Berjuang

1126 Words
Suara gemuruh hujan membuat suasana terasa kian pilu. Tanpa sadar Tyas meraung sambil meremas kuat kain di dadanya. Seperti tengah berusaha mengeluarkan bongkahan besar yang selama ini bersemayam di sana dan membuatnya harus merasakan sesak yang luar biasa. Sementara, Nenek Rah yang berdiri di balik tirai kamar, tidak kuasa menahan linangan air mata saat mendengar tangisan putri semata wayangnya. Ia seperti ditarik kembali ke masa lalu, saat Tyas yang masih trauma mengetahui jika ada bagian dari laki-laki b***t itu yang tumbuh di dalam rahimnya. Hal berbeda justru ditunjukkan Jenna. Bukannya menangis haru, gadis itu justru tertawa pelan. Tawa getir yang menyiratkan kekecewaan. Entah mengapa pengakuan sang ibu yang selama ini ia harapkan terdengar seperti lelucon. Kenapa baru sekarang? Kenapa setelah ia sudah tidak lagi mengharapkan pengakuan? Kenapa tidak dari dulu saat ia masih sangat membutuhkan curahan kasih sayang? Dan masih banyak pertanyaan kenapa yang memenuhi otaknya. “Ibu?” Bukan pertanyaan, tapi sebuah sindiran. Gadis itu kembali terkekeh, lalu melanjutkan, “Bagaimana mungkin anak yatim piatu sepertiku punya seorang ibu?” “JENNA!” “Kenapa, Nek?” Gadis itu menanggapi santai bentakan Nenek Rah yang tiba-tiba muncul dari balik tirai dengan wajah basah dan napas tersengal. “Omonganku nggak salah ‘kan? Aku memang anak yatim piatu. Buktinya dari lahir sampai sekarang aku nggak pernah tahu bagaimana rasanya disayang seorang ibu.” “JANGAN DURHAKA, KAMU! IBUMU MASIH ADA! MASIH HIDUP!” tegas Nenek Rah dengan mata yang berkilat marah. “Kalau dia masih ada, kenapa aku nggak pernah merasakan kehadirannya, Nek? Kenapa aku nggak pernah dengar dia menyebut namaku? Kenapa dia nggak pernah memelukku waktu aku menangis karena merindukannya? Kenapa dia nggak pernah bela aku saat semua orang memanggilku ANAK HARAM! Jenna mengucapkan kalimat panjang itu dalam satu tarikan napas. Ia meninggikan suara pada dua kata terakhir. Dua kata yang membuatnya selalu dipandang hina. Dua kata yang selalu berhasil membuat pertahanannya runtuh. Dua kata yang seumur hidup akan tersemat pada dirinya. “Kalau dia ada kenapa dia nggak mengkhawatirkan keadaanku saat aku sakit, Nek? Bahkan, saat aku hampir mati dia nggak peduli sama sekali. Kenapa, Nek? Kenapa?” lanjutnya. Kali ini dengan suara tercekat dan air mata yang berlinang. Jenna merasa sesak. Satu persatu kenangan buruk yang susah payah ia kubur, kembali muncul ke permukaan. Membayang di pelupuk bagaikan potongan film, lalu menyatu membentuk bongkahan besar dan menyumbat saluran pernapasannya. Setelahnya, tidak ada yang berbicara. Tiga wanita dari generasi berbeda itu larut dalam tangisnya masing-masing. Mereka sama-sama terluka namun dengan penyebab yang berbeda. Pupus sudah harapan Nenek Rah untuk melihat Tyas dan Jenna akur layaknya ibu dan anak sebelum ia tutup usia. Untuk pertama kalinya ia menyalahkan takdir. Andai saja dulu perekonomian mereka tidak buruk, Tyas tidak mungkin dilecehkan oleh anak majikannya dan mereka tidak akan terjebak dalam situasi seperti ini. Mungkin saat ini Tyas sudah hidup bahagia bersama keluarga kecilnya. Sementara, Perasaan bersalah dan penyesalan semakin erat membelit Tyas. Kata-kata Jenna berhasil memukulnya telak. Menyadarkan jika bukan hanya ia yang menderita. Selama ini, ia terlalu fokus menyembuhkan diri hingga tidak sadar jika sudah menorehkan luka yang cukup dalam pada putrinya. Jika dua wanita dewasa itu masih terisak sampai sesenggukan, Jenna sudah berhasil menenangkan diri meski sesekali bulir bening di matanya masih menetes. Ia keringkan wajah dengan lengan jaket, lalu membasahi tenggorokannya dengan susah payah sebelum kembali menatap ke depan. Tatapan dingin yang membekukan saraf Nenek Rah dan Tyas. “Jika Mbak menganggapku luka, maka bagiku Mbak adalah mimpi buruk. Dan sialnya ikatan darah ini bikin aku nggak bisa keluar dari sana,” ucap Jenna lirih namun penuh penekanan memungkasi perdebatan malam ini. Setelah itu dia berlalu ke kamar meninggalkan Nenek dan ibunya yang semakin terpukul. *** Setelah pertengkaran semalam, pagi ini mereka kembali berkumpul di meja makan. Mata sembab ketiganya menunjukkan jika mereka menghabiskan malam dengan cara yang sama. Terlebih Tyas yang hingga kini masih sesenggukan. Matanya tak hanya bengkak tapi juga merah dan tampak basah. Jenna melihat itu, tapi ia berusaha abai. Lagi pula apa yang bisa ia lakukan untuk menenangkan orang yang membencinya selain enyah dari hadapan orang tersebut. Andai tidak ada sang nenek, ia pasti akan melakukannya. Ia tatap hidangan yang tersaji di atas meja. Terlihat menggoda tapi saat ini ia tidak berselera. Jadi, ia putuskan untuk mengambil dua lembar roti tawar di lemari dapur, lalu mengolesinya dengan mentega dan menaburkan gula. Setelah itu, ia kembali duduk berseberangan dengan ibunya. “Marah boleh. Sedih boleh, tapi jangan sampai nggak makan. Nanti sakitnya dobel. Ingat Jen, nangis sama marah sama-sama butuh tenaga ekstra!” Salah satu pesan Nenek Rah yang membekas dalam ingatan Jenna. “Nggak makan nasi” tanya Nenek Rah memecah keheningan. Jenna hanya merespon dengan gelengan sambil mengunyah lambat rotinya. “Nanti sakit perut. Makan nasi sedikit, ya,” bujuk wanita itu khawatir. Ia lantas mengulurkan tangan mengambil satu centong nasi goreng lalu memindahkannya ke piring Jenna. Sontak saja Jenna menoleh dan melemparkan tatapan memelas. Kebiasaannya ketika di paksa. “Sedikit saja.” Ada yang beda dari neneknya. Wanita itu tidak lagi memaksa dengan rangkaian omelan panjang. Kali ini, memohon dengan suara lembut dan senyuman hangat. “Mau pakai telur dadar?” tawar Nenek Rah antusias saat Jenna mulai menyuapkan nasi ke dalam mulut setelah menghabiskan rotinya. Berbeda dengan Tyas yang terlihat tegang hingga tanpa sadar menahan napas. Lagi, Jenna hanya menjawab dengan gelengan. Gadis itu memperlambat gerak rahang saat indra pengecapnya mendeteksi rasa yang berbeda dari biasanya. Lekas ia sangkal kemungkinan yang tiba-tiba melintas di pikirannya. Sebab, kemungkinan itu sangat mustahil. Mengingat, Tyas tidak pernah menyentuh peralatan masak di rumah ini. “Enak?” Anggukan Jenna menjawab pertanyaan itu. Membuat seseorang di seberangnya menganjur napas lega. “Mau tambah?” Lagi-lagi Jenna hanya menjawab dengan gerakan kepala. Kali ini ke kiri dan kanan. Sepertinya hari ini suara merdu Jenna sangatlah mahal. “Ya, sudah. Habiskan makannya.” Nenek Rah menatap putrinya sejenak. Wanita itu tersenyum sambil berkedip pelan. Memberi isyarat jika ini adalah permulaan yang baik. Jenna sudah menelan suapan terakhir nasi gorengnya. Ia tandaskan sisa air putih dalam gelas, lalu membawa peralatan makannya ke dapur untuk di cuci. Setelahnya, gadis bersurai hitam legam itu kembali ke kamar tanpa berpamitan. “Jangan putus semangat. Dia saja sanggup berjuang untuk mendapatkan perhatian kamu selama bertahun-tahun. Sekarang giliran kamu yang berjuang merebut kembali cintanya.” “Jenna nggak benci aku, kan, Bu?” tanya Tyas dengan suara tercekat. Penolakan Jenna semalam menumbuhkan ketakutan pada dirinya. Nenek Rah menggeleng. “Ibu tahu sebesar apa Jenna menyayangimu. Sekarang, dia hanya sedang kecewa.” Ia genggam tangan putrinya, berusaha menyalurkan ketenangan. “Pelan-pelan saja. Ibu akan bantu.” Tyas menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ucapan ibunya berhasil mengurangi rasa takutnya. Ia tahu ini tidak akan mudah. Tapi ia tidak akan putus asa. Tak masalah jika harus melakukan itu di sisa usianya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD