Jenna baru mengeluarkan sepeda motornya dari parkiran saat keadaan sekolah benar-benar sepi. Malas berdesakan, begitu biasanya dia memberi alasan jika ada yang bertanya. Namun, kali ini ada alasan lain yang membuatnya bertahan di tempat parkir dengan perasaan sedikit kesal.
Ia harus menunggu salah satu staf tata usaha yang ingin mengambil pesanan. Sialnya, staf tersebut terjebak rapat di ruangan kepala sekolah. Padahal, ia sudah menawarkan diri untuk mengantarkannya ke ruang tata usaha saat jam istirahat pertama tadi.
Sepanjang jalan, Jenna terus menggerutu. Meluapkan kekesalan dan mengeluhkan perutnya yang sudah meronta minta diberi asupan.
“Aku pulang,” serunya saat berada di depan pintu.
Seperti biasa, ia melepas sepatu dengan cara menginjak bagian belakangnya secara bergantian. Membiarkannya tergeletak di sana, lalu masuk ke dalam rumah tanpa melepas kaus kaki.
Tas ransel yang menggantung di bahu kiri ia letakkan di atas meja ruang tamu sekaligus dengan jaket denim berwarna light blue yang hari ini ia pakai.
Setelah mencuci tangan, Jenna mengambil piring dan duduk di meja makan. Tudung saji ia pindahkan ke lantai. Tak peduli jika sang nenek akan memarahinya nanti. Saat ini, yang terpenting adalah mengisi kampung tengah.
Ia isi piringnya dengan dua sendok nasi dingin yang selalu disediakan sang nenek. Lalu, menambahkan sayur sop tanpa kentang dan sepotong ayam goreng bagian sayap.
“Jenna ...,” geram wanita setengah abad yang baru keluar dari kamar mandi.
Buru-buru ia menghampiri sang cucu yang tetap fokus dengan kegiatannya.
“Tunda dulu marah-marahnya, ya, Nek. Aku lapar banget ini,” pinta Jenna saat Nenek Rah sudah berdiri di sampingnya sambil bertolak pinggang dan memasang wajah seram. Mata melotot, bibir menipis menahan geram dan napasnya sedikit memburu.
Bukan tidak siap dimarahi, Jenna hanya tidak ingin nafsu makannya hilang. Lagi pula, Jenna sudah hafal rangkaian kalimat pedas yang akan diucapkan neneknya, lengkap dengan intonasi dan tanda bacanya.
Nenek Rah urung menyemburkan amarah. Wanita berdaster batik itu memilih duduk di samping Jenna yang terlihat begitu lahap menyantap makanannya. Tidak seperti biasanya.
“Memangnya habis ngapain sampai kelaparan begini?”
“Nunggu orang yang mau ambil pesanan. Lama banget.”
“Di sekolah nggak jajan?”
Gelengan sang cucu membuat Nenek Rah mendengkus. Pantas saja kelaparan. Apalagi tadi pagi gadis yang ia asuh dari bayi itu hanya sarapan dengan tiga suap nasi goreng. Itu pun ia suapi saat Jenna sedang memasang sepatu.
“Harus berapa kali diingatkan, sih, Jen. Jangan sampai telat makan. Kalau sudah kena asam lambung itu repot. Makan salah nggak makan lebih salah.”
“Uangku habis buat modal. Jadi nggak bisa beli-beli,” ungkap Jenna setelah membasahi tenggorokannya dengan segelas air putih.
Sudah dua hari ini, Jenna yang biasa membeli nasi atau roti saat mengantar kue buatan neneknya, menahan diri untuk tidak belanja. Ia harus berhemat untuk mengembangkan usahanya.
Bahu Nenek Rah merosot seiring dengan napas yang dihembuskan perlahan.
“Kan bisa dipotong uang hasil penjualan kue, Jen,” kata wanita itu. Tak habis pikir kenapa sekarang Jenna enggan menerima uang darinya.
“Lagian kenapa kamu nekat nyetok baju sebanyak itu? Kenapa nggak seperti biasanya saja, beli sesuai pesanan orang. Atau berhenti sekalian, fokus sama sekolah kamu.”
“Aku nggak mau jadi beban untuk orang lain.”
“Siapa yang anggap kamu beban? Kamu itu tanggung jawab---”
“Mbak Tyas.”
Jawaban santai Jenna sontak membuat bibir Nenek Rah terkatup rapat. Rautnya berubah tegang dan jantungnya berdebar kencang.
“Bagi Mbak Tyas aku itu cuma luka. Luka yang nggak pernah sembuh. Membiarkan aku tetap hidup dan membiayaiku baginya sudah lebih dari cukup. Jadi, aku nggak boleh berharap untuk diperlakukan seperti anak,” lanjut Jenna mengulangi perkataan Tyas yang ia dengar empat tahun lalu.
Tak ada genangan air di pelupuk mata Jenna. Suaranya tenang. Tidak bergetar apalagi tercekat. Pun dengan raut wajahnya yang tampak biasa saja. Namun, dibalik semua itu hatinya tetap merasakan sakit yang sama.
Jenna hanya berhasil menutup luka, tapi tidak menyembuhkannya.
Di sisi lain, Nenek Rah tampak terhenyak. Napas wanita tua itu tertahan bersamaan dengan mata yang terbelalak tak percaya.
Tidak mungkin. Pasti ini hanya kebetulan. Begitu batinnya berseru menyangkal sesuatu yang dipikirkan otaknya.
“Je--Jen.” Getar bibirnya tidak bisa ia kendalikan. Ingin bertanya namun ia tak bisa. Lidahnya terlalu kaku untuk digerakkan.
“Aku dengar semuanya, Nek,” ungkap Jenna seakan bisa membaca isi kepala neneknya.
“Aku dengar apa yang Mbak Tyas bilang empat tahun lalu. Dari rencananya melenyapkanku saat masih dalam kandungan, sampai alasan dia yang nggak bisa menganggapku sebagai anak.”
Jenna menoleh. Tersenyum pada sang nenek yang sudut matanya sudah basah.
“Sekarang Nenek sudah tahu, kan, alasanku bekerja sekeras ini. Jadi, tolong jangan lagi memintaku berhenti,” katanya lalu beranjak.
Bukan tidak menghargai orang yang berusaha menunaikan tanggung jawab atas dirinya. Ia hanya tidak ingin terus menggantungkan hidupnya pada orang tersebut dan menumpuk hutang budi yang mungkin akan menyulitkannya di masa depan.
Sebab, ia sadar akan tiba masanya di mana ia akan menjadi sebatang kara.
“Nanti piringnya aku cuci,” katanya sambil berlalu ke kamar. Membiarkan peralatan makan yang ia gunakan tadi teronggok begitu saja di kitchen sink.
***
“Tumben, jam segini sudah datang,” sindir Regas yang baru datang bersama istrinya.
Ini baru jam setengah enam tapi Jenna sudah ada di kafe miliknya. Biasanya gadis itu datang beberapa menit sebelum jam delapan malam.
Setelah kejadian tadi, Jenna tidak lagi keluar kamar. Perasaan bersalah menggelayutinya setelah mengetahui sang nenek menangis. Yakin jika suasana rumah akan kembali tidak nyaman, Jenna memutuskan untuk berangkat kerja lebih awal.
“Cari lemburan,” sahut Jenna yang sedang menata anglo ‘tungku yang menggunakan bahan bakar arang’.
Selain makanan modern, kafe ini juga menyediakan menu angkringan. Sebab, pengunjung tempat ini bukan hanya dari kalangan muda.
Regas dan istrinya yang sedang mengecek mesin kasir tertawa. “Lembur itu kalau melewati jam kerja.”
“Sama saja. Kan aku kerja dua jam sebelum jam kerja aku mulai, Mas,” kata Jenna memberi pembelaan sambil meletakan wajan yang terbuat dari tanah liat di atas anglo.
“Boleh, kan, Mbak?” Kali ini pertanyaan itu tertuju pada wanita cantik dengan perut sedikit membuncit.
Jangan salah sangka. Jenna bisa mengobrol sesantai itu hanya saat Regas sedang bersama sang istri saja. Jika tidak, Jenna hanya akan menjawab seperlunya saja.
“Boleh.”
Jenna tersenyum bahagia mendengar jawaban dari wanita itu. Namun, tarikan bibirnya langsung menyusut saat istri bosnya melanjutkan, “Tapi malam ini tambah satu jam, ya.”
Gelak tawa Regas dan pegawai lainnya langsung menggema. Berbanding terbalik dengan wajah cemberut Jenna.
“Itu sih, sama saja lembur kayak yang lainnya,” gerutunya dengan bibir manyun.
“Sekali-sekali, Jen. Mbak suka dengar suara kamu.” Wanita itu tidak berbohong. Ia memang suka mendengarkan suara lembut Jenna ketika bernyanyi.
“Nggak usah, ya. Nanti anaknya mirip aku, loh.” Jenna menolak halus. Ia tidak mungkin pulang terlambat setelah kejadian sore tadi.
“Kamu cantik, suaranya bagus. Nggak masalah kalau mirip sama kamu. Ya, kan, Yang?”
Regas mengangguk sambil melirik Jenna tampak serba salah.
“Mau, ya? Sekali ini saja. Kan, sebentar lagi kamu berhenti.”
Tak ada pilihan lain. Ia pun mengiyakan permintaan wanita hamil itu.
Pengunjung mulai berdatangan. Para pemain musik juga sudah mulai bersiap-siap. Pun dengan Jenna yang sudah duduk di sebuah bangku kayu. Malam ini Jenna sendiri karena rekannya sedang berhalangan hadir.
Sambil menunggu, Jenna melihat-lihat kertas yang ada di stand partitur. Kertas yang berisi daftar lagu permintaan dari istri Regas.
Satu per satu lagu ia nyanyikan. Mulai dari pop, koplo sampai lagu barat. Tak jarang ada pengunjung yang mengajaknya berduet. Ada pula yang memberikan saweran.
Di antara banyaknya pengunjung yang ikut bernyanyi, ada sepasang mata yang menatap Jenna dengan sorot berbeda.
“Masih nggak dibalas sama tuh penyanyi?” tanya salah satu wanita yang duduk berhadapan dengan orang tersebut.
Yang ditanya menggeleng, lalu berkata, “Betul kata Dion, dia berbeda dan aku semakin penasaran.”
Wanita itu tersenyum mengejek. “Yakin kamu bisa dekatin dia? Selama ini kan kamu yang dikejar-kejar cewek.”
“Kita liat saja,” sahut pria bernama Jeffrey itu penuh percaya diri tanpa mengalihkan pandangannya dari Jenna.
Sesuai dengan janji, Jenna menambah jam kerjanya. Ia baru selesai tepat pukul sebelas malam. Tiga puluh menit sebelum kafe tutup.
Setelah berpamitan, Jenna berjalan dengan langkah lebar menuju tempat parkir. Meski sudah mengantongi izin dari sang nenek melalui pesan singkat, Jenna tetap merasa tidak enak hati.
Gegas ia memasang helm, memutar kunci kontak lalu menyalakan mesin motornya. Namun, ia merasa ada yang aneh saat mulai menarik handle gas.
“Kok, berat,” gumamnya. Melihat ke belakang tepatnya pada bagian bawah motor.
Ia pun turun, dan menuntun motornya untuk maju keluar dari area parkir khusus karyawan kafe.
“Yah, bocor,” keluhnya saat melihat ban belakang sepeda motornya kempes tanpa angin sedikit pun.
Ia melirik jam tangannya dan berdecak frustrasi saat penunjuk waktu itu sudah menunjukkan pukul 23.20. Di mana ia bisa menemukan bengkel yang masih buka di jam seperti ini.
Jenna pandangi motornya sambil berpikir. Tidak mungkin ia menumpang pada Rani. Tetangganya itu pulang sangat larut karena harus membuat laporan keuangan. Naik ojek? Jenna tidak berani.
Tidak menemukan solusi, Jenna akhirnya mendorong motornya sambil berharap akan menemukan bengkel yang masih beroperasi di perjalanan nanti.
Saat mendekati gerbang kafe, sebuah motor berhenti di sampingnya.
“Kenapa motornya?” tanya pengendara itu tanpa basi-basi.
Bukannya menjawab, Jenna malah menatap sosok tersebut. Berusaha mengenali dari bentuk mata karena wajah tertutup helm full face.
“Hei!”
Jenna tersentak mendengar seruan pria tersebut.
“Eh, anu ... ini bannya bocor,” jawab Jenna tak karuan.
“Di dekat sini ada bengkel, tapi kayaknya sudah tutup.”
“Nggak papa, aku dorong saja.” Jenna mengarahkan motornya ke kiri agar bisa melewati orang tersebut.
“Ini sudah malam, kamu yakin mau dorong sampai rumah?” Pria itu kembali menghadang.
Jenna terdiam dan berpikir. “Betul juga. Bagaimana kalau di tengah jalan ada begal?”
“Ayo, aku antar!” tawar pria itu kemudian.
Jenna menoleh, menelisik penampilan pria itu. Terlihat seperti manusia baik-baik. Tidak terlihat seperti penjahat. Begitu penilaian Jenna.
Otaknya sudah memerintahkan untuk menerima tawaran tersebut. Namun, batinnya tiba-tiba bersuara, “Jangan tertipu dengan penampilan. Ingat! Yang nyuri uang negara foto kampanyenya pakai peci.”
“Nggak papa. Saya dorong saja,” putus Jenna.
“Sudah, Mbak. Ikut masnya saja.” Tiba-tiba seseorang menginterupsi.
“Jangan takut, Mbak. Saya jamin masnya orang baik,” lanjut pria berumur yang bertugas menjadi juru parkir.
“Aku bukan orang jahat, Jen,” kata pria itu berusaha meyakinkan.
“Ikut saja. Ini sudah tengah malam, loh.” Si juru parkir kembali bersuara.
Meski ragu, Jenna akhirnya mengangguk pasrah. Ia tidak punya pilihan lain.
Jenna langsung menaiki motor pria tersebut. Duduk di belakang dengan jarak yang cukup jauh saat si juru parkir mengambil alih motornya. Tangannya ia arahkan ke belakang berpegangan pada behel ‘besi yang ada di bagian belakang jok’.
Hening menyelimuti perjalanan keduanya. Jeffrey sibuk memikirkan topik untuk mengajak Jenna bicara. Sedangkan Jenna sibuk mengatur degup jantungnya yang tak beraturan sambil terus merapalkan doa dalam hati, meminta keselamatan.
“Jen,” panggil Jeffrey sedikit berteriak karena suaranya teredam suara angin.
“Iya,” sahut Jenna, sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan.
“Jangan pegangan di behel, motornya jadi nggak imbang.”
Jeffrey tidak membual. Motornya sedikit oleng setiap kali berada di tikungan. Jenna pun merasakannya.
“Pegang paha kamu aja,” pinta Jeffrey kemudian.
Jenna tak menyahut, tapi mengikuti permintaan Jeffrey.
Di sisa perjalanan, keduanya tidak lagi saling berdiam. Bukan karena telah akrab dan mengobrol santai, tetapi karena Jenna harus menunjukkan arah menuju rumahnya.
“Terima kasih,” ucap Jenna setelah sampai dan turun dari motor sport berwarna hitam.
“Sama-sama.”
Ini sudah tengah malam, Jenna tidak mungkin menawarkan pada Jeffrey untuk singgah ke rumahnya. Lagi pula, sang nenek tidak akan mengizinkan.
Setelah motor yang hitam yang mengantarnya pulang tidak lagi terlihat, Jenna menghela napas lega dan berkali-kali mengucapkan rasa syukur.
Ia pun menggerakkan kakinya dengan gontai mendekati pintu utama. Baru saja tangannya akan memutar gagang pintu, kayu penutup akses keluar masuk itu dibuka seseorang dari dalam.
“Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?”
Kelopak mata Jenna yang sudah terasa berat sontak terbuka lebar saat mendengar pertanyaan bernada ketus itu. Matanya semakin membeliak saat menyadari siapa yang bertanya.
“Ibu,” cicitnya tanpa sadar.