kalau kamu nggak percaya!” Nenek Rah keluar kamar dan langsung melemparkan sebuah buku rekening ke atas meja, tepat di hadapan Tyas. Tyas menatap ibunya dan buku secara bergantian. Dengan sedikit gemetar tangannya terulur meraih buku bersampul biru tua tersebut. Matanya awas mengamati deretan angka yang tercetak di sana hingga lembar terakhir tulisan berada. “Setiap kamu kirim uang, Ibu selalu masukkan bagian Jenna ke rekening itu.” Setiap mengirim uang, Tyas selalu menyisipkan beberapa rupiah khusus untuk Jenna. Tujuannya, agar sang ibu bisa puas menikmati hasil jerih payahnya tanpa perlu memikirkan rengekan Jenna yang meminta ini dan itu. Secara rutin pula ibunya melaporkan pengeluaran Jenna. Apa saja yang dibeli dan dibayar Jenna dengan uang tersebut meskipun ia tidak peduli. Namun, beberapa tahun terakhir daftar pengeluaran Jenna tidak sepanjang biasanya. Bahkan nyaris tidak ada. “Saking nggak maunya dia pakai uang dari kita, dia rela menjual kalung pemberian ibu untuk modal jualan.” Nenek Rah belum selesai. Ia menghela napas dalam untuk meredam semua rasa yang membuat dadanya sesak. Sementara Tyas hanya diam sambil memandang pilu pada buku yang masih ia pegang. Setetes cairan bening jatuh tanpa bisa dicegah, membasahi bagian bawah buku tersebut. “Sakit karena perlakuan buruk orang lain itu masih bisa ditahan, Yas. Tapi lain ceritanya kalau yang melakukan itu ibu sendiri. Sakitnya bakal tetap terasa sampai kapan pun!” Nenek Rah mengatakannya dengan suara tercekat. “Ibu cuma bisa berdoa supaya kamu cepat sadar. Jangan sampai sakit hatinya Jenna berubah menjadi dendam. Kalau itu sampai terjadi, bersiaplah untuk menanggung penyesalan seumur hidup.” Nenek Rah berbalik, masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Sengaja meninggalkan Tyas seorang diri, agar anak perempuannya itu bisa merenung dan menyadari kesalahannya. *** Tyas tampak gelisah. Duduk, berdiri, melihat jam dinding, lalu mengintip di balik tirai jendela berulang kali ia lakukan. Terkadang ia keluar hingga ke halaman, menengok ke arah jalan raya berharap ada tanda-tanda kepulangan Jenna. Nihil. Hingga pukul setengah dua belas malam suara motor Jenna belum juga terdengar. Ingin menghubungi, tetapi ia tidak memiliki nomor ponsel gadis itu. Sementara, ponsel ibunya tidak ia temukan di samping televisi seperti biasa. Kemungkinan benda canggih itu berada di dalam kamar. Lalu, siapa yang harus ia hubungi? Ia tidak mengenal satu pun teman Jenna. Buruk! Sungguh ia adalah ibu yang buruk. Tyas merapatkan jaket rajutnya, kemudian bersedekap dan sedikit bergidik kala angin bertiup semakin kencang. Meski hawa dingin menusuk hingga ke tulang, Tyas tak juga beranjak dari tepatnya. Ia tetap berdiri di tepi jalan sambil menatap ke arah gapura gang. Tyas mendongak. Langit yang semula hitam bersih, kini mulai berubah menjadi kelabu. Tyas semakin cemas. Terlebih saat suara gemuruh mulai terdengar. Ia pun membalikkan badan dan bergegas masuk ke rumah. Tak ada pilihan lain, ia harus meminjam ponsel ibunya untuk menghubungi Jenna. Terserah, jika nanti wanita yang selalu menemaninya di saat terpuruk itu mengatainya sebagai ibu yang gagal, ibu yang tidak becus atau ibu durhaka. Ia tidak peduli karena memang itulah kenyataannya. Saat ini yang terpenting adalah mengetahui keberadaan putrinya. “Bu,” panggilnya setelah mengetuk pintu kamar ibunya. Tak ada sahutan. Tyas semakin merapatkan tubuh dan menempelkan telinganya pada benda berbahan jati tersebut. Mencoba mencuri dengar apa yang terjadi di dalam ruangan pribadi sang ibu. Sebab, ia yakin wanita bernama asli Tirah itu masih terjaga. Buku-buku jari Tyas gagal menyentuh daun pintu saat rungunya menangkap deru motor yang berhenti di halaman rumah. Meskipun baru beberapa kali mendengar, ia yakin itu bukan suara kendaraan Jenna. Penasaran, ia pun gegas melangkah menuju pintu utama. Tidak langsung membuka, ia malah menyingkap sedikit kain penutup jendela kaca dan mengintip keluar. Matanya seketika membeliak saat mendapati putrinya turun dari motor hitam yang dikendarai seorang pemuda. Meski tidak terlihat akrab, tetap saja emosi Tyas tersulut. Sebab, kini yang terlintas di otaknya adalah hal-hal negatif. Namun, Tyas berusaha menahan diri untuk tidak keluar. Meskipun rasanya ia ingin segera menyeret Jenna masuk dan menginterogasinya. Saat motor pemuda itu meninggalkan halaman rumah, Tyas langsung menutup kembali tirai, lalu memutar anak kunci. “Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?” hardiknya saat membuka pintu membuat Jenna sedikit tersentak. Kelopak mata gadis itu terbuka lebar. Bibirnya bergerak menggumamkan kata ibu. Namun, keterkejutan itu hanya berlangsung beberapa detik sebelum Jenna mengubah mimiknya menjadi datar. Bukannya menjawab, Jenna malah melepas sepatunya dengan santai, lalu menunduk untuk meraih alas kakinya itu. Sebelah tangannya ia gunakan untuk mendorong daun pintu hingga terbuka sempurna. Lalu ia masuk tanpa memedulikan Tyas yang berdiri di sisi kiri pintu. Melihat itu Tyas semakin Geram. Ia segera menutup pintu tanpa menguncinya, lalu melangkah cepat menyusul Jenna yang hampir masuk ke kamarnya. “Jenna!” sentaknya sembari menarik bahu gadis itu hingga berbalik menghadapnya. “Dari mana kamu?” “Kafe,” jawab Jenna santai setelah menghela napas pendek. “Kenapa jam segini baru pulang? Kamu nggak tau ini sudah hampir tengah malam. Terus, mana motor kamu, kenapa pulang diantar laki-laki?” Dicecar seperti itu, membuat Jenna yang sudah sangat lelah semakin kesal. Ia pejamkan matanya sejenak, berusaha mempertahankan kewarasan agar tidak ikut meninggikan suara. Ah, untung saja sedang hujan lebat. Jadi, suara ibunya bisa sedikit teredam. Kalau tidak tetangga di samping rumah pasti langsung melapor pada ketua RT. Jenna menghirup dalam-dalam udara kemudian mengembuskannya dengan kasar. Berharap kekesalannya ikut terhempas. “Hari ini aku lembur karena permintaan istri bos. Aku tau ini sudah hampir tengah malam. Motor, aku tinggal di kafe karena bannya bocor. Kenapa pulang sama laki-laki ...,” Jenna sedikit memberi penekanan pada kalimat ini. “karena nggak ada bengkel yang buka, jadi mau nggak aku terima tawaran laki-laki tadi untuk pulang bareng,” jawab Jenna sesuai urutan pertanyaan. Untuk pertama kali, Jenna bisa beradu tatap dengan si pewaris mata indahnya. Ada kekhawatiran yang terpancar dari sana. Tiba-tiba saja ia tertawa kecil. Tawa heran yang membuat alis Tyas nyaris bertaut. “Aneh, kok, kesannya Mbak Tyas lagi khawatirin aku, ya? Biasanya juga nggak pernah. Ketempelan di mana, Mbak?” Raut Tyas langsung berubah muram. Kata-kata yang diucapkan Jenna dengan nada candaan justru terasa seperti anak panah yang menghunjam jantungnya. Sakit. Bukan hanya dadanya tapi seluruh tubuhnya ikut merasakan nyeri. Susah payah Tyas menelan air liurnya, membasahi tenggorokan agar kalimat yang tertahan di sana bisa keluar tanpa hambatan. “Mbak ---“ “IBU, JEN! IBU!” bentak Tyas setelah berhasil menghancurkan sekat-sekat tebal di tenggorokannya. Bersamaan dengan suara guntur yang menggelegar. Senyum Jenna seketika pudar saat melihat wanita di hadapannya menjerit sambil berlinangan air mata. Bahkan tergugu sambil meremas kain di dadanya. “Aku ibumu, Jen. Ibumu.” Suara Tyas kian melirih. Selanjutnya yang terdengar hanya suara isaknya yang menyayat hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD