PART 5
.
.
.
Panda menjadi tema topik selama beberapa saat, Rasa hanya bisa diam dengan wajah memerah di samping sang Ibu, tanpa bisa mengamuk atau berteriak. Menunduk terus menerus, sebelum akhirnya Kak Sena dengan segala kebaikan hatinya mengubah alur topik mereka.
Seperti yang Ia duga, penampilan Kak Sena sangat memukau, senyum dan pembawaannya yang dewasa, hanya dengan satu gerakan menyampirkan anak rambut ke kuping sudah cukup membuat semua orang di sana menatap kagum.
“Maaf kalau saya tidak begitu mengenal Bibi Sandra dan Om Kevin sebelumnya, Sena senang bisa bertemu lagi.” Tutur kata yang halus dan senyuman anggun. Semua terpana, termasuk Rasa. Wajah memerahnya tadi langsung menghilang, digantikan binar kagum.
Sedikit terkekeh dalam hati, ‘Bagaimana? Kalian semua pasti akan terpukau dengan wajah dan sifat Kak Sena,’ membatin bangga, kedua maniknya sengaja mengarah pada sosok laki-laki yang akan menjadi pasangan Kakaknya nanti.
‘Pasti dia langsung jatuh cinta juga pada Kak Sena-’ saat kedua manik itu terfokus pada satu tempat. Tubuh Rasa menegang, reflek meneguk ludah. Dia bukannya melihat laki-laki itu tengah terkagum-kagum menatap Kak Sena.
Melainkan melihat ke arahnya? Meskipun hanya sekilas tapi pandangan itu teralih ke arah Kak Sena, tidak lupa disertai senyuman menahan tawa. Wajah gadis itu kembali memerah-
‘Sialan! Dia pasti masih ingat kejadian tadi!’
Haruskah Rasa meminta bantuan pada laki-laki itu? Haruskah?! Rasa berpikir berulang kali-
.
.
.
“Seperti dugaan Tante, Sena pasti akan tumbuh dewasa seperti kau Farah. Anggun dan lembut, dia cocok sekali menjadi istri Vero,”
Oh, jangan lupakan perkenalan mereka lagi. Kak Sena yang memperkenalkan diri di depan semua keluarga, begitu juga calon pasangannya. Revero Arsyanendra, usia 30 tahun, hanya berbeda lima tahun dengan Kak Sena. Sayang dia hanya mengenalkan pekerjaannya sebagai penerus perusahaan Ayahnya.
Rasa baru saja tahu ternyata Ayahnya dan Ayah laki-laki itu sudah bersahabat sejak lama. Mereka sama-sama berasal dari luar Indonesia. Jika Ayah Rasa memiliki kewarganegaraan Jerman dan Ayah Revero berasal dari Rusia. Sahabat saat traveling kemanapun.
“Sayang sekali kita baru bisa bertemu sekarang, karena Ayah Vero terpaksa harus mengatur perusahaan di Rusia. Sekarang karena Vero sudah memiliki kewajiban dan hak untuk mengatur perusahaan di Indonesia. Kami berdua akhirnya sepakat mencarikan calon istri untuknya.” Wanita paruh baya itu menatap ke arah putranya.
Sementara Vero hanya bisa tersenyum lembut, “Walaupun wajahnya setampan ini, tapi perlu kalian tahu. Dia sangat tidak pintar mencari kekasih! Bahkan kekasih sebelumnya kelihatan sekali kalau dia hanya tertarik dengan kekayaan dan ketampanan putraku!”
Mengatakan penuh api di matanya, Tante Sandra menekuk wajah saat mengingat wanita yang sempat menjadi kekasih putranya. Wanita sok cantik yang centil dan matre. Wanita itu tidak tanggung-tanggung mengucapkannya, tanpa sensor sama sekali.
“Ibu, sudahlah. Untuk apa kita membicarakan dia di sini,” Suara baritone itu berusaha menenangkan sang Ibu, menepuk tangan wanita itu sekilas. Membuat Sandra tersadar sepenuhnya.
“Ah, maaf. Saya terlalu bersemangat,” setengah terkekeh malu, menutup bibirnya. Semua orang di ruang tamu kompak tertawa.
Rasa sendiri hanya bisa cengo melihat sifat asli Tante Sandra, sikap anggun dan lemah lembutnya berubah drastis menjadi sangar. Cukup mengerikan-
“Oh, iya. Kita datang ke sini kan untuk mengenalkan kembali Vero dengan Sena. Mereka mungkin tidak pernah bertemu dulu, jadi kurang begitu kenal. Bagaimana baiknya menurut kalian Farah, Frans? Apa pertunangan mereka perlu kita majukan lebih awal?”
Tanpa basa-basi, setelah tertawa singkat. Bukannya berbicara hal yang kurang penting, Tante Sandra langsung membicarakan masalah pertunangan Kakaknya. Manik Rasa melirik ke arah Kak Sena, melihat bagaimana wajah tenang sang Kakak berubah kaget.
Ibunya hanya mengangguk kecil, “Lebih baik kita beri waktu bagi mereka berdua untuk saling mengenal. Bukannya itu bukan ide yang buruk?” kali ini Rasa setuju.
“Untuk masalah saling mengenal itu kan bisa dilakukan saat mereka sudah bertunangan. Kita tidak perlu takut kalau semisal ada benalu yang berani mengganggu hubungan mereka berdua kan?” Tante Sandra menyanggah perkataan Ibunya cepat.
“Benalu? Maksudnya?”
Tante Sandra makin berapi-api, “Lihat wajah putra dan putri kita yang tampan cantik tiada tara ini!” menunjuk ke arah Sena dan Vero bergantian. “Aku takut nanti ada serangga pengganggu yang nyantol dan jatuh cinta dengan Sena! Kau pasti takut juga kalau nanti Vero dihinggapi sama wanita cantik kan?!” membuang bahasa formalnya dalam sekejap.
“Kau benar, Sandra! Itu bisa menjadi ancaman besar bagi kita! Kau juga pasti tahu kan kalau sifat Putriku ini benar-benar tidak pintar mencari kekasih!” Ibunya ikut-ikutan.
Rasa melirik, dan melihat bagaimana Sena dan Vero kompak menahan malu. Keduanya menunduk, wajah mereka memerah. Entah malu karena perkataan Ibu mereka yang berapi-api atau karena alasan lain. Rasa hanya bisa cuek.
‘Ah, hidungku gatal,’ tak sengaja mengupil sambil menatap ke arah lain. Kedua laki-laki paruh baya di ruangan hanya bisa menyesap kopi hangat dan menunggu pembicaraan Istri mereka selesai.
Sempat melupakan dunianya, “Rasa bagaimana menurutmu?!”
Tepat saat dia menggali emas yang cukup besar, semua pandangan menatapnya kompak. Sang Ibu menatap shock, begitu juga dengan Tante Sandra.
“Astaga, Rasa!!” tangannya langsung dipukul pelan oleh sang Ibu. Wanita itu menggeleng, menunjuk ke arah Rasa. “Nah beda lagi kalau misalnya Vero menikah sama anak kecil ini, justru aku yang harus super was-was. Kau sendiri tidak perlu takut,” menjewer kuping Rasa gemas.
“Aw, Ibu, sakit!”
“Anak cuek, polos dan jorok seperti ini mana ada yang suka,” dengan gamblang mengucapkan kalimat itu. Melepaskan jewerannya, membiarkan gadis itu merengut kesal.
.
.
.
Bahkan Ibunya pun dengan polos mengatakan bahwa tidak mungkin ada yang menyukainya! Astaga, bagaimana tidak sakit hati Rasa? Seperti tertusuk beribu-ribu jarum, sakit sekali-
Ah- bercanda ding. Kalau Ibunya sendiri sih, dia sudah biasa mendengar bahasa seperti itu. Karena memang kenyataannya benar. Rasa cuek soal penampilan, cuek tentang hubungan percintaan, agak sedikit jorok, yang dia sukai hanya buku n****+ romantis dan pangeran 3D.
Tapi mengatakan itu di depan para tamu, Rasa sedikit tersinggung.
Masih dengan bibir mengerucut, selesai berbincang di ruang tamu. Mengambil keputusan untuk menunda pertunangan kedua orang itu. Kedua wanita paruh baya tadi setuju, kalau mereka membutuhkan waktu untuk saling mengenal. Jika nanti ada ketidakcocokan diantara keduanya.
Baik Tante Sandra ataupun Ibunya tidak akan memaksa mereka untuk lanjut ke jenjang yang lebih serius. Ya, tapi mereka berharap banyak agar keduanya bisa bersanak keluarga, setidaknya kedua anak-anak mereka saling menikah satu sama lain.
“Ayo kita ke ruang makan, kebetulan tadi Rasa sudah memasak banyak makanan untuk kalian.” Untunglah sang Ibu berkata jujur tentang masakan yang Ia buat. Tidak seperti cerita-cerita di n****+, dimana Ibu tiri dengan sengaja mengatakan bahwa masakan yang dibuat oleh pemeran utama adalah buatan putrinya sendiri.
“Benarkah?”
Mood Rasa kembali membaik, tidak perlu lama menahan malu. Rasa perlahan mulai membusungkan dadanya percaya diri. “Begini juga aku suka sekali memasak, Tante. Bahkan lebih baik dari Ibu.” Mengusap pangkal hidungnya, dan tersenyum lebar.
Siapa yang menyangka senyuman polosnya mampu memikat semua tamu di sana, Tante Sandra tanpa sadar menghampiri Rasa. Memeluk gadis itu gemas, “Kenapa anakmu ini manis sekali, Farah?” mencium Rasa sana-sini.
“Baik Sena ataupun Rasa, Tante senang sekali bisa bertemu kalian!” bergiliran mencium pipi Sena, memeluk tubuh Kakaknya.
Semua orang di sana tertawa, sang Ibu kembali menggiring tamu menuju ruang Makan. Rasa sengaja berjalan di belakang mereka, sembari merapikan ikatan rambutnya yang sedikit berantakan. Mengangkat kedua tangannya, melepas ikatan sebentar, membiarkan rambut panjang itu tergerai sesaat.
Karena malas menaruh ikat rambut di meja, Rasa mengambil jalan pintas dengan menggigitnya. Mengikat rambutnya, kedua manik itu menatap semua orang yang berjalan keluar dari ruang tamu.
“Hm?” menyadari ada satu yang kurang, ‘Om Vero mana?’ menaikkan alis saat tidak melihat keberadaan laki-laki itu di depannya. Pandangan Rasa terarah ke samping, tidak sadar kalau sosok tegap itu ternyata masih berdiri di seberang meja.
Lagi-lagi pandangan mereka bertemu, alis Rasa terangkat bingung, bibirnya berbicara tanpa sadar.
“Om Vero-eh!” melupakan ikat rambut yang sedang Ia gigit tadi, menjatuhkannya ke lantai. Tidak menyadari sosok tegap tadi berjalan ke arah Rasa, dengan gaya yang gesit membantu mengambil ikat rambut miliknya.
“Kau memanggil saya, Om?” laki-laki itu setengah tertawa. Sementara Rasa mengerjap polos. Tindakan kali ini bukan khayalan seperti tadi. Sikap yang gentle dan baik hati. Rasa langsung menyelesaikan ikatannya, entah kenapa rasa malu akibat kejadian Panda tadi menghilang.
Digantikan dengan binar kagum, mengabaikan pertanyaan Vero tadi. “Om, sepertinya berpengalaman sekali ya kalau masalah pacar-pacaran? Kira-kira Om berapa sih punya pacar,” kali ini mengajak laki-laki itu untuk keluar dari ruang tamu.
Berjalan berdampingan, tatapan Rasa masih terfokus pada Vero. Laki-laki itu hanya tersenyum tipis, “Berapa menurut, Rasa?” bertanya balik. Suara baritone itu benar-benar menenangkan. Apa benar laki-laki di sampingnya ini sudah berkepala tiga? Karena wajahnya terlihat masih muda dan super tampan!!
Reflek berpikir, memegang dagunya sekilas, menganggap bahwa pertanyaan Vero sangat serius. “Hm, berapa kira-kira ya. Sekitar-ah, dua puluh?!” kedua maniknya menatap Vero polos.
Laki-laki itu hampir tertawa, “Dua puluh? Darimana Rasa tahu?”
“Hm, mudah saja. Pekerjaan Om Vero kan model, apalagi wajah Om terlihat muda sekali. Tampan, keren persis seperti Pemeran utama di dalam novelku,” berujar penuh antusias.
“Hanya dari itu saja?”
Mengangguk yakin, “Om pasti sudah ahli ya pacaran?” satu pertanyaan itu sukses membuat Vero menaikkan alis singkat.
“Ahli?”
“Soalnya Om kan sudah pacaran dengan banyak wanita, benarkan?”
Lama mendapatkan jawaban, tepat saat mereka sampai di ruang makan. Pandangan Rasa masih terarah pada Vero. Menunggu jawaban laki-laki itu, setengah mendengus geli, Vero mengangguk kecil.
“Mungkin bisa dibilang begitu,” siapa yang tahu kalau jawaban laki-laki itu sanggup membuat kedua manik Rasa membulat penuh binar. “Wah benar, Om!” tanpa sadar menaikkan suaranya.
Sebelum keduanya terpisah mencari tempat duduk, satu kalimat polos keluar dari bibi Rasa. Mengagetkan laki-laki itu, wajah yang murni tanpa ada maksud lain, menatapnya penuh binar kagum.
“Om bisa ajarin aku cara pacaran tidak?” bertanya dengan wajah super polos, senyuman lebar di bibir dan kedua manik yang masih murni. Tanpa tahu kalau ucapan gadis itu sanggup membuat laki-laki di sampingnya berpikir ulang tentang pertunangannya.